Sunday, June 17, 2012

proposal kajian al-qur'qn tentang riba

KAJIAN AL-QUR’AN TENTANG RIBA
A.    Konteks Penelitian
Menurut pandangan kebanyakan manusia, pinjaman dengan sistem bunga akan dapat membantu ekonomi masyarakat yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan  ekonomi rakyat. Anggapan tersebut telah menjadi keyakinan kuat  hampir setiap orang, baik ekonom, pemeritah maupun praktisi. Keyakinan  kuat itu juga terdapat pada inetelektual muslim terdidik yang tidak berlatar belakang pendidikan ekonomi.
Karena itu  tidak aneh, jika para pejabat negara dan direktur perbankan  seringkali bangga melaporkan jumlah kredit yang dikucurkan untuk pengusaha kecil sekian puluh triliun rupiah. Begitulah pandangan dan keyakinan hampir semua manusia saat ini dalam memandang sistem kredit dengan instrumen bunga. Itulah pandangan material (zahir) manusia yang seringkali terbatas.
Dalam Al-Quran ditemukan kata riba terulang sebanyak delapan kali, terdapat dalam empat surat, yaitu Al-Baqarah, Ali 'Imran, Al-Nisa', dan Al-Rum.Larang riba yang terdapat dalam al quran tidak diturunkan sekaligus melaikan diturunkan dala empat tahap.
Perbedaan pendapat dalam penerapan pengertian pada praktek-praktek transaksi ekonomi telah berlangsung sejak masa sahabat dan diduga akan terus berlangsung selama masih terus muncul bentuk-bentuk baru transaksi ekonomi.Perbedaan-perbedaan ini antara lain disebabkan oleh wahyu mengenai riba yang terakhir turun kepada Rasul saw. beberapa waktu sebelum beliau wafat, sampai-sampai ‘Umar bin Khaththab r.a. sangat mendambakan kejelasan masalah riba ini. Beliau berkata: “Sesungguhnya termasuk dalam bagian akhir Al-Quran yang turun, adalah ayat-ayat riba. Rasulullah wafat sebelum beliau menjelaskannya. Maka tinggalkanlah apa yang meragukan kamu kepada apa yang tidak meragukan kamu.”
Menurut Imam An-Nawawi dari Mazhab SyafiiSalah satu bentuk riba yang dilarang oleh alQuran dan as sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur  waktu. Dalam dunia perbankan hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama pinjaman.Sedangkan menurut Imam bin Hanbal ketika ditanya tentang riba beliau menjawab sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki hutang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan.
Allah telah berfirman dalamm surat Ar-Ruum ayat 39 :
“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Dalam tahap ini, pinjaman riba yang zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan, sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarub kepada Allah SWT, ditolak dan tidak tidak diterima. Dan riba yang dimaksud untuk menambah harta itu, sebenarnya tidaklah menambah di sisi Allah. Ayat ini turun sebelum hijrah (Makiyah), belum menyatakan haramnya riba, tetapi sekedar menyatakan bahwa Allah tidak menyukainya.
B.     Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
1.      Apa yang dimaksud dengan riba dan tahap-tahap larangan riba ?
2.      bagaimana munasabah ayat tentang riba ?
C.    Tujuan Penelitian dan Mamfaat Penelitian
1.      Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
a.       Mengetahui pengetian riba dan tahap-tahap larangan riba itu sendiri.
b.      Mengetahui tentang munasabah ayat tentang riba.
2.      Manfaat penelitian
Dalam setiap penelitian diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna dan bermamfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara umum kegunaan penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu secara teoritis dan secara praktis.
a.       Secara Teoritis
1)      Dengan adanya penelitian ini diharapakan mampu memeberikan wawasan tentang riba dalam aspek kajian Al-qur’an dikalangan masyarakat.
