Friday, September 28, 2012

mahkum fih dan mahkum alaih.


KATA PENGANTAR

            Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa saya ucapkan kepada dosen pembimbing bayak terimakasih atas bimbingannya dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa sebagai manusia pasti adalah kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, oleh sebab itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari Bpk dosen dan teman-teman agar dalam pembuatan makalah selanjutnya bisa menjadi lebih baik semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca Amin……



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI



BAB I                         : PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang


BAB II                                    : PEMBAHASAN
A.    Mahkum fih dan Mahkum alaih
B.     Sarat dan macam-macam mahkum fih dan alaih
C.     Dasar dan sarat taklif  (ahliyah taklifi)
D.    Pengertian ahliyah wujub dan Ada’
E.     Hal-hal yang dapat menggugurkan taklip




BAB III                      : PENUTUP
A.    Kesimpulan


DAFTAR PUSTAKA


PENDAHULUAN

Manusia adalah sosok yang berperan penting dalam kehidupan dan segala apa yang dilakukan selalu ada konsekuensinya. Sebagaimana fungsinya manusia ditugaskan sebagai khalifah di bumi ini dan semua perbuatannya tak dapat lepas dari pertanggung jawaban. Dalam kehidupan sehari-hari seperti, melakukan akad jual beli, utang piutang, atau dalam menjalankan ibadah seperti haji, manusia dalam hal ini sebagai Mahkum ‘alaih dapat dikatakan sah karena sudah memenuhi persyaratan yang ada, atau mungkin status sahnya diurungkan untuk sementara dikarenakan  ketentuan-ketentuan yang ada juga. Hal itu karena ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sehingga  dapat menjadikan manusia sebagai mukallaf atau seorang yang sudah dikatakan cakap hukum, sehingga apa yang dilakukan dan diucapkan sudah sah, sempurna, layak (ahliyah) secara hukum.
Allah SWT. meletakkan peraturan terhadap makhluk-Nya tidaklah sembarangan tanpa melihat latar belakang dan dasar-dasar makhluk-Nya. Setiap perintah dan larangan Allah SWT pastilah didasari dengan sebuah filsafat atau hikmat yang sangat kuat. Seperti contoh keharaman meminum khamr tidaklah terjadi dengan tanpa alasan, melainkan karena khamr dapat membuat akal manusia terganggu atau malah hilang dan rusak. Dengan efek seperti ini, manusia tidak dapat berfikir secara normal sehingga dapat mengakibatkan kecelakaan terhadap dirinya sendiri maupun orang lain tanpa disengaja dan jelas tidak diinginkan. Begitu juga dengan konsep hukum Islam yang meletakkan predikat taklîf sebagai batasan dalam peletakkan hukum. Seseorang yang belum mukallaf tidaklah terbebani oleh hukum-hukum yang taklîfî. Tentu dasar hukum ini memiliki filsafat dibaliknya.


PEMBAHASAN
        Unsur hukum didalam Agama Islam Ulamaq Usul, menyebutkan ada Dua macam, mahkum fih dan  mahkum alaih.
A. MAHKUM FIH ( OBJEK HUKUM)
Yang dimaksud mahkum Fih adalah perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syar’i, seperti wajib, sunah, haram dan makruh.
Adapun menurut Syukur pada tahun 1990. Beliao berpendapat bahwa Yang dimaksud dengan Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf yang menjadi obyek hukum syara’i.
Menuerut Sutrisno pada tahun 1999, mengatakan bahwa  Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya.
Sedangkan menurut ulama ushul fiqh yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal. (2007).
Jadi, secara singkatnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.
Adapun syarat-sarat Mahkum fih adalah Sbb
Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat dilaksanakan.
Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakannya karena Allah semata.
Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.dengan catatan
B.     Mahkkum Alaih (subjek hukum)
Yang dimaksud dengan mahkum alaih, orang mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syar’i.  atau dengan kata lain, mahkum alaih adalah orang mukallaf  yang perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum allah.
 Adapun menurut syukur. Yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan hukum syara’.
Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf.
 Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999).
 Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah
        Dinamakannya mukalaf sebagai mahkum alaih adalah karena dialah yang dikenai (dibebani) hukum syara’.  Ringkasnya yang dinamakan mahkum alaih adalah orang atau simukallaf itu sendiri, sedangkan perbuatan atau pekerjaan yang dilakukan itulah yang dinamkan dengan mahkum fih.
2. sarat-sarat Mahkum alaih
        Ada dua persaratan yang harus dipatuhi agar seorang, mukallaf sah ditaklifi.
a.          Orang tersebut memahami dalil-dalil taklipi (pembebanan) itu dengan sendirinya, atau dengan perantaraan orang lain. Karena orang yang tidak mampu memahami dalil-dalil itu tidak mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan kepadanya.
Kemampuan memahami dalil-dalil tkalif hanya dapat terwujud dengan akal, karena akal adalah alat untuk mengetahui apa yang ditaklifkan itu. Dan oleh karena akal adalah hal yang tersembunyidan sulit diukur, maka menyangkutkan taklifitu ke hal-hal yang menjadi tempat anggapan adanya akal, yaitu baligh. Barang siapa yang tidak baligh dan tidak keliatan cacat akalnya berarti ia telah cukup kemampuan untuk ditaklifi.
Berdasarkan hal idtas anak-anak atau orang gila tidak dikenai taklif tersebut. Begitu juga dengan orang yang lupa, tidur, dan mabuk. Karena dalam keadaan demikian mereka tidak dapat memahami apa-apa yang ditaklipkan kepada mereka.
b.         Orang tersebut “Ahli” disini berarti lanyak untuk kepantasan yang yang terdapat pada seseorang dikatakan ahli untuk mengurus wakap berarti ia pantas untuk diserahi tanggung jawab mengurus harta wakap.[1]   
  