2)      Dari informasi yang diperoleh dari penelitian ini, diharapkan dapat berguna sebagai acuan untuk peneliti yang akan melakukan penelitian berkaitan dengan pembahasan ini.
b.      Secara Praktis
1)      Informasi yang didapatkan  dalam penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pemikiran baru masyarakat tentang riba dalam aktifitas ekonomi.
2)      Melalui penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pemikiran dan informasi bagi semua pihak sebagai dasar acuan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut terhadap aspek yang belum terjangkau dalam penelitian ini.
D.    Ruang Lingkup dan Setting Penelitian
1.      Batasan Masalah
Batasan masalah bertujuan memberikan batasan dan permasalahan yang ada untuk memindah pembahasan berdasarkan identifikasi masalah, maka penulis memberikan batasan yaitu perbandingan pendapat masalah riba antara kajian Al-qur’an dan pendapat agama-agama lain.
E.     Telaah Pustaka
Telaah pustaka adalah penyelesaian terhadap studi terdahulu yang terkait untuk menghindari duplikasi, plagiasi dan repetisi. Tujuannya adalah untuk menegaskan kebauran, orininalitas, dan urgensi penelitian mengenaipengembangan keilmuan yang terkait.
Penelitian mengenai masalah ini sebelumnya mungkin sudah diteliti, namun ada perbedaannya, yang membedakannya dengan penelitian sebelumnya adalah pembahasan tentang perbandingan kajian Al-quran  dan pendapat agama-agama lain masalah riba.
F.     Kerangka Teoritik
1.      Pengertian Riba
            Riba secara bahasa berarti tambahan. Sedangkan secara istilah para fuqaha’ berbeda dalam memberikan definisi riba. Akan tetapi semuanya bermuara pada satu maksud, yaitu penambahan dalam modal pokok, sedikit atua banyak.
     riba didefinisikan sebagai “tambahan yang diperjanjikan atas besarnya pinjaman ketika pelunasan hutang..” Jadi tekananya pada “tambahan” sebagai ciri pokok riba.
Riba juga dapat didefinisikan dengan tambahan atas besarnya pinjaman ketika pelunasan hutang yang mendatangkan kesengsaraan pihak peminjam”. Di sini tekanannya ada pada “kesengsaraan/zulm” bukan ‘tambahan’. Tambahan sebagai ‘an-nau’/ ‘species’, sedangkan kesengsaran sebagai al-jins/ genus/ ‘illat. Sama halnya dengan ungkapan “khamar” adalah minuman yang memabukan”, maka khamr adalah sesuatu yang didefinisikan, minuman sebagai an-nau’/ sepecies, dan memabukan sebagai al-jins/ genus/ ‘illat.
Dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa esensi riba adalah “tambahan”, dan ada pula yang mengatakan esensinya adalah “zulm’. Namun, jika kembali kepada pangkal persoalan larangan riba, maka “tambahan” tidak mempunyai makna apa-apa. Sebaliknya, ketidakadilan adalah hal yang bertentangan dengan tujuan penetapan prinsip ekonomi Islam. Karenanya, ‘illat larangan riba seharusnya ‘zulm’ bukan “tambahan”.
            Dalam kitab fathul qarῑb menjelaskan pengetian riba menurut istilah yaitu penyerahan pergantian sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang tidak dapat terlihat adanya kesamaan menurut timbangan syara’ pada waktu akad-akadan. Atau disertai mengahiri dalam tukar menukar atau salah satunya.
            Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
Dari Abu Hurairah R.A bahwa rasulullah SAW bersabda : “(diperbolehkan menjual) emas dengan emas yang sama timbangannya dan sama senbanding, dan perak denga perak yaang sama timbangannya dan sama sebanding. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka itu riba.”                                                                                     ( H.R Muslim)
            Islam adalah agama yang pertama kali tidak menganjurkan riba, sebaliknya menyuruh memperbanyak zakat. Allah berfirman:

“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
                Kemudian datang pengharaman memakan riba secara berlipat ganda. Allah SWT berfirman dalam surat Ali-Imran ayat 130:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Yang dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa Riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
                Terakhir diharamkanlah riba secara umum, Allah SWT berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”.
Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
2.      Pembagian Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.
Bagian-bagian riba antara lain adalah :
a.       Riba Qardh
Merupakan suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
b.      Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
c.       Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
d.      Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

3.      Pandangan Islam Tentang Riba
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinzaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 :
 “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan. Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat termasuk Majelis Ulama Indonesia, bunga bank termasuk ke dalam riba.
Hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam.
Berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang didapat oleh pihak bank.
4.      Pendapat Agama Lain Masalah Riba
a.       Riba dalam Agama Yahudi
Agama Yahudi melarang praktik pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci agama Yahudi, baik dalam Perjanjian Lama maupun undang-undang Talmud. Kitab Keluaran 22:25 menyatakan:
“Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.”
Kitab Ulangan 23:19 menyatakan:
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.”
Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:
''Dari orang asing boleh engkau memungut bunga'', tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya."
Kitab Imamat 35:7 menyatakan:
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”
b.      Riba / Bunga Kalangan Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam [[Lukas]] 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktik pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan :
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”
Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktikkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.
Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:
“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya.“
c.       Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I - XII)
Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen.
St. Basil (329 - 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang miskin.
St. Gregory dari Nyssa (335 - 395) mengutuk praktik bunga karena menurutnya pertolongan melalui pinzaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam.
St. John Chrysostom (344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru.
St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir).
St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin.
St. Anselm dari Centerbury (1033 - 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan.
Larangan praktik bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon):
1)        Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mem-praktikkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan.
2)        Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktikkan pengambilan bunga.
3)        First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktikkan bunga.
Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).
Pandangan Para Pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut :
1)      Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan.
2)      Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
3)      Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang dipinjamkan adalah suatu dosa.
4)      Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya.
5)      Harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang terselubung.
d.      Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI - Tahun 1836)
Pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu antara lain adalah John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500 - 1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli (1484-1531).
Beberapa pendapat John Calvin Calvin sehubungan dengan bunga antara lain:
1)      Dosa apabila bunga memberatkan.
2)      Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles).
3)      Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi.
4)      Jangan mengambil bunga dari orang miskin.
Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana diperbolehkan asalkan bunga tersebut digunakan untuk kepentingan produktif. Saumise, seorang pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.

e.       Pandangan Gereja Katolik
Menurut Gereja katolik pandangan mengenai Riba tidaklah berubah dengan pendapat para pendiri gereja seperti St.Gregorius dan St. John Chrysostom. tetapi prinsip dari riba(bunga) itulah yang berubah, karena bila zaman dahulu uang tidak bisa memberikan hasil kalau tidak dijalankan seperti yang disebutkan oleh kitab matius 27:27 menyatakan: "Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya.”
Namun, pada zaman sekarang, uang dapat memberikan hasil, karena uang dapat dibungakan atau di investasikan.Dengan demikian, meminjamkan uang dengan “bunga yang pantas” bukanlah tindakan yang tidak adil. Namun, kalau memberikan pinjaman dengan bunga yang terlalu tinggi, maka telah dianggap berdosa karena melawan keadilan.
Namun,prinsip ini pun harus di laksanakan dengan bijaksana. Misal, seseorang mempunyai uang 1 milyar dan seseorang meminjam dari orang tersebut 1 juta rupiah, maka janganlah menarik bunga, apalagi kalau orang yang meminjam benar-benar miskin. Bahkan kalau perlu,pemilik uang itu harus memberikannya dengan rela. Namun bila berada dalam situasi bisnis, maka adalah pantas, kalau menarik bunga dari pinjaman yang diberikan sebab sudah adanya persetujuan dari kedua pihak mengenai akan adanya bunga dari pinjaman tersebut. Seperti yang dilalukan oleh pihak perbankan dan nasabahnya.
G.    Metodologi Penelitian
1.      Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif berbentuk deskriptif, karena data yang diperoleh di lapangan lebih banyak bersifat informasi dan penjelasan dari subjek penelitian yang memberikan gambaran mengenai perbandingan pendapat masalah riba antara kajian Al-qur’an dan pendapat agama-agama lain.
Penelitian kualitatif adalah memiliki karakteristik bahwa data yang diperoleh dinyatakan dalam keadaan yang sewajarnya atau sebagaimana adanya serta tidak merubah keadaan bentuk simbul atau bilangannya, dan fokus kajian mengenai fenomenologis yang bersifat realita atau gejala yang terjadi.
2.      Kehadiran Peneliti
Kehadiran peneliti sangat diperlukan agar penelitian yang dilakukan di lokasi peneliti mendapatkan hasil yang valid dan sesuai dengan yang diinginkan. Keterlibatan peneliti disini untuk mengetahui kejadian-kejadian pada waktu melakukan observasi. Dalam mendapatkan data yang akurat tentanh hal-hal yang diteliti, maka peneliti menghubungan langsung dengan informan yang ada diloasi penelitian.