C. DASAR DAN SARAT TAKLIF (AHLIYAH TAKLIF)

Dalam pembahasan tentang mahkum alaih telah disebutkan bahwa salah satu sarat seorang mukallaf untuk ditaklifi adalah bahwa ia ahlli atau cakap bagi apa yang ditaklipkan kepadanya. Kecakapan seperti ini disebut juga ahliyah taklif.
Jadi,orang yang dikenai taklif adalah mereka yang sudah di anggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum atau dalam kata lain seseorang bisa di bebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif. Maka orang yang belum  berakal di anggap tidak bisa memahapi taklif dari syari’(Allah dan Rasulnya) sebagai sabda nabi:
ر فع القلم عن ثلا ث عن النا ئم حتى يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم و عن المجنون حتى يفق(رواه البخا رى والتر مذى والنسا ئى وابن ما جه والدارقطنى عن عا ئثه وابى طا لب)
Artinya:Di anggat pembebanan hukum dari 3(jenis orang) orang tidur sampai ia bangun,anak kecil sampai baligh,dan orang gila sampai sembuh.(HR.Bukhori.Tirmdzi,nasai.ibnu majah dan darut Quthni dari Aisyah dan Aly ibnu Abi Thalib)
 Syarat taklif ada 2 yaitu:
a.          orang itu telah mampu memahami khitob syar’i(tuntutan syara’) yang terkandung dalam Al qur’an dan sunnah baik langsung maupun melalui orang lain.
Kemampuan untuk memahami taklif ini melalui akal manusia,akan tetapi akan adalah sesuatu yang abstrak dan sulit di ukur ,indikasi yang kongkrit dalam menentukan seseorang berakal atau belun.indikasi ini kongkrit itu adalah balighnya seseorang yaitu dengan di tandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani bagi pria melalui mimpi yang pertama kali atau sempurnanya umur lima belas tahun.
b.         Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum,atau dalam ushul fiqh di sebut Ahliyyah.maka seseorang yang belum mampu bertindak hukum atau belum balighnya seseorang tidak dikenakan tuntutan syara’.begitu pula orang gila,karena kecakapan bertindak hukumnya hilang.

C.        Pengertian ahliyah
Secara harfiyyah ahliyyah adalah kecakapan menangani sesuatu urusan.
Adapun Ahliyyah secara terminologi adalah suatu sifat yang di miliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.

Pembagian ahliyah
Ulamak usul fikh membagi keahlian ini kepada dua bagia.
1.          AHLIYAH AL-WUJUB
Ahliya al-wujub yaitu kelayakan seseorang untuk ada padanya hak dan kewajiban. Dasar dari hali ini adalah sebab-sebab khusus yang dijadikan allah pada manusia, sebab khusus itu oleh para pukohah  disebut al-zimmahh, yaitu sipat pitriyah insaniyah yang ada pada setiap manusia, baik itu laki-laki atau pun perempuan,janian atua anak-anak, mumayyiz atau baligh pintar atua bodoh, waras atau gila, atuapun dia sakit atau sebaliknya. Pokoknya selama dia disebut manusia selama itu pulalah keahlian itu ada padanya. Dengan kata lain, keahlian wujud ialah kemanusiannya itu sendiri.
Para usuulliyyin membagi ahliyyah al wujub ada 2 bagian.
a.           Ahliyyah al wujub an-naqishoh.
Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya  (janin) janin inilah sudah dianggap mempunyai ahliyyah wujub akan tetapi belum sempurna.
b.         Ahliyyah al wujub al kamilah
Yaitu kecakapan menerima hak bagi seseorang anak yang telah lahir ke dunia sampai dinyatakan baligh dan berakal,sekalipun akalnya masih kurang seperti orang gila.

2.         AHLIYAH AL-ADA.
Ahliyah al- ada ialah kelayakan seorang mukallaf untuk dianggap sah segala ucapan dan tindakannya mrnurut syarak’. Artinya, apa bila seorang mukalaf melakukan suatu tindakan, tindakan itu dianggap sah menurut sarak dan mempunyai konsekwensi hukum. Misalnnya, bila ia melakkan transaksi bisnis, tindakan nya itu dianggap sah dan ada konsekwensi hukumnya. Bila ia melakukan solat, puasa atau melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya, perbuatannya dianggap sah oleh syar’I – bila cukup rukun dan saratnya- dan menggugurkan kewajiban mukallaf tersebut. Begitu juga bila ia melakukan pelangganran terhadap prang lain, ia akan dikenai sangsi hukum pidana, baik pidana badan ataupun harta. Pokoknya, ahliat al-ada’ adalah soal pertanggung jawaban yang didasarkan oleh akal atau kecakapn pribadi.
Kemudian, dihubungkan dengan ahliah (kemammpuan) yang dimilikinya, manusia dapat dibagi dalam dua bentuk hubungan:
1.         Hubungan manusia dengan ahliayah al-wujub ( kewajiban menerima hak dan kewajiban) yang ada padanya. Diliat dari segi ini manusia terbgai menjadi dua:
a.          Mempunyai ahliyah Al-wujud yang tidak pennuh, yaitu apabila pantas diberikan kepadanya hak-hak, tetapi tifdak pantasdipikulkan kepadanya kewajiban-kewajiban atau sebaliknya.  Misalnya, janian( embrio) dalam perut ibunya ia mempunyai hak untuk menerima warisan atau wasiat,  tetapi tidak mempunyai kewajiban yang harus  dilaksanakan. Sebaliknya, orang mati yang masih mempunyai hutang, hak orang yang berpiutang mmasih ada diatasnya. sehingga ia –melalui ahli warissnya- punya kewajiban untuk membayar utangnya, tetapi ia tidak mempunyai hak apa-apa lagi. Mempunyai ahliah al-wujud yang penuh, yaitu pantas diberikan kepada  hak-hak dan pantas diberikan kkepadanya kewajiban-kewajiban ini adalah keahlian (ahliah)  yang dimil;iki seseorang semenjak ia lahir dan tetap dimilikinya selama ia masih hidup, meskipun ia kehialangan akal atau gila. Yang dimaksud disisni adalah kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan harta benda, seperti kewajiban zakat bila yang dikenai kewajiban itu belum sempurna akalnya, walinya lah yang mewakilinya menunaikan kewajiban tersebut.
2.         Hubungan manusia dengan ahliyyah al-ada’ (kemmampuan berbuat) yang ada padnya.           Diliat dari segi ini manusia dibagi menjadi tiga bagian.
a.           Tidak punya atau hilang ahliyyahnya sama sekali.  Misalnya, anak-anak pada massa anaknya dan orang gila pada masa gilanya,karena mereka tidak mempunyai akal. Oleh sebab itu perbuatan dan ucapannyatidak mempunyai konsekwensi hokum dan semua akad atau perikatan ayang dilakukannyaitdak sah atau tidak batal. Bila mereka melakukan suatu tindakna pidana atas jiwa dan hartanya, yang dikenakan padanya hanya hukum denda, yaitu diyat yang dibunuhnyadan mengganti harta yang rusak atau diambilnya, bukan hukum badan, bukan juga hukum kisas.
b.         Mempunyai ahliyah al-ada yang tidak sempurna, misalnya mumaiiyaz dan orang yang kurang akal. Akal mereka tidak cact dan juga tidak hila.
c.          Mempunyai ahliyyah yang penuh , yaitu orang dewasa dan sehat akalnya. Maka ahliyat yang sempurna dapat trealisasikan dengan kedewasaan dan berakal.[2]  

D.       HAL-HAL YANG MENGGUGURKAN TAKLIF.

Sesuai dengan keterangan diatas  bahwa ahliyah al-wujud itu tetap bagi manusia selama ia disebut manusia. Manusia, sekalipun masih berupa janin dalm perut ibunya,punya keahlian wujub yang tidak sempurna. Setelah lahir, ia mempunyai keahlian secara sempurna dalam maa kanak-kanak, masa remaja, dan dewasa baik dalam keadaan sadar atau tidak, bodoh atau pintar. Sselama hidupnya tidak ada hal-hal yang menghilangkan atau mengurangi kemampuan menerima hak dan kewajiban  ini. Sederet yang menggugurkan taklif sebagai berikut.
        Dengan adanya gila, keahlian menjadi hilang. Segala kerjanya, baik berupa  kata-kata maupun perbuatan tidak ada pengaruhnya. Karena orang gila telah hilang akalnya sehingga kesadaran berbuat tidak ada. Kedududkkannya sama dengan anak-anak yang belum mumayyiz.
        Gila, adakalanya terus menerus dan adakalnya tidak. Dalam keadaann yang tersebut terakhir, perbuatan yang dilakukannya pada waktu sehat dipandang sah sebagaimmana perbuatan orang yang sehat akalnya. Dalam soal ibadah, hokum yang berlaku kepadanya tidak sama, mengingat pada macam-macam ibadah. Dalam hal ini, ibadah solat, misalnya, ia tidak wajib mengqadha kalau gilanya berlansung sepanjang waktu solat atau lebih. Begitu juga dengan puasa. Kemudian, dari sudut harta benda, orang gila dapat dikenakan hukuman seperti mengganti kerugian terhadap millik orang yang diambill atau dirusaknya.
        Dalam soal mu’amalat, tidur menghilangkan keahlian berbuat selama tidur, karena akal orang tidur tidak dapat bekerja. Segala aktivitas yang dilakukannya selama ia tidur dianggap tidak sah. Namun, dalam soal ibadah tidur tidak dapat menghapuskan kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukannya, hanya saja taklifnya ditunda sampai waktu terbangun.
        Mabuk dapat menghilangkan akal sementara. Perbuatan-perbuatan orang mabuk tidak dapat dipikirkan atau dikehendakinya. Karena itu, mabuk dapat menghilangkan keahlian atau kemampuan berbuat. Perbuatan orang mabuk, oleh sebagian ulama’ dianggap tidak sah dengan tidak memandang sebab-sebab mabuknya itu. Kalau mabukknya arena maksiat, seperti minum arak, maka ahliyat al-ada’ tidak hilang, sebagai hukuman kepadanya. Oleh sebab itu, talak orang mabuk dianggap sah. Namun, kalau bukan karena maksiat, segala perbuatannya dianggap tidak sah.
        Haid dan nifas tidak menghilangkan ahlyat al-ada’ dalam soal ibadah dan muamalah. Hanya dalam soal ibadah karena tidak terdapat sarat sahnya yaitu suci, maka perbuatanya itu dilaksanakan diwaktu lain seperti puasa. Adapun shalat tidak diwajibkan mengkadaknya karena hal itu memberatkan bagi perempuan.
        Dalam keadaan sakit dan berprgian, orang boleh sholat dengan kasar, boleh shalt dengan duduk dan lain sebagainya. Disamping itu dalm keadaan sakit berat, menjadi sebab dibatasinya kekeuasaan si sakit dalam membelanjakan hartanya bila lebih dari seper tiga.[3]






















DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. alaidin koto MA (Ilmu Fiqh dan usul fiqh ) PT RAJAGRAPINDO PERSEDA. 2004
Drs. M. Rizal Qosim, M.Si. (pengalaman Fiqih 3)
www.gogle.com






[1][1][1] Ibid hal. 134-135
[2] Abdul wahhab khallaf op.cit halm 136-139
[3] Al-khudri op,cit. alm 93 -109 
Continue reading mahkum fih dan mahkum alaih.

Friday, September 21, 2012

ASBAB AN-NUZUL


ASBAB AN-NUZUL
Al-Qur ‘an bukanlah merupakaahn sebuah” buku “dalam pengertian umum, karena ia tidak pernah diformulasikan, tetapi diwahyukan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW. Sejauh situasi menuntutnya. Al-Qur’an pun sangat menyadari kenyataan ini sebagai suatu yang akan menimbulkan keusilan dikalangan pembantahnya (Q.S. al-Furqan [25];32). Seperti yang diyakini sampai sekarang, pewahyuan Al-Quran secara total dalam sekali waktu secara sekaligus adalah suatu yang tidak mungkin, karena pada kenyataannya Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi kaum muslimin secara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang timbul.
Sebagian tugas untuk memahami pesan dari al-quran sebagai suatu kesatuan adalah mempelajarinya dalam konteks latar belakangnya. Latar belakanag yang paling tepat adalah kegiatan dan perjuangan Nabi yang berlansung selama 23 tahun dibawah bimbingan Al-Quran. Terhadap perjuangan Nabi yang secara keseluruhan sudah terpapar dalam sunahnya, kita perlu memahaminya dalam konteks perspektif melieu Arab pada masa awal penyebaran Islam, karena aktivitas Nabi berada didalamnya. Oleh karenaitu, adat istiadat, lembaga-lembaga serta pandangan hidup bangsa Arab pada umumnya menjadi esensial diketahui dalam rangka memahami konteks aktivitas Nabi. Secara khusus, situasi Mekah pra Islam perlu dipahami terlebih dahulu secara mendalam tanpa memahami masalah ini, pesan A;-Quran sebagai pemberitahuan tidak akan dapat dipahami. Orang akan salah menangkap pesan-peasn Al-Quran secara utuh, jika hanya memahami bahasanya saja, tanpa memahami konteks historisnya. Agar dipahami secara utuh, Al-Quran harus dicerna dalam konteks perjuangan Nabi dan latar belakang pejuangannya. Oleh sebab itu, hamper semua teratur yang berkenan dengan Al-Quran menekankan pentingnya asbab an-nuzul (alasan pewahyuan).
A.   Pengertian Asbab An-Nuzul
Ungkapan asbab an-nuzul merupakan bentuk idhofah dari kata asbab dan nuzul. Secara etimologi, Asbab an-nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatarbelakangai terjadinya sesuatu bias disebut asbab an-nuzul, namun dalam pemakaiannya, ungkapan asbab an-nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatar belakangi turunya Al-Quran, seperti halnya asbab al-wurud yang secara khusus digunakan sebagai sebab-sebab terjadinya hadits.
Banyak pengertian terminology yang dirumuskan oleh para ulama’, diantaranya:
1.      Menurut Az-Zarkani:
“ Asbab An-nuzul” adalah khusus atau sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya ayat Al-Quran sebagai penjelas hokum saat pristiwa itu terjadi.[1]
2.      Ash-shabuni:
Asbab an-nuzul adalah pristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan pristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.[2]
3.      Shubhi Shalih:


Artinya:
“asbab an-nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat Al-Quran ayat-ayat (terkadang dieratkan pristiwa itu, sebagai respon atasnya. Atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum disaat pristiwa itu terjadi.”[3]
4.      Mana’ Al-Qthathan:


Artinya:
asbab an-nuzul adlah pristiwa-pristiwa yang menyebabkan turunnya Al-Quran berkenaan dengannya waktu pristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.”[4]
                  Kendatipun redaksi-redaksi pendefinisian diatas sedikit berbeda, semuanya menyimpulkan bahwa asbab an-nuzul adalah kejadian atau pristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat Al-Quran. Ayat tersebut dalam rangka menjawab, menjelaskan, dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian-kejdian tersebut. Abab an-nuzul merupakan bahan-bahan sejarah yang dapat dipakai untuk memberikannya keterangan-keterangan terhadap lembaran-lembaran dan memberinya konteks dalam memahami perintah-perintahnya. Sudah tentu bahan-bahan sejarah ini hnya melingkupi pristiwa-pristiwa pada masa Al-Qur’an masih turun (Ashr At-tanzil).
                  Bentuk-bentuk pristiwa yang melatar belakangi turunnya Al-Qran itu sangat beragam diantaranya berupa : konflik social seperti ketegangan yang terjadi antara suku Aush dan Suku Khasraj;  kesalahan besar, seperti kasus salah seorang sahabat yang mengimami shalat dalam keadaan mabuk; dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh seorang sahabat kepada Nabi, baik berkaitan dengan suatu yang telah lewat, sedang atau yang akan terjadi.
                  Persoalan apakah seluruh ayat Al-Quran memiliki asbab an-nuzul atau tidak, ternyata telah jadi bahan kontropersi diantara para ulama’. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa tidak semua ayat Al-Quran memiliki asbab an-nuzul. Sehimgga, diturunkan tanpa ada yang melatar belakanginya (ibtida’), dan adapula ayat Al-Quran yang diturnkan dengan dilatarbelakngi suatu pristiwa (ghair ibtida’)[5].
                  Pendapat tersebut hamper merupakan consensus para ulama’. Akan tetapi, ada yang mengatakan bahwa kesejarahan Arabia pra-Quran pada masa turunnya Al-Quran merupakan latar belakang makro Al-Quran; sementara riwayat-riwayat asbab an-nuzul merupakan latar belakang mikronya. Pendapat ini berarti menganggap bahwa semua ayat Al-Quran memiliki sebab-sebab yang melatar belakanginya.

B.   Urgensi Dan Kegunaan Asbab An-Nuzul
Az-Zarqani dan As-Sayyuthi mensinyalir adanya kalangan yang berpendapat bahwa mengetahui asbab an-uzul merupakan hal yang sia-sia dalam memahami Al-Quran. Mereka beranggapan bahwa mencoba memahami Al-Quran denagn meletakkan kedalam konteks historis adalah sama dengan membatasi pesan-pesannya pada ruang dan waktu tertentu. Namun, keberatan seperti ini tidaklah berdasar, karena tidak mungkin menguniversalkan pesan Al-Quran diluar masa dan pewahyuan, kecuali melalui pemahaman yang semestinya terhadap makna Al-Quran dalam konteks kesejarahannya.
Sementara itu, mayoritas ulama’ sepakat bahwa konteks kesejarahan yang terakumulasi dalam riwayat-riwayat asbab an-nuzul merupakan satu hal yang segnifikan untuk memahami  pesan pesan Al-Quran. Dalam satu statmennya, Ibnu Taimiyah menyatakan:
Artinya :
asbab an-nuzul sangat menolong dalam menginterpretasikan Al-Quran[6].
            Ungkapan senada dikemukakan oleh Ibn Daqiq Al-‘led dalam pernyataannya

Penjelasan terhadap asbab An-Nuzul merupakan metode yang kondusif untuk menginterpretasikan makna-makna Al-Quran”.[7]
            Bahkan, Alwahidi menyatakan ketidak mungkinan untuk menginterpretasikan Al-Quran tanpa mempertimbangkan aspek kisah dan asba an-nuzul.
            Urgensi pengetahuan akan sebab an-nuzuldalam memahami Al-Quran yang diperlihatkan oleh para ulama’ salaf ternyata mendapat dukungan dari para ulama’ khalaf. Menarik untuk dikaji adalah pendapat Fazlur Rahman yang menggambarkan Al-Quran sebagai puncak dari sebuah gunung es. Sembilan seper sepuluh dari bagianya terendam dibawah perairan sejarah, dan hanya sper sepuluhnya dapat dilihat. Rahman lebih lanjut menegaskan bahwa sebagian besar ayat Al-Quran sebenarnya mensyaratkan perlunya pemahaman terhadap situasi-situasi historis yang khusus, yang memperoleh solusi, komentar dan tanggapan dari Al-Quran.[8] Uraian Rahman tersebut secara ekspelisit mengisyaratkan asbab an-nuzul dalam memahami Al-Quran.
            Dalam uraian yang lebih rinci, Az-zarqani mengemukakan urgensi asbab an-nuzul dalm memahami Al-Quran sebagai berikut :
1.      Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan ayat-ayat Al-Qur’an. Diantara dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 115 dinyatakan bahwa timur dan barat merupakan kepunyaan Allah. Dalam kasus Shalat, dengan melihat zahir ayat diatas, seseorang boleh menghadap arah mana saja sesuai kehendak hatinya. Ia seakan-akan tidak berkewajiban untuk menghadap kiblat ketika shalat. Akan tetapi setelah melihat asbab an-nuzulnya tahapan bahwa interpretasi tersbut keliru sebab, ayat diata berkaitan dengan seorang byang sedang berada dalam perjalan dan melakukan shalat diatas kendaraaan atau berkaitan dengan orang yang berjihadd dalam menentukan arah kiblat.[9]
Contoh kedua, diriwayatkan dalam shahih Bukhari bahwa Marwan menumui kesulitan ketika memahami ayat :
Ÿw ¨ûtù|¡øtrB tûïÏ%©!$# tbqãmtøÿtƒ !$yJÎ/ (#qs?r& tbq6Ïtä¨r br& (#rßyJøtä $oÿÏ3 öNs9 (#qè=yèøÿtƒ Ÿxsù Nåk¨]u;|¡øtrB ;oy$xÿyJÎ/ z`ÏiB É>#xyèø9$# ( öNßgs9ur ë>#xtã ÒOŠÏ9r&   .
Artinya:
Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.            (Q.S. Ali ‘imran :188)

Marwan memahami ayat di atas sebagai berikut : jika setiap orang bergembira  dengan usaha yang telah di perbuatnya, dan suka di puji atas usahanya yang belum di kerjakan, akan siksa, ayat tersebut di pahaminya demikian sampai ibn abbas menjelaskan bahwa ayat tersbut di turunkan berkenaan dengan ahli kitab. Ketika di Tanya oleh nabi tentang sesuatu, mereka menyembunyikanya bahwa tindakanya di luar permintean nabi. Mereka beranggapan bahwa tindakannya itu berhak mendapat pujian dari nabi. Maka turunlah ayat tersebut di atas.
2.      Mengatasi keraguan ayat yang di duga mengandung pengertian umum. Umpamanya dalam surat al-anam [6] ayat 145 dikatakan :
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9ƒÍ\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_Í ÷rr& $¸)ó¡Ïù ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ 4
Artinya:
’katakanlah, tidak kudapati di dalam apa yang di wahyukan kepadaku sesuatu yang di haramkan bagi orang yang ingin memakainya, kecuali kalau makanan itu (berupa) bankai,darah yang mengalir,daging babi,karna semua itu kotor,atau binatang yang di sembelih bukan atas nama allah ‘(QS.Al-an’am:145)
Menurut asy-syafi’i, pesan ayat ini tidak bersifat umum (hasr). Untuk mengatasi kemungkinan adanya kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat di atas, asy-syafi’i menggukan alat bantu asbab an-nuzul. Menurutnya, ayat ini di turunkan sehubungan dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesutu, kecuali apa yang telah mereka halalkan sendiri. Karena telah di halalkan allah dan menghalalkan apa yang di haramkan allah merupakan kebiasan orang-orang kapir, terutama orang yahudi, turunlah ayat di atas.
3.      Menghususkan hukum yang terkandung dalam ayat al-Quran, bagi ulama yang berpendapat bahwa yang manjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus (khusus asbab) dan bukan lafazh yang bersifat umum (umum al-lafazh). dengan demikian, ayat ‘zihar’ dalam permulaan surat Al-Mujadalah [58], yang turun berkenaan dengan Aus Ibn samit yang menzihar istrinya (Khaulah Binti Hakim Ibn samit Tsa’labah), hanya berlaku bagi kedua orang tersebut. Hukum zihar yang berlaku bagi sselain kedua orang itu, di tentukan dengan jalan analogi (qias).
4.      Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan ayat Al-Quran turun. Umpamanya, Aisyah pernah menjernihkan kekeliruan marwan yang menunjuk Abd Ar-Rahman Ibn Abu Bakar sebagai orang yang menyebabkan turunnya ayat: ‘Dan orang yang mengatakan kepada orang tanya “cis kamu berdua …” (Q.S .Al-Ahkaf: 17). Untuk meluruskan persoalan, ‘Aisyah berkata kepada Marwan; “Demi Allah bukan dia yang menyebabkan ayat ini turun. Dan aku sanggup untuk menyebutkan siapa orang yang sebenarnya.”
5.      Memudahkan untuk menghapal dan memahami ayat, serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya. Sebab, hubungan sebab-akibat (mussabab), hukum, peristiwa, dan pelaku, masa, dan tempat merupakan satu jalinan yang bias mengikat hati.
Taufik Adnan Amal dan Syamsul Rizal Panggabean menyatakan bahwa pemahaman terhadap konteks kesejarahan pra-Quran dan pada massa Al-Quran menjanjikan beberapa manfaat praktis. Pertama, pemahaman itu memudahkan kita mengidenttifikasi gejala-gejala moral dan social pada masyarakat Arab ketika itu, sikap Al-Quran terhadapnya, dan cara Al-Quran memodifikasi atau mentrasformasi gejala itu hingga sejelan dengan pandangan dunia Al-Quran; kedua , pemahaman tentang konteks kesejarahan pra-Quran dan pada masa Al-Quran dapat menghindarkan kita dari praktik-praktik pemeksaan prakonsep dalam penapsiran.[10]
C.   Cara Mengetahui Riwayat Asbab An-Nuzul
Asbab An-Nuzul adalah pristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Oleh karena itu, tidak boleh ada jalan lain untuk mengetahuinya, selain berdasarkan periwayatan (pentransmisian) uang benar (naql as-shalih) dari orang-orang yang melihat dan mendebgar lansung tentang turunnya ayat Al-Quran.[11] Dengan demikian, seperti halnya periwayatan pada umumnya, diperlukan kehati-hatian dalam menerima riwayat yang brkaitan dengan asbab An-Nuzul. Untuk itu, dalam kitab Asbab An-Nuzul-nya, Al-Wahidy menyatakan:

Artinya:
“pembicaraan asbab An-nuzul, tidak dibenarkan, kecuali dengan berdasarkan riwayat dan mendengar dari mereka yang secara lansung menyaksikan pristiwa nuzul dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”[12]
            Para ulama’ Salaf sangatlah keras dan ketat dalam menerima berbagai riwayat yang berkaitan dengan asbab An-Nuzul. Kekekatan mereka itu dititikberatkan pada seleksi pribadi si pembawa riwayat (para rawi), sumber riwat (isnad) dan redaksi berita (matan). Bukti keketatan itu diperlihatkan oleh Ibn Sirin ketika menceritakan pengalamannya sendiri:

Artinya:
aku pernah bertanya pada Ubadah tentang sebuah ayat Al-Quran, tetapi ia menjawab, hendaklah engkau bertqwa kepada Allah SWT dan berbicaralah yang benar. Orang-orang yang mengetahui apa ayat Al-Quran diturunkan sudah tidak ada lagi.”[13]
            Akan tetapi, perlu dicatat bahwa sikap kekeritisan mereka tidak Nabi. Mereka berasumsi bahwa apa yang dikatakan sahabat Nabi, yang tidak masuk dalam lapangan penukilan dan pendengaran, dapat dipastikan ia mendengar ijtihadnya sendiri. Karena itu pula, Ibnu Shalah, Al-Hakim, dan para ulama’ hadits lainnya menetapkan, “seorang sahabat Nabi yang mengalami masa turun wahyu, jika ia meriwayatkan suatu berita tentang asbab An-Nuzul, riwayatnya itu berstatus marfu’.”[14]
            Berkaitan dengan asbab An-Nuzul, ucapan seorang tabi’ tidak dipandang sebagai hadits marfu’, kecuali bila diperkuat oleh hadits mursal lainnya, yang diriwayatkan oleh salah seorang imam tafsir yang dipastikan mendengar hadits itu dari Nabi. Para imam tafsiritu diantaranya: Ikramah, Mujahid, Sa’ad Ibn jubair, ‘Atha, Hasan Bishri, Sa’id Ibn Musayyab dan Adh-Dhahhak.[15]
D.   Macam-Macam Asbab An-Nuzul
1.      Dilihat Dari Sudut Pandang Redaksi-Redaksi Yang Dipergunakan Dalam Riwayat Asbab An-Nuzul
Ada dua jenis redaksi yang digunakan oleh perawi dalm mengungkapkan riwayat asbab An-Nuzul, yaitu sharih (visionable/jelas) dan muhtamilah (impossible/kemungkinan). Redaksi sharih artinya riwayat yang sudah jelas menunjukkan asbab An-Nuzul, dan tidak mungkin pula menunjukkan yang lainnya. Redaksi yang digunakan termasuk sharih bila perawi mengatakan:
Artinya:
sebab turun ayat ini adalah….
            Atau ia menggunakan kata “maka” (fa taqibiyah) setelah ia mengatakan peristiwa tertentu. Misalnya ia mengatakan:

Artinya:
“Telah terjadi…, maka maka turunlah ayat…..

Artinya:
Rasulullah pernah ditanyatentang…., maka turunlah ayat…..
            Contoh riwayat asbab An-Nuzul yang menggunakan redaksi sharih adalah sebuah riwayat yang dibawakan oleh Jabir bahwa orang-orang yahudi berkata, “apabila seorang suami mendatangi “qubul” istrinya dari belakang, anak yang akan lahir akan juling.” Maka turunlah ayat:
öNä.ät!$|¡ÎS Ó^öym öNä3©9 (#qè?ù'sù öNä3rOöym 4¯Tr& ÷Läê÷¥Ï©
Artinya:
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.”                                                                                      (Q.S. Al-Baqarah: 223)
Adapun redaksi yang digunakan termasuk muhtamilah bila perawi mengatakan:

Atinya:
“Ayat ini berkenaan dengan….”
            Misalnya, riwayat ibnu Umar yang mengatakan:

Artinya:
ayat,istri-istri kalian adalah (ibarat) tanah tempat bercocok tanam, turun berkenaan dengan mendatangi (menyetubuhi)istri dari belakang.”(HR. Bukhari).
            Atau perawi mengatakan:

Artinya:
saya kira ayat ini turun berkenaan dengan…”
            Atau

Mengenai riwayat asbab An-Nuzul yang menggunakan redaksi “muhtamilah”, Az-Zarkasy menuturkan dalam kitabnya Al-burhan fi ‘Ulum Al-Quran:

Artinya:
sebagaimana diketahui, telah terjadi kebiasaan para sahabat Nabi dan tabi’in, jika diantara mereka berkata,”Ayat ini diturunkan berkenaan dengan…”. Maka yang dimaksud adalah  ayat itu mencakup ketentuan hukum tentang ini atau itu, dan bukan bermaksud menguraikan sebab turunnya ayat.”[16]


Skema 1
Redaksi Periwayatan Asbab An-Nuzul
Redaksi
riwayat
asbab An-Nuzul
Pasti
(sharih)
Tidak Pasti
(muhtamil)
Asbab An-Nuzul hadzihi al ayat kadz…….
Hadatsa kadza… fanazalat al-ayat….
Su’ila rasulullah ‘an kadza… fanazalat al ayat….
Nazalat hadzihi al-ayat fi kadza….
Ahsabu hadzihi al-ayat nazalat fi kadza…..
Ma ahsabu hadzihi al-ayat nazalat illa fi kadza…..
2.      Dilihat Dari Sudut Pandang Berbilangnya Asbab An-Nuzul Untuk Satu Ayat Atau Berbilangnya Ayat Untuk Asbab An-Nuzul
a.   Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk Satu Ayat (Ta’addud As-Sabab wa Nazil Al-Wahid)
Pada kenyataannya, tidak setiap ayat memiliki riwayat asbab An-Nuzul dalam satu persi. Adakalanya satu ayat memiliki beberapa persi riwayat asbab An-Nuzul tentu saja, hal itu tidak menjadi persoalan bila riwayat-riwayat itu tidak mengandunng kontradiksi. Bentuk pariasi itu terkadang dalam redaksinya dan terkadang pula dalam kualitasnya. Untuk mengatasi variasi riwayat asbab An-Nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi, para ulama’ mengemukakan cara-cara berikut.
1.      Tidak mempermasalahkannya
Cara ini ditempuh apabila variasi riwayat-riwayat asbab An-Nuzul ini menggunakan redaksi muhtamilah (tiadak pasti). Missal satu versi menggunakan redaksi:”ayat ini diturunkan berkenaan dengan….”dan versi menggunakan redaksi lain:” saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan….”.
Variasi riwayat Asbab An-Nuzul diatas tidak perlu dipermasalahkan, karena yang dimaksud oleh setiap variasi itu hanyalah sebagai tafsir biasa dan bukan sebagai asbab An-nuzul. Ini berbeda bila ada indikasi jelas yang menunjukkan bahwa salah satunya memaksudkan asbab An-Nuzul.
2.      Mengambil versi riwayat asbab An-Nuzul yang menggunakan redaksi sharih
Cara ini digunakan bila salah satu versi riwayat asbab An-Nuzul tidak menggunakan versi sharih (pasti). Misalnya riwayat-riwayat asbab An-Nuzul yang menceritakan kasus seorang lelaki yang mengauli istrinya dari bagian belakang. Mengenai kasus itu, Nafi berkata, satu hari, aku membaca ayat ‘nisa’ukum hartsullakum. Ibn kemudian berkata “tahukah engkau mengenai apa ayat ini diturunkan?” tidak”.jawabku. ia melanjutkan “Ayat ini di turunkan berkenan dengan menyetubuhi wanita dari belakang”.
Sementara Ibn Umar menggunakan redaksi yang tidaak sharih(pasti), dalam salah satu riwayat jabir, dikatakan, “Seorang yahudi mengatakan bahwa apabila Seseorang menyetubuhi istrinya  dari belakang, anak yang lahir akan juling. Maka di turunkanlah ayat: “Nisa’ukum hartsun lakum”.
Dalam kasus semacam di atas , riwayat jabir-lah yang harus di pakai karena ia menggunakan redaksi sharih (pasti).
3.Mengambil versi riwayat yang sahih (valid).
Cariini di gunakan apabila seluruh riwayat itu menggunakan redaksi “sharih” (pasti), tetapi kualitas salah satunnya tidak shalih. Demi malam Misalnya dua riwayat asbab an-nuzul kontradiktif yang berkaitan dengan diturunkannya ayat:
4ÓyÕÒ9$#ur .   È@ø©9$#ur #sŒÎ) 4ÓyÖy. $tB y7t㨊ur y7/u $tBur 4n?s% .

Artinya:
“Demi waktu matahari sepenggalah naik,dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhan-mu tidak meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu (Q.S. Adh-Adh-Dhuha:1-3)
Versi pertama yang di riwayatkan oleh Al-bukhari-Muslim dari Jundab mengatakan:
1.      Mengambil versi riwayat yang shaih.
Cara ini megambil bila terdapat versi asbab An-Nuzul satu ayat, satu versi berkualitas sahih, sedangkan yang lainya tidak. Misalnya dua versi riwayat An-Nuzul kontradiktif untuk surat Adh-dhuha [93] 1-3.
1.      Melakukan studi selektif (tarjih)
Langkah ini di ambil bila kedua versi asbab An-Nuzul yang berkaitan dengan turunnya ayat tentang roh. Versi asbab An-Nuzul yang di keluarkan oleh Al-Bukhari dari ibn Mas’ud.
2.      Melakukan studi kompromi (jama’)
Langkah ini diambil bila kedua riwayat yang kontradiktif itu sama-sama memiliki status kesahihan hadis yang sederajat dan tidak mungkin di lakukan tarjih. Misanya, dua versi riwayat asbab An-Nuzul yang melatar belakangi turunnya ayat mu’amalah surat An-Nur [24] ayat 6. Dalam versi riwayat Al-Bukhari dan muslim melalui jalur shahal Ibn sa’ad di katakan bahwa ayat itu turun di karnakan salah seorang sahabat yang bernama uwaimir yang bertanya kepada rasulullah tentang apa yang harus di lakukan oleh seorang suami yang mendapatkan istrinnya berzina dengan orang lain. Akan tetapi, dalam versi Bukhari melalui jalur Ibn Abbas di katakan bahwa ayat tersebut turun dengan dilatarbelakangi oleh kasus hilal Ibn Umyyah yang menuduh istriya di depan rasulullah berzina dengan sarikh ibn Sahma’. Kedua riwayat itu benar-benar berkualitas sahih dan tidak mungkin di lakukan study tarjih antara keduanya. Oleh karna itu, perlu di lakukan studi kompromi (jama’). Dua kejadian itu berdekatan masanya. Oleh karna itu kita mudah mengompromikan keduanya. Dalam jangka waktu yang tidak begitu berselang lama, maka turunlah ayat Mu’amalah untuk menjawab kedua orang itu. Dalam kasus ini Al-Khatib berkata:”kedua penanya itu kebetulan bbertanya pada satu waktu.[17]
Kalau kedua versi riwayat asbab An-Nuzul itu sahih atau tidak sahih atau tidak bias di lakukan study tarjih dan jama’, maka hendaklah kita anggap ayat itu di turunkan beruleng  kali. Dalam istilah ilmu-ilmu Al-Quran hal itu bias di sebut “berulangnya turun ayat” (ta’addut an-nuzul).Sebagai contoh adalah dua versi asbab An-Nuzul yang melatar belakangi turunya surat Al-Iklas [112]. Satu riwayat mengatakan bahwa surat itu turun untuk menjawab pertanyaan kelompok musyrikin Mekah . Riwayat lain mengatakan bahwa surat itu turun untuk menjawab kelompok ahli kitab di madinah. Karna kedua riwayat sama-sama sahih dan tidak mungkin untuk di lakukan studi tarjih dan jama; maka kita angap bahwa ayat tersebut turun dua kali.
E.     Kaidah “Al-‘ibrah”
Ada sebuah persoalan yang penting dalam pembahasan asbab An-Nuzul, misalkan telah terjadi suatu peristiwa atau ada suatu pertanyaan, kemudian satu ayat turun untuk memberikan penjelasan atau jawbannya, tetapi ungkapan ayat tersebut menggunakan redaksi ‘amm (umum) hingga boleh jadi mempunyai cakupan yang lebih luas dan tidak terbatas pada kasus pertanyaan itu, maka persoalan nya adalah apakah ayat itu harus dipahami dari keumuman lafazh ataukah dari sebab khusus (spesifik) itu. Denganm kata lain, apakah ayat itu berlaku secara khusus  ataukah umum ? dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafazh dan bukannya kekhususan sebab (al-‘brah bi ‘umum al-lafazhi la bi khusus as-sabab). As-Syuthi, memberikan alas an bahwa itulah yang dilakukan oleh para sahabat dan golongan lain. Ini bias dibuktikan, antara lain, ketika turun ayat zihar dalam kasus Salman ibn Shakhar, ayat li’an dalam perkara Hilal Ibn Umayyah, dan ayat qadzaf dalam kasus tuduhan terhadap ‘A’isyah, penyelesaian terhadap kasus-kasus tersebut ternyata juga di terapkan terhadap peristiwa lain yang serupa.[18]
Zamakhsyari dalam penapsiran surat Al-Humazah [104] mengatakan bahwa boleh jadi surat ini di turunkan karena sebab khusus, namun ancaman hukuman yang tercakup di dalamnya jelas berlaku umum, mencakup semua orang yang berbut kejahatan yang di sebutkan.[19]  Ibn Abbas pun mengatakan bahwa ayat [5]; 8 tentang kejahatan pencurian berlakum umum, tidak hanya bagi pelaku pencurian anseseorang wanita dalam asbab An-Nuzul itu.[20]
Ibn Tamiyyah berpendapat, bahwa bahwa banyak ayat yang di turunkan berkenan dengan kasus tertentu bahkan, kadang-kadang menunjung pribadi seseorang. tentang printah kepadua Nabi untuk mengadili secara adil, ayat ini sebenarnya  diturunkan  bagi bani Quraidzah dan bani Nadhir.Namun menurut Ibn Taimyyah tidak benar jika di katakan bahwa perintah kepada Nabi itu hanya berlaku adil terhadap kedua qabilah itu.[21]
Di sisi lain,ada juga ulama yang berpendapat bahwa ungkapan satu lafazh Al-Quran harus di pandang dari segi kekhususan sebab bukan dari segi keumuman lafazh (al-‘ibrah bi khusus as-sabab la bi bu’umum al-lafazh). Jadi, cakupan ayat tersebut terbatas pada kasus yang meyebabkan sebuah ayat di turunkan. Adapun kasus lainnya yang serupa, kalaupun akan mendapat penyelesaian yang sama, hal itu bukan di ambil dari pemahan terhadap ayat itu, melainkan d ri dalil lain,yaitu dengan qiyas, apabila memang memenuhi syarat-syarat qiyas, ayat qadzaf, misalnya diturunkan khusus sehubungan dengan kasus Hilal dengan istrinya. Adapun kasus lain yang serupa dengan kasus tersebut, hukumnya di tetapkan melalui jalan qiyas.[22]
Perlu di berikan catatan bahwa perbedaan pendapat di atas hanya terjadi pada kasus ayat yang bersifat umum dan tidak terdapat petunjuk bahwa ayat tersebut berlaku khusus, jika ternyata ada petunjuk demikian, seluruh ulama Misalnya, riwayat Ibn Abbas tentang penapsiran surat Ali ‘Imran [3]: 188. Ayat ini Khusus berbicara tentang prilaku tertentu dari Ahli Kitab, walaupun lafazhnya lebih umum dari sebab turunya. Jadi, ayat ini tidak tidak bisa di pergunakan untuk kasus lain dengan berpegang kepada keumuman lafazh.





RINGKASAN
1.      Pengertian Asbab An-Nuzul
a.       Menurut Az-zarqani:”Asbab An-Nuzul” adalah Khusus atau sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya Al-Quran sebagai penjelas hokum pada saat peristiwa itu terjadi”.
b.      Menurut Ash-Shabuni: “Asbab An-Nuzul” adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau bebepa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyyan yang diajukan kepada nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.
c.       Menurut Shubhi Shalih: “Asbab An-Nuzuladlah suatu yang menjadi sebab satu atau beberapa ayat Al-Quran (ayat-ayat) terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai respon atasnya. Atau sebagai penjelas terhadap hokum-hukum di saat peristiwa itu terjadi.
d.      Menurut Mana’ As-Qthathan: ‘Asbab An-Nuzul” adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya Al-Quran berkeaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertannyan yang diajukan kepada nabi.
2.      Urgensi dan Kegunaan Asbab An-Nuzul
a.       Membatu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam manangkap pesan ayat-ayat Al-Quran.
b.      Megatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
c.       Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Quran, bagi ulama yang berpandapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat Khusus (Khusus al-sabab) dan  bukan lafazh yang bersifat umum (umum al-lafaz).
d.      Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan ayat Al-Quran turun.
e.       Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat, serta untuk menetapkan wahyu kedalam hati orang yang mendengarnya.
3.      Cara Mengetahui Riwayat Asbab An-Nuzul
Asbab An-nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW.oleh karena itu, tidah boleh ada jalan lain untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatan (pentransmisian) yang benar (naql Ash-shalih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung tentang turunnya ayat Al-Quran.
4.      Macam-Macam asbab An-Nuzul
a.       Dilihat dari Sudut Pandang Redaksi-Redaksi yang dipergunakan dalam riwayat Asbab an-Nuzul
b.      Kaidah “Al-ibrah”
Mayoritas ulama berpendapat bahwa pertimbangan untuk satu lafazh Al-Quran adalah keumuman lafazh dan bukanya kekhususan sebab (al-ibrah bi ‘umum al-lafazhi la bi Khusus asbab). Di sisi lain, ada juuga ulama yang berpendapat bahwa ungkapan satu lafazh Al-Quran harus di pandang dari segi kekhususan sebab bukan dari segi keumuman lafazh (al-ibrah bi Khusus as-sabab la bi’umum al-lafazh).














DAFTAR PUSTAKA
Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, t,t.
Jalaluddin As-Syuthi, Al-itqan fi ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr,Beirut, t,t.
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ulum Al-Quran, Mansyurat al-Ashr al-Hadis, ttp, 1973.
Muhammad ‘Abd Ash-Azhim Az-Zarqani, Manahil  Al- Irfan, Dar Al-fikr, Bairut, t.t.
Muhammad Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi’ Ulum Al-Quran, Dar Al-Qalam li Al-Malayyin, Bairut, 1988
Taufik Adnan Amal dan Syamsul Rizal panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Quran,Mizan, Bandung, 1989.         
TM Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Quran, Bulan-Bintang, Jakarta, 1988.
Taufikurrohman Drs.M.Ag.Studi Ulumul Quran Telah Atas Mushaf Utami, Pustaka, Pustaka Setia, Bandung 2003.
Rosihan Anwar, M.Ag Ulumul Quran, Pustaka Setia, Bandung 2001.


[1] .Muuhammad ‘Abd Az-Azmi Azhim Az-Zarqani, Manhil Al-irfan, Dar Al-Fikr ,  Bairut t,t jilid l, hlm 106.
[2] .Muhammad Ali Ash-Shabudin, Al-Tibyan fi ulum Al-Quran, Maktabah Al-Ghazali, Damaskus, 1390 , hlm, 22.
[3] .Subhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum  Al-Quran, Dar Al-Qalam li al-Malayyin, Bairut, 1988, hlm.132.
[4] .Mana’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum Al-Quran, Mansyuarat Al-Ashr Al-Hadis, ttp, 1972, hlm, 78.
[5] .lbid.
[6] .Jalaludin as-Syutuhi, Al-ltkan fi ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Beirut, Jilid l, hlm 29.
[7] .Ibd , hlm, 29.
[8] .Jurnal ‘’kiblat’’, 1987: hlm. 46.
[9] .Az-Zarqany, op. cit, hlm. 109.
[10].  Amal, op,cit, hlm, 51.
[11] . Az-Zarkany, op, cit, hlm, 113-114; Ash-Shabuny, op, cit, hlm, 23; Shalih, op, cit, hlm, 135.
[12] . Az-Zarqani, op, cit, hlm, 114.
[13] .  As-Syuthi, op, cit, hlm, 52
[14] .  Ibid , hlm, 52 dan 229.
[15] .  Ibid, hlm, 557.
[16] .  Ibid, hlm, 32.
[17] .  Lihat Ibn Katsir Al-Quran al-‘Azhim , Jilid II, hlm 65, al-Suyuthi, op, cit, hlm, 56.
[18] .   Al-Suythi, op, cit, hlm, 110.
[19] .  Ibid.
[20] .  Ibid.
[21] .  Ibid.
[22] .  Al-Zarqani, op, cit, hlm, 126.
Continue reading ASBAB AN-NUZUL