3.      Lokasi Penelitian
Lokasi yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini yakni Pusat Pengkajian  Al-qur’an ( Laboratorium Al-qur’an) IAIN Mataram, karena tempatnya sangat setrategis dengan aktivitas peneliti.
4.      Sumber Data
Untuk memperoleh data dan informasi yang valid, akurat serta meyakinkan yang berkaitan dengan perbandingan pendapat masalah riba antara kajian Al-qur’an dan pendapat agama-agama lain, maka sumber data sangat dibutuhkan.
Sumber  Data adalah subyek dari mana data di ambil atau diperoleh. Adapun sumber data yang digunakan oleh penelitian ini adalah dokumen-dokumen atau artikel yang bersangkutan dengan penelitian ini.
5.      Jenis Data
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah ddengan menggunakaan metode penelitian kualitatif. Penelitian dengan pendekatan kualitatif yaitu lebih menekankan analisisnya pada hubungan antara fenomena yang diamati dengan metode ilmiah.
Penelitian kuantitatif adalah data dalam bentuk kalimat atau keterangan karena data ini tidak dapat dijelaskan dalam bentuk angka-angka besarnya tidak dapat diukur.
Adapun jenis data yang digunakan dalam sumber data adalah sebagai berikut:
a.       Data primer, yakni data yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan yang diperoleh langsung dari sumber pertama yakni laboratorium Al-qur’an IAIN Mataram.
b.      Data skunder, yakni data yang diperoleh peneliti dari penelitian terdahulu dan dokumen-dokumen berupa literatur yang ada kaitannya dengan fokus penelitian.
6.      Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan bagian terpenting dalam suatu penelitian, karena tujuan utamanya adalah untuk memperoleh data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian maka peneliti menggunakan beberapa metode dalam pengumpulan data yakni:
a.       Observasi
Tahap observasi dilakukan selama melakukan penelitian. observasi dilakukan dengan tujuan memperoleh informasi yang sesuai dengan apa yang diinginkan peneliti, yakni tentang bagaimana perbandingan pendapat agama-agama tentang riba.
Sanfiah Faisal mengklasifikasikan observasi menjadi observasi partisispasi, observasi secara terang-terangan atau tersamar dan observsi secara tak berstruktu.
1)   Observasi Partisipasi
Dalam observasi ini, peneliti terlibat langsung dengan kegiatan sehari-hari, sambil melakukan pengamatan serta peneliti ikut dalam melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data. Dengan observasi partisipasi ini, maka data yang diperoleh akan lebih lengkap dan akurat.
2)   Observasi terang-terangan /tersamar
Dalam hal ini, peneliti dalam melakukan pengumpulan data menyatakan terus terang kepada sumber data, bahwa ia sedang melakukan penelitian. jadi mereka yang diteliti mengetahui sejak awal sampai akhir tentang aktivitas peneliti.
3)   Observasi tak berstruktur
Observasi tidak terstruktur adalah observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diteliti. Dalam melakukan pengamatan peneliti tidak menggunakan instrumen yang telah baku, tetapi hanya berupa rambu-rambu pengamatan.
b.    Wawancara/Interview
Esterberg (2002) mendefinisikan bahwa wawancara adalah pertemuan dua orang yang bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab atau pernyataan, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Isi pernyataan bisa menyangkup fakta, data, pengetahuan, evaluasi responden berkenan dengan fokus masalah.
Ada dua macam pedoman atau teknik dalam wawancara, yakni:
1)      Wawancara terstruktur, adalah teknik pengumpulan data dimana peneliti telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang telah diperoleh dari informan. Dimana kreativitas pewancara sangat diperlukan serta telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-petanyaan tertulis yang alternatif  jawabannya.
2)      Wawancara tak berstruktur, adalah wawancara yang bebas di mana peneliti tidak menggunakan pedomn wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Dalam wawancara tak terstruktur, peneliti belum mengetahui secara pasti data yang akan diperoleh, hanya memperoleh data dari hasil wawancara saja sehingga diperlukan pengamatan lebih lanjut.
c.       Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang telah berlalu. Dokumen bisa berupa tulisan, gambar, atau karya-karya dari seseorang. Metode ini lebih mudah di bandingkan dengan metode pengumpulan data lainnya.
Menurut Lexy J. Maleong (1989) menyatakan bahwa dokumen itu dapat dibagi atas dokumen pribadi dan dokumen resmi. Dokumen pribadi berisi catatan-catatan pribadi dari koperasi tersebut dan dokumen resmi berisi catatan-catatan yang bersifat formal dari kopersasi-koperasi.
d.      Triangulasi
Dalam teknik pengumpulan data, triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada dalam laboratorium Al-qur’an IAIN Mataram.
Triangulasi teknik, berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama.
Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal ini dapat dicapai dengan cara:
1)      Membaandingkan hasil pengamatan dengan data yang didapatkan dari hasil wawancara.
2)      Membandingkan apa yang dikatakan di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.
3)      Membandingkan apa yang dikatakan tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.
4)      Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang, seperti rakyat biasa, orang berpendidikan menengah, tinggi, orang berada dan orang pemeritahan.
Dengan cara ini bisa membedakan hasil wawancara dengan suatu dokumen yang berkaitan.
7.      Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan bagian yang sangat penting dalam metode ilmiah, karena dengan analisis data maka data dapat memberikan arti makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian.
Menurut Patton dalam bukunya Moleong, Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.
Bodga dan Taylor dalam bukunya Moleong mengatakan bahwa, analisis data adalah suatu proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis kerja itu.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi.

8.      Validitasi/Keabsahan Data
Validitasi merupakan derajat ketetapan antara data yang terjadi pada obyek penelitian dengan daya yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Yang bertujuan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh dari lapangan apakah valid atau tidak. Dengan demikian data yanga valid adalah data “yang tidak berbeda” antara data yaang dilaporkan oleh peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek penelitian.
 Untuk mengetahui keabsahan data diperlukan beberapa teknik-teknik pemeriksaan, yakni:
a.       Perpanjangan pengamatan
Dengan perpanjangan pengamatan, maka peneliti kembeli ke lapangan, melakukan pengamatan, wawancara lagi dengan sumber data yang pernah ditemui maupun yang baru. Dengan demikian peneliti bisa mendapatka informasi yang lebih valid dan akurat dalam koperasi tersebut, serta tidak ada informasi yang disembunyikan oleh informan kepada peneliti mengenai data-data.
b.      Triangulasi
Triangulasi dalam pengujian kreadibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dengan membandingkan mengecek balik derajat kepercayaan suatu infofmasi yang diperoleh dari berbagai waktu.

c.       Diskusi dengan teman sejawat
Diskusi dengan teman sejawat ini menunjukkan bahwa peneliti terbuka terhadap hasil interview atau wawancara dengan menerima kritikan dan saran dari luar yang berkaitan dengan hasil temuan peneliti

0 comments: