FILSAFAT EKONOMI ISLAM
Filsafat
ekonomi, merupakan dasar dari sebuah sistem ekonomi yang dibangun. Berdasarkan
filsafat ekonomi yang ada dapat diturunkan tujuan-tujuan yang hendak
dicapai, misalnya tujuan kegiatan ekonomi konsumsi, produksi, distribusi, pembangunan
ekonomi, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dsb.
Filsafat
ekonomi Islam didasarkan pada konsep triangle: yakni filsafat Tuhan,
manusia dan alam. Kunci filsafat ekonomi Islam terletak pada manusia dengan
Tuhan, alam dan manusia lainnya. Dimensi filsafat ekonomi Islam inilah yang
membedakan ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya kapitalisme dan
sosialisme. Filsafat ekonomi yang Islami, memiliki paradigma yang relevan
dengan nilai-nilai logis, etis dan estetis yang Islami yang kemudian difungsionalkan
ke tengah tingkah laku ekonomi manusia. Dari filsafat ekonomi ini diturunkan
juga nilai-nilai instrumental sebagai perangkat peraturan permainan (rule
of game) suatu kegiatan.
Sebagai
disebut di atas, bahwa salah satu poin yang menjadi dasar perbedaan antara
sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah pada falsafahnya,
yang terdiri dari nilai-nilai dan tujuan. Dalam ekonomi Islam,
nilai-nilai ekonomi bersumber Alquran dan hadits berupa prinsip-prinsip
universal. Di saat sistem ekonomi lain hanya terfokus pada hukum dan sebab
akibat dari suatu kegiatan ekonomi, Islam lebih jauh membahas nilai-nilai
dan etika yang terkandung dalam setiap kegiatan ekonomi tersebut.
Nilai-nilai inilah yang selalu mendasari setiap kegiatan ekonomi Islam.
Bangunan
Ekonomi Islam didasarkan pada fondasi utama yaitu tauhid.
Fondasi berikutnya, adalah syariah dan akhlak. Pengamalan syariah dan akhlak
merupakan refleksi dari tauhid. Landasan tauhid yang tidak kokoh akan
mengakibatkan implementasi syariah dan akhlak terganggu.
Dasar
syariah membimbing aktivitas ekonomi, sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah
syariah. Sedangkan akhlak membimbing aktivitas ekonomi manusia agar
senantiasa mengedepankan moralitas dan etika untuk mencapai tujuan. Akhlah yang
terpancar dari iman akan mebnentuk integritas yang membentuk good corporate
governance dan market diciplin yang baik.
Dari
fondasi ini muncul 10 prinsip derivatif sebagai pilar ekonomi Islam
Pembahasan komperhensif mengenai prinsip-prinsip ini selanjutnya akan
dijelaskan secara lebih detail di bawah ini:
1.
Tauhid
Tauhid
merupakan fondasi utama seluruh ajaran Islam. Dengan demikian Tauhid menjadi
dasar seluruh konsep dan aktivitas umat Islam, baik di bidang ekonomi, politik,
sosial maupun budaya. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa tauhid merupakan
filsafat fundamental dari ekonomi Islam. (39 : 38 ).
Hakikat
tauhid juga dapat berarti penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi,
baik menyangkut ibadah maupun muamalah. Sehingga semua aktifitas yang
dilakukan adalah dalam kerangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai kehendak
Allah.
Dalam
konteks ini Ismail Al- Faruqi mengatakan,
“
it was al- tauhid as the first principle of the economic order that created the
first “ welfare state” and Islam that institutionalized that first socialist
and did more for social justice as well as for the rehabilitation from them to
be described in terms of the ideals of contemporary western societies”.
{Tauhid
sebagai prinsip pertama tata ekonomi yang menciptakan “negara sejahtera”
pertama, dan Islamlah yang melembagakan sosialis pertama dan melakukan
lebih banyak keadilan sosial. Islam juga yang pertama merehabilitasi
(martabat) manusia. Pengertian (konsep) yang ideal ini tidak ditemukan dalam
masyarakat Barat masa kini}.
Landasan
filosofis inilah yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme dan
sosialisme, karena keduanya didasarkan pada filsafat sekularisme dan
materialisme. Dalam konteks ekonomi, tauhid berimplikasi adanya kemestian
setiap kegiatan ekonomi untuk bertolak dan bersumber dari ajaran Allah,
dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan Allah dan akhirnya ditujukan untuk
ketaqwaan kepada Allah.
Konsep
tauhid yang menjadi dasar filosofis ini, mengajarkan dua ajaran utama dalam
ekonomi. Pertama, Semua sumber daya yang ada di alam ini merupakan
ciptaan dan milik Allah secara absolut (mutlak dan hakiki). Manusia hanya
sebagai pemegang amanah (trustee) untuk mengelola sumberdaya itu dalam
rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan manusia secara adil.
Dalam
mengelola sumberdaya itu manusia harus mengikuti aturan Allah dalam bentuk
syariah. Firman Allah, “Kemudian kami jadikan bagi kamu syariah dalam
berbagai urusan, maka ikutilah syariah itu. Jangan ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tak mengetahui” (QS:1Al-Jatsiyah
Salah
satu contoh praktik ekonomi saat ini yang bertentangan dengan Tauhid adalah
bunga. Bunga (interest) yang memastikan usaha harus berhasil (untung)
bertentangan dengan tauhid. Firman Allah, “Seseorang tidak bisa memastikan berapa
keuntungannya besok”,(Ar-Rum: 41). Padahal setiap usaha mengandung tiga
kemungkinan, yaitu untung, impas atau rugi. Lebih dari itu, tingkat keuntungan
itupun bisa berbeda-beda, bisa besar, sedang atau kecil. Jadi, konsep
bunga benar-benar tidak sesuai dengan syariah, karena bertentangan dengan
prinsip tauhid.
Kedua, Allah menyediakan sumber daya alam
sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia yang berperan sebagai
khalifah, dapat memanfaatkan sumber daya yang banyak itu untuk
kebutuhan hidupnya. Dalam perspektif teologi Islam, semua sumber daya yang ada,
merupakan nikmat Allah yang tak terhitung ( tak terbatas ) banyaknya,
sebagaimana dalam firmannya “ Dan jika kamu menghitung – hitung nikmat
Allah, niscaya kamu tidak bisa menghitungnya”. ( QS. 14: 34 )
Berbeda
dengan pandangan di atas, para ahli ekonomi konvensional selalu mengemukakan
jargon bahwa sumber daya alam terbatas ( limited ). Karena itu menurut
ekonomi Islam, krisis ekonomi yang dialami suatu negara, bukan karena
terbatasnya sumber daya alam, melainkan karena tidak meratanya distribusi (maldistribution),
sehingga terwujud ketidakadilan sumber daya ( ekonomi ).
Selanjutnya
konsep tauhid ini mengajarkan bahwa segala sesuatu bertitik tolak dari Allah,
bertujuan akhir kepada Allah, termasuk dalam menggunakan sarana dan sumber daya
harus disesuaikan dengan syariat Allah. Aktivitas ekonomi, seperti produksi,
distribusi, konsumsi, ekspor – impor idealnya harus bertitik tolak dari tauhid
(keilahian) dan berjalan dalam koridor syariah yang bertujuan untuk menciptakan
falah dan ridha Allah.
Seorang
muslim yang bekerja dalam bidang produksi misalnya, maka itu tidak lain
diniatkan untuk memenuhi perintah Allah. “Dialah yang menjadikan bumi ini
mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian
dari rezeki-Nya dan hanya kepada-Nya kami dikembalikan”. (QS. Al-Mulk: 15).
Demikian
pula ketika berdagang, bekerja di pabrik atau perusahaan. Semuanya dalam
bingkai ibadah kepada Allah. Makin tekun seseorang bekerja, makin tinggi nilai
ibadah dan takwanya kepada Allah. Demikian gambaran seorang muslim yang
menganggap bahwa pekerjaannya itu adalah ibadah kepada Allah.
Aspek
tauhid dalam produksi akan tercermin dari output yang dihasilkan. Seseorang
yang berproduksi dengan nama Allah, maka barang yang diproduksi akan terjaga
kebaikan dan kehalalannya. Sehingga mereka tidak akan memproduksi barang-barang
yang membawa mudharat seperti rokok, miras apalagi narkoba serta barang-barang
haram lainnya. Termasuk juga dalam proses produksi barang-barang halal.
Tidak
hanya dalam aspek produksi, aspek tauhid pun idealnya dimiliki seorang muslim
yang hendak membeli, menjual, dan meminjam. Ia selalu tunduk pada aturan-aturan
syariah. Ia tidak membeli atau menjual produk dan jasa-jasa haram, memakan uang
haram (riba), memonopoli milik rakyat, korupsi, ataupun melakukan suap menyuap.
Ketika
seorang muslim memiliki harta dan ingin menginvestasikannya agar produktif, ia
tidak akan menginvestasikannya secara ribawi di lembaga-lembaga finansial yang
berbasis bunga. Ia juga tidak akan menggunakannya untuk bisnis spekulasi di
pasar modal atau pasar uang (money changer dan bank devisa). Seorang
muslim akan menginvestasikannya berdasarkan prinsip-prinsip syariah seperti
skim mudhabarah, musyarakah, dan bentuk investasi syariah lainnya.
Prinsip
konsumsi yang sesuai syariah salah satunya adalah tidak berlebih-lebihan,
menjauhi israf (mubazzir). Perilaku tersebut dilarang dalam agama
Islam. (QS.17:36) Meskipun sumber daya yang tersedia cukup banyak, manusia
sebagai khalifah Allah tidak boleh boros dan serakah dalam menggunakannya.
Boros adalah perbuatan setan ( QS.17:27 ) dan serakah adalah perilaku binatang.
Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya haruslah dilakukan secara efisien dan
memikirkan kepentingan generasi mendatang serta memperhatikan lingkungan.
Seorang
muslim sejati, meskipun memiliki sejumlah harta, ia tidak akan
memanfaatkannya sendiri, karena dalam Islam setiap muslim yang mendapat
harta diwajibkan untuk mendistribusikan kekayaan pribadinya itu kepada
masyarakat sesuai dengan aturan syariah. Masyarakat berhak untuk menerima
distribusi itu.
Kekayaan
moral (akhlak) ekonomi Islam dalam kegiatan ekonomi sebagaimana yang
digambarkan di atas tidak muncul dalam sistem ekonomi kapitalis yang
berdasarkan mekanisme pasar. Karena menurut faham ini, ekonomi merupakan ranah
yang bebas dari nilai-nilai, termasuk moral dan agama.
Prinsip
Tauhid sebagaimana dijelaskan pada bagian ini memiliki hubungan yang kuat
dengan prinsip-prnsip ekonomi Islam yang lain, seperti keadilan,
persamaan, distribusi dan hak milik sebagaimana dijelaskan pada bagian
selanjutnya.
2.
Maslahah
Prinsip
kedua dalam ekonomi Islam adalah maslahah. Penempatan prinsip ini
diurutan kedua karena mashlahah merupakan konsep yang paling penting dalam
syariah, sesudah tawhid. Mashlahah adalah tujuan syariah Islam dan menjadi inti
utama syariah Islam itu sendiri.
Secara
umum, maslahah diartikan sebagai kebaikan (kesejahtraan) dunia dan akhirat.
Para ahli ushul fiqh mendefinisikannya sebagai segala sesuatu yang
mengandung manfaat, kegunaan, kebaikan dan menghindarkan mudharat, kerusakan
dan mafsadah. (jalb al-naf’y wa daf’ al-dharar). Imam Al-Ghazali
menyimpukan, maslahah adalah upaya mewujudkan dan memelihara lima kebutuhan
dasar, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Al
mashlahah sebagai salah satu model pendekatan
dalam ijtihad menjadi sangat vital dalam pengembangan ekonomi Islam dan siyasah
iqtishadiyah (kebijakan ekonomi). Mashlahah adalah tujuan yang ingin
diwujudkan oleh syariat. Mashlahah merupakan esensi dari kebijakan-kebijakan
syariah (siyasah syar`iyyah) dalam merespon dinamika sosial, politik,
dan ekonomi. Maslahah `ammah (kemaslahatan umum) merupakan landasan
muamalah, yaitu kemaslahatan yang dibingkai secara syar’i, bukan
semata-mata profit motive dan material rentability sebagaimana
dalam ekonomi konvensional.
Pengembangan
ekonomi Islam dalam menghadapi perubahan dan kemajuan sains teknologi yang
pesat haruslah didasarkan kepada maslahah. Para ulama menyatakan ”di
mana ada maslahah, maka di situ ada syariah Allah ”. Ini berarti
bahwa segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan, maka di sana ada
syariah Allah. Dengan demikian maslahah adalah konsep paling utama dalam
syariat Islam.
3. Adil
Prinsip
adil merupakan pilar penting dalam ekonomi Islam. Penegakkan keadilan telah
ditekankan oleh Al quran sebagai misi utama para Nabi yang diutus Allah
(QS.57:25). Penegakan keadilan ini termasuk keadilan ekonomi dan penghapusan
kesenjangan pendapatan. Allah yang menurunkan Islam sebagai sistem kehidupan
bagi seluruh umat manusia, menekankan pentingnya adanya keadilan dalam setiap
sektor, baik ekonomi, politik maupun sosial.
Komitmen
Al quran tentang penegakan keadilan terlihat dari penyebutan kata keadilan di
dalamnya yang mencapai lebih dari seribu kali[1], yang berarti ; kata urutan ketiga yang banyak disebut Al
quran setelah kata Allah dan ‘Ilm. Bahkan, menurut Ali Syariati
dua pertiga ayat-ayat Al quran berisi tentang keharusan menegakkan keadilan dan
membenci kezhaliman, dengan ungkapan kata zhulm, itsm, dhalal,
dll (Kahduri, The Islamic Conception of Justice (1984):10).
Tujuan
keadilan sosio ekonomi dan pemerataan pendapatan / kesejahteraan, dianggap
sebagai bagian tak terpisahkan dari filsafat moral Islam. Demikian kuatnya
penekanan Islam pada penegakan keadilan sosio ekonomi. Maka, adalah sesuatu
yang keliru, klaim kapitalis maupun sosialis yang menyatakan bahwa hanya mereka
yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.
Harus
kita bedakan bahwa konsep kapitalis tentang keadilan sosio ekonomi dan
pemerataan pendapatan, tidak didasarkan pada komitmen spiritual dan persaudaraan
(ukhuwah) sesama manusia. Komitmen penegakkan keadilan sosio ekonomi
lebih merupakan akibat adanya tekanan dari kelompok.
Secara
konkrit, misalnya sistem kapitalisme yang berkaitan dengan uang dan
perbankan, tidak dimaksudkan untuk mencapai tujuan–tujuan keadilan sosio
ekonomi yang berdasarkan nilai spritual dan persaudaraan universal.
Sehingga, tidak aneh, apabila uang masyarakat yang ditarik oleh bank
konvensional (kapitalis) dominan hanya digunakan oleh para pengusaha besar
(konglomerat).
Kemanfaatan
dari lembaga perbankan tidak dinikmati oleh rakyat kecil yang menjadi mayoritas
penduduk sebuah negara. Fenomena ini terlihat sangat jelas terjadi di
Indonesia. Akibatnya yang kaya semakin kaya dan miskin makin miskin.
Ketidakadilan pun semakin lebar. Sebagaimana disebut di atas, konversi ekonomi
Barat (terutama kapitalisme) kepada penegakan keadilan sosio ekonomi, merupakan
tekanan-tekanan kelompok masyarakat dan tekanan-tekanan politik. Maka, untuk
mewujudkan keadilan sosio-ekonomi itu mereka mengambil beberapa langkah,
terutama melalui pajak dan transfer payment.
Meskipun
ada usaha melalui instrumen pajak, namun langkah-langkah ini menurut Milton
Friedman, terbukti tidak cukup efektif untuk mengatasi ketidakadilan, karena
nyatanya pajak selalu menguntungkan pengusaha, dan para penjabat pajak bersama
kelompok-kelompoknya. (Lihat, “Capitalisme and Freedom”, Chicago, The
University of Chicago Press, 1962, p.172).
Konsep
sosio ekonomi dalam Islam berbeda secara mendasar dengan konsep keadilan dalam kapitalisme
dan sosialisme. Keadilan sosio ekonomi dalam Islam, selain didasarkan pada
komitmen spritual, juga didasarkan atas konsep persaudaraan universal sesama
manusia.
Al
quran secara eksplisit menekankan pentingnya keadilan dan persaudaraan
tersebut. Menurut M. Umer Chapra, sebuah masyarakat Islam yang ideal mesti
mengaktualisasikan keduanya secara bersamaan, karena keduanya merupakan dua
sisi yang tak bisa dipisahkan. Dengan demikian, kedua tujuan ini terintegrasi
sangat kuat ke dalam ajaran Islam sehingga realisasinya menjadi komitmen
spritual (ibadah) bagi masyarakat Islam.
Komitmen
Islam yang besar pada persaudaraan dan keadilan, menuntut agar semua sumber
daya yang menjadi amanat suci Tuhan, digunakan untuk mewujudkan maqashid
syari’ah, yakni pemenuhan kebutuhan hidup manusia, terutama kebutuhan dasar
(primer), seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan.
Persaudaraan dan keadilan juga menuntut agar sumberdaya didistribusikan secara
adil kepada seluruh rakyat melalui kebijakan yang adil dan instrumen zakat,
infaq, sedekah, pajak, kharaj, jizyah, cukai ekspor-impor dan sebagainya.
Aspek
Tauhid yang menjadi fondasi utama ekonomi Islam, mempunyai hubungan kuat dengan
konsep keadilan sosio-ekonomi dan persaudaraan. Ekonomi Tauhid yang mengajarkan
bahwa Allah sebagai pemilik mutlak dan manusia hanyalah sebagai pemegang
amanah, mempunyai konsekuensi, bahwa di dalam harta yang dimiliki setiap
individu terdapat hak-hak orang lain yang harus dikeluarkan sesuai dengan
perintah Allah, berupa zakat, infaq dan sedekah dan cara-cara lain guna
melaksanakan pendistribusian pendapatan yang sesuai dengan konsep persaudaraan
umat manusia.
Sistem keuangan dan perbankan serta kebijakan moneter, misalnya, dirancang
semuanya secara organis dan terkait satu sama lain untuk memberikan sumbangan
yang positif bagi pengurangan ketidakadilan dalam ekonomi dalam bentuk
pengucuran pembiayaan (kredit) bagi masyarakat dan memberikan pinjaman lunak
bagi masyarakat ekonomi lemah melalui produk qardhul hasan.
Selanjutnya,
dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan sosial ekonomi, Islam secara tegas
mengecam konsentrasi asset kekayaan pada sekelompok tertentu dan menawarkan
konsep zakat, infaq, sedeqah, waqaf dan institusi lainnya, seperti pajak,
jizyah, dharibah, dan sebagainya.
Al-Quran
dengan tegas mengatakan, “Supaya harta itu tidak beredar di kalangan orang
kaya saja di antara kamu” (QS. 59:7), “Di antara harta mereka terdapat
hak fakir miskin, baik peminta-minta maupun yang orang miskin malu
meminta-minta” (QS. 70:24).
Berdasarkan
prinsip ini, maka konsep pertumbuhan ekonomi dalam Islam berbeda dengan konsep
pertumbuhan ekonomi kepitalisme yang selalu menggunakan indikator PDB (Produk
Dosmetik Bruto) dan per kapita. Dalam Islam, pertumbuhan harus seiring dengan pemerataan.
Tujuan kegiatan ekonomi, bukanlah meningkatkan pertumbuhan menurut konsep
ekonomi kapitalisme. Tujuan ekonomi Islam lebih memprioritaskan pengentasan
kemiskinan dan pengurangan pengangguran.
Islam
dan ajarannya menekankan keseimbangan antara petumbuhan dan pemerataan.
Pertumbuhan an sich bukan menjadi tujuan utama, kecuali dibarengi dengan
pemerataan. Dalam konsep Islam, pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua sisi
yang tak terpisahkan,. Berdasarkan prinsip ini, maka paradigma tricle down
effect, yang dikembangkan pihak Barat dan pernah diterapkan di
Indonesia selama rezim orde baru, bertentangan dengan konsep keadilan ekonomi
menurut Islam.Selanjutnya, sistem ekonomi kapitalis dicirikan oleh menonjolnya
peran perusahaan swasta (private ownership) dengan motivasi mencari
keuntungan maksimum, harga pasar akan mengatur alokasi sumber daya, dan
efisiensi. Sistem ini pun selalu gagal dalam membuat pertumbuhan dan pemerataan
berjalan seiring.
Sistem
ekonomi kapitalis yang bebas nilai pada akhirnya menghasilkan manusia yang
tamak, boros dan angkuh. Sistem kapitalis juga telah melahirkan sejumlah bankir
hebat, beberapa industriawan yang kaya raya, sejumlah pengusaha yang sukses. Di
balik keberhasilannya, sistem ekonomi ini telah mengakibatkan banyak konsumen
yang tidak mampu memenuhi kebutuhan minimumnya. Kesenjangan antara masyarakat
kaya dan miskin terjadi terjadi secara tajam. Perusahaan-perusahaan yang lemah
akan tersingkir dan tersungkur. Perlu ditegaskan, bahwa melekatnya hak orang
lain pada harta seseorang (QS. 70:24), bukanlah dimaksudkan untuk mematahkan
semangat karya pada setiap individu atau menimbulkan rasa malas bagi sebagian
orang. Juga tidak dimaksudkan untuk menciptakan kerataan pemilikan kekayaan
secara kaku.
Dalam
perspektif ekonomi Islam, proporsi pemerataan yang betul-betul sama rata,
sebagaimana dalam sosialisme, bukanlah keadilan, malah justru dipandang sebagai
ketidakadilan. Hal ini menggambarkan bahwa Islam menghargai prestasi, etos
kerja dan kemampuan seseorang dibanding orang yang malas.
Dasar
dari sikap yang koperatif ini tidak terlepas dari prinsip Islam yang menilai
perbedaan pendapatan sebagai sebuah sunnatullah. Landasannya, antara lain bahwa
etos kerja dan kemampuan seseorang harus dihargai dibanding seorang pemalas atau
yang tidak mampu berusaha.
Bentuk
penghargaannya adalah sikap Islam yang memperkenankan pendapatan seseorang
berbeda dengan orang lain, karena usaha dan ikhtiarnya. Firman Allah, “Sesungguhnya
Allah melebihkan rezeki sebagian kamu atas sebagian lain”. (QS. 16:71).
Namun, orang yang diberi kelebihan rezeki, harus mengeluarkan sebagian hartanya
untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu (dhu’afa). Sehingga seluruh
masyarakat terlepas dari kemisikinan.
Konsep
keadilan sosio-ekonomi yang diajarkan Islam menginginkan adanya pemerataan
pendapatan secara proporsional. Dalam tataran ini, dapat pula dikatakan bahwa
ekonomi Islam adalah ekonomi yang dilandaskan pada kebersamaan. Sehingga
timbul anggapan disebagian masyarakat yang menyatakan bahwa prinsip keadilan
sosio-ekonomi Islam mempunyai kemiripan dengan sistem sosialisme. Bahkan pernah
ada pendapat yang menyatakan bahwa sistem sosialisme itu jika ditambahkan dan
dimasukkan unsur-unsur Islam ke dalamnya, maka ia menjadi Islami.
Pendapat
dan pandangan yang menyatakan kemiripan sistem keadilan sosio Islam
dengan sosialisme tidak sepenuhnya benar, malah lebih banyak keliruannya.
Prinsip ekonomi sosialisme, yang menolak kepemilikan individu dan menginginkan
pemerataan pendapatan, jelas berbeda dengan prinsip ekonomi Islam. Sosialisme
sama sekali tidak mengakui hak milik individu.
Reaksi
marxisme dibungkus secara politis revolusioner dalam paham komunis yang intinya
mengajarkan bahwa seluruh unit ekonomi dikuasakan kepada negara yang
selanjutnya didistribusikan kepada seluruh masyarakat secara merata. Hal ini
didasarkan semangat pertentangan terhadap pemilikan individu. Sedangkan dalam
ekonomi Islam, penegakkan keadilan sosio-ekonomi dilandasi oleh rasa
persaudaraan (ukhuwah), saling mencintai (mahabbah), bahu membahu (takaful)
dan saling tolong menolong (ta’awun), baik antara si kaya dan si miskin
maupun antara penguasa dan rakyat.
4.
Khilafah
Dalam
doktrin Islam, manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah (wakil Allah) di
muka bumi (QS.2;30, 6:165), 35:39). Manusia telah diberkahi dengan semua
kelengkapan akal, spiritual, dan material yang memungkinkannya
untuk mengemban misinya dengan efektif. Fungsi kekhalifahan manusia adalah
uttuk mengelola alam dan memakmurkan bumi sesuai dengan ketentuan dan
syariah Allah. Dalam mengemban tugasnya sebagai khalifah ia diberi kebebasan
dan juga dapat berfikir serta menalar untuk memilih antara yang benar dan yang
salah, fair dan tidak fair dan mengubah kondisi hidupnya ke arah yang lebih
baik (Ar-Ra’d : 11).
Berbeda
dengan paradigma kapitalisme, konsep khilafah mengangkat manusia ke status
terhormat di dalam alam semesta (QS.17:70). Serta memberikan arti dan misi bagi
kehidupan, baik laki-laki maupun wanita. Arti ini diberikan oleh
keyakinan bahwa mereka tidak diciptakan dengan sia-sia (QS.3:192, 23:115).,
tetapi untuk mengemban sebuah misi. Khalifah berbuat sesuai ajaran Tuhan dan
berfungsi sebagai wakil wakil Tuhan di muka bumi
Manusia
bebas memilih berbagai alternatif penggunaan sumber-sumber ini. Namun, karena
ia bukan satu-satunya khalifah, tetapi masih banyak milyaran lagi
khlaifah dan saudara-saudranya, maka mereka harus memanfaatkan sumber-sumber
daya itu secara adil dan efisien sehingga terwujud kesejahteraan (falah) yang
menjadi tujuan kegiatan ekonomi Islam. Tujuan ini hanya tercapai jika
sumber-sumber daya itu digunakan dengan rasa tanggung jawab dan dalam
batas-batas yang digariskan syariah dalam simpul maqashid.
Konsep
khilafah juga meniscayakan peranan negara dalam perekonomian. Peran penting
tersebut antara lain memberikan jaminan sosial kepada masyarakat, jaminan
pelaksanaan ekonomi Islam, serta kontrol pasar dan memastikan tidak terjadi
pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dalam kegiatan bisnis melalui lembaga
hisbah. Peran negara dalam perekonomian tidak berarti bahwa Islam menolak
mekanisme pasar sepenuhnya.
Islam
tidak akan intervensi pasar untuk regulasi harga, kecualai jika terjadi
distorsi pasar. Intervensi negara pada harga didasarkan kan pada prinsip
maslahah, yaitu untuk tujuan-tujuan kebaikan dan keadilan secara menyeluruh.
Ibnu Khaldun dan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa negara memegang peranan
penting untuk tegaknya keadilan dalam ekonomi.
5.
Persaudaraan (ukhuwah)
Al-Quran
mengajarkan persaudaraan (ukhuwah) sesama manusia, termasuk dan terutama
ukhuwah dalam perekonomian.[2] Al-Quran mengatakan, ”Hai manusia, sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”.(QS.49:13). ”Kami
menjadikan kamu dari diri yang satu” (QS.4:1)
Ayat-ayat
ini menjelaskan persamaan martabat sosial semua umat manusia di dunia.
Kedudukan manusia adalah sama di hadapan Allah, sebagaimana sabda Nabi
Muhammad , ”Semua manusia adalah ham-hamba Tuhan dan yang paling dicintai
disisinya adalah mereka yang berbuat baik kepada hamba-hambanya”.
Kriteria
untuk menilai seseorang bukanlah bangsa, ras, warna kulit, tetapi tingkat
pengabdian dan ketaqwaanya kepada Allah secara vertikal dan kemanusiaan secara
horizontal. Nabi Muhamd Saw mengatakan ”Sebaik-baik manusia adalah orang yang
bermanfaat bagi orang lain”.
Ajaran
Islam sangat kuat menekankan altruism, yaitu sikap mementingkan orang
lain. Dalam Al-Quran altruisme diistilahkan dengan itstar yang termaktub
dalam firman Allah, ”Mereka lebih mementingkan orang lain dari diri mereka
sendiri, sekalipun mereka dalam keadaan kesulitan”. Ajaran ini jelas tidak terdapat
dalam ekonomi kapitalisme.
Dalam
ayat lain Allah menggambarkan potret muslim sejati adalah mereka yang rela
memberikan makanan yang memang ia butuhkan kepada orang lain yang lebih
membutuhkan.[3] Dalam ayat lain Allah berfirman, ”Orang bertaqwa
itu memberikan harta yang ia cintai kepada karib-kerabat, anak yatim dan
orang-orang miskin”.
Sebagaimana
disebut di atas bahwa Islam mengajarkan konsep al-musawat (persamaan) di
antara sesama manusia. Semua sumber daya alam, flora dan fauna ditundukan oleh
Allah bagi manusia manapun sebagai sumber manfaat ekonomis ( QS. 6 : 142 – 145
), 16 : 10 – 16. Di sini tampak jelas konsep persamaan manusia dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya.
Konsep
persamaan manusia, menunjukan bahwa Islam menolak pengklasifikasian manusia
yang berdasarkan atas kelas – kelas. Implikasi dari doktrin ini ialah bahwa
antara manusia terjalin rasa persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, saling
membantu dan bekerjasama dalam ekonomi, yakni syirkah, qiradh dan mudharabah ( profit
and lost sharing ). Inilah yang diterapkan di dalam aktivitas ekonomi mikro
di lembaga-lembaga keuangan Islam saat ini, seperti bank syari’ah, asuransi
syari’ah, obligasi syari’ah, pasar modal syariah, Baitul Mal wat
Tamwil.(BMT). Dalam konteks ekonomi makro praktik bagi hasil ini
diterapkan dalam pinjaman luar negeri, dalam instrumen moneter pemerintah
sehingga sistem riba benar-benar dihapuskan dalam seluruh aktivitas ekonomi
baik mikro maupun makro.
Sikap
egalitarian yang dibangun dalam aktifitas ekonomi yang islami, berbeda
dengan sistem ekonomi kapitalis yang individualistis. Sistem ekonomi kapitalis
dibangun atas dasar sebuah konsep yang hanya memberi kemanfaatan kepada pemilik
modal, baik itu dengan sistem bunga, ataupun proses mendapatkan keuntungan yang
menghalalkan segala cara.
Konsekuensi
prinsip ukhuwah adalah niscayanya kerjasama (cooperaion) dalam bisnis.
Cooperation merupakan idealisme interaksi ekonomi. Namun, dalam praktiknya
cooperation hanya sebatas konsep dan wacana para pemikir ekonomi Islam ataupun
berada di dunia ide Plato yang belum hadir dalam tindakan praktik aktual.
Secara fakta sering terjadi para pebisnis menggunakan idiom cooperation,
akan tetapi yang diterapkan di lapangan adalah competition.
Salah
satu contoh yang sederhana adalah dalam penentuan harga. Industri besar yang
manajemennya sudah berhasil menekan ongkos produksi, dengan alasan harga pasar
melumat lawan-lawannya. Akhirnya, tidak ada pilihan lain bagi industri
kecil kecuali gulung tikar atau diakuisisi industri yang lebih besar.
Dalam
kerangka konsep persaudaraan ini, sikap yang baik kepada orang lain bukanlah
sebagaimana yang diajarkan ekonomi kapitalisme. Sebuah perjuangan hidup tidak
hanya untuk memenuhi kepentingan dan kepuasaan individu semata, tetapi juga
saling berkorban dan bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan primer saudara
seiman yang fakir ataupun miskin. Bagaimanapun para ulama fiqh sepakat, bahwa
memperhatikan kebutuhan pokok orang miskin adalah kewajiban bersama (fardhu
kifayah) masyarakat muslim.
Implikasi
logis dari prinsip ukhuwah adalah bahwa seluruh sumberdaya yang disediakan
Allah harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok semua individu dan untuk
menjamin standar hidup yang wajar dan terhormat bagi setiap orang. Nabi
bersabda, ”Tidaklah beriman seseorang kamu, jika ia makan kenyang sementara
tetanggnya kelaparan”. Karena sumber daya yang bisa dikuasai manusias
terbatas, maka untuk mewujudkan filantropi tersebut, seorang muslim haruslah
sederhana dalam mengkonsumsi sumber daya yang tersedia. Pemenuhuan kebutuhan
individu harus dilakukan dalam kerangka hidup sederhana, tidak boleh ada
pemborosan, mubazzir atau israf. Sesuatu yang sangat disayangkan adalah
praktek pemborosan yang telah merajalela di negara muslim
sebagaimana di negara-negara kapitalis.[4]
Konsep
ukhuwah juga berimplikasi pada akhlak dalam bersaing dalam suatu bisnis. Ukhuwah
atau brotherhood amat relevan untuk menjadi therapy bagi atmosphere
interaksi bisnis yang tercerabut dari persaudaraan dan rentan terhadap ancaman homo
homini lopus dan homo economicus.
Untuk
itulah ekonomi Islam mengajarkan persaingan yang sehat, ”Fastabiwul khairat”,
dengan cara meningkatkan efisiensi, kompetensi, dan bentuk-bentuk kompetisi
sehat lainnya. Dalam kaiatan inilah Islam melarang menjelekkan bisnis
orang lain untuk memenangkan bisnisnya, demikian pula Islam melarang bai’
’ala bai akhihi (membeli apa yanag sudah ditawar saudaranya).
Untuk
mewujudkan konsep ukhuwah dalam perekonomian, Islam juga mengajarkan dua
instrumen utama. Pertama, menggalakkan ZISWAF. Kedua, eliminasi riba dalam
segala bentuk dan manifestasinya. Dalam Islam zakat bukanlah charity (bentuk
bekas kasihan), tetapi kewajiban mutlak yang melakat pada setiap pemilik harta.
Zakat infak, sedeqah dan hasil wakaf yang diberikan kepada fakir miskin tidak
saja sebagai manifestasi tauhid tetapi juga manifestasi dari persaudaraaan yang
diajarkan Islam.
Sebagai
salah satu contoh pelanggaran terhadap konsep ukhuwah adalah sebagai berikut.
”Ketika tingkat bunga menaik, maka investasi menurun. Untuk menjaga tingkat
laba tertentu, maka kapitalis menurunkan tingkat upah pekerja, akibatnya terjadilah
pengangguran. Ketika upah diturunkan, terjadilah eksploitasi atas buruh
(perkerja). Pada tataran ini prinsip persaudaraan telah dilanggar”.
6.
Kerja dan Produktifitas
Dalam
Islam bekerja dinilai sebagai suatu kebaikan, dan sebaliknya kemalasan dinilai
sebagai keburukan. Dalam kepustakaan Islam, cukup banyak buku-buku yang
menjelaskan secara rinci tentang etos kerja dalam Islam.
Dalam pandangan Islam bekerja
dipandang sebagai ibadah. Sebuah hadits menyebutkan bahwa bekerja adalah jihad
fi sabilillah.
من كد
على عياله كان المجاهد في سبيل الله عز و جل
Sabda
Nabi Saw, “Siapa yang bekerja keras untuk mencari nafkah keluarganya, maka ia
adalah mujahid fi Sabillah”(Ahmad)
Dalam
hadits Riwayat Thabrani Rasulullah Saw bersabda :
Sesungguhnya,
di antara perbuatan dosa, ada yang tidak bisa terhapus oleh (pahala) shalat,
Sedeqah ataupun haji, namun hanya dapat ditebus dengan kesungguhan dalam
mencari Nafkah penghidupan(H.R.Thabrani)
Dalam
hadits ini Nabi Saw ingin menunjukkan betapa tingginya kedudukan bekerja dalam
Islam, sehingga hanya dengan bekerja keras (sunguh-sungguh) suatu dosa bisa
dihapuskan oleh Allah.
Selanjutnya
dalam hadits yang lain, Nabi bersabda :
Sesungguhnya
Allah mewajibkan kamu berusaha/bekerja, Maka berusahalah kamu !
إن
الله تعالى يحب ان يرى عبده يسعى فى طلب الحلال
Sesungguhnya
Allah Swt senang melihat hambanya yang berusaha )bekerja) mencari rezeki
yang halal.
Berniat
untuk bekerja dengan cara-cara yang sah dan halal menuju ridha Allah
adalah visi dan misi setiap muslim. Berpangku tangan merupakan perbuatan
tercela dalam agama Islam. Umar bin Khatttab pernah menegur seseorang yang
sering duduk berdo’a di mesjid tanpa mau bekerja untuk meningkatkan
kesejahteraan dirinya.
Umar
berkata, Janganlah salah seorang kamu duduk di mesjid dan bedoa, Ya
Allah berilah aku rezeki”. Sedangkan ia tahu bahwa langit tidak akan
menurunkan hujan emas dan hujan perak. Maksud perkataaan Umar ini adalah bahwa
seseorang itu harus bekerja dan berusaha, bukan hanya bedoa saja dengan
mengharapkan bantuan orang lain.[5]
Buruh
yang bekerja secara manual sangat dipuji dan dihargai Nabi Muhammad Saw
meskipun telapak tangannya kasar. Dalam sebuah riwayat, Nabi Saw pernah mencium
tangan orang yang bekerja mencari kayu, yaitu tangan Sa’ad bin Mu’az
tatkala melihat tangannya kasar akibat bekerja keras. Nabi seraya berkata
:
“Inilah
dua telapak tangan yang dicintai Allah”
Dalam sebuah hadits Rasul saw bersabda
من
بات كالا من طلب الحلال بات مغفورا له
(رواه
احمد و إبن عساكر)
“Barang
siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka
pada malam itu ia diampuni Allah”
(Hadits
Riwayat Ahmad & Ibnu Asakir )
اذا صليتم الفجر
فلا تناموا عن طلب الرزق
Apabila
kamu telah selesai shalat subuh, maka janganlah kamu tidur
Hadits
ini memerintahkan agar manusiamenyegerakan bekerja sejak pagi-pagi sekali, agar
ia menjadi produktif. Bahkan Nabi SAW secara khusus mendoakan orang yang
bekerja sejak pagi sekali
اللهم
بارك للأمتي في بكورها
“Ya
Allah, berkatilah ummatku yang bekerja pada pagi-pagi sekali”.
Malas
adalah watak yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itu Nabi
pernah berdo’a kepada Allah agar dilindungi dari sifat lemah dan malas.
اللهم اني
أعوذ بك من العجز والكسل
“Ya
Allah, Sesungguhnya Aku berlindung dengan-Mu dari sifat lemah dan malas”
Al-quran
mengemukakan kepada Nabi Saw dengan mengatakan, “Katakanlah (Hai Muhammad,
kepada ummatmu) : “Bekerjalah !”.
Nabi
juga diriwayatkan telah melarang pengemisan kecuali dalam keadaan kelaparan.
Monastisisme
dan asketisisme dilarang dalam Islam. Monastisisme adalah pandangan atau
sikap hidup menyendiri di suatu tempat dengan menjauhkan diri dari
kehidupan masyarakat. Tujuannya hanya untuk bertapa tanpa niat untuk melakukan
perubahan dan perbaikan masyarakat. Sedangkan asketisme adalah pandangan
atau sikap hidup keagamaan yang menganggap pantang segala
kenikmatan dunia atau dengan penyiksaan diri dalam rangka beribadat dan
mendekatkan diri kepada Tuhan.
Nabi
Muhammad saw pernah bersabda, bahwa orang-orang yang menyediakan makanan
dan kebutuhan lain untuk dirinya dan keluarganya lebih baik daripada orang yang
menghabiskan waktunya untuk beribadat, tanpa mencoba berusaha mendapat penghasilan
untuk dirinya sendiri. Bekerja adalah hak setiap seorang dan sekaligus sebagai
kewajiban.
Dalam
bahasa Arab, terdapat dua istilah/pengertian kata haq. Pertama, Haaqun
lahu ((حق له yang artinya hak dan kedua
Haqqun ‘alaih (حق عليه) yang artinya kewajiban. Menangkap pesan qurani dan
Nabawi mengenai kerja (amal), ini pengertian wajib lebih mengemuka daripada
pengertian hak. Sebab hak boleh dilakukan boleh tidak. Namun, jika dikaitkan
dengan tanggung jawab Imam (penguasa), pengertian kewajiban sangat relevan.
Karena pemerintah (negara) berkewajiban menyediakan kesempatan kerja kepada
para individu.
Dalam
ekonomi Islam, perspektif kerja dan produktifitas adalah untuk mencapai tiga
sasaran, yaitu :Mencukupi kebutuhan hidup (الاشباع ), meraih laba
yang wajar (الارباح ) dan menciptakan kemakmuran lingkungan sosial maupun
alamiyah ( الاعمار )
Ketiga
sasaran tersebut harus terwujud secara harmonis. Apabila terjadi sengketa
antara pekerja dan pemodal (majikan). Islam menyelesaikannya dengan cara yang
baik, yakni ada posisi tawar-menawar antara pekerja yang meminta upah yang
cukup untuk hidup keluarganya dan tingkat laba bagi pemodal (majikan) un\tuk
melanjutkan produksinya.
7.
Kepemilikan
Dalam
kapitalisme yang menganut asas laisssez faire, hak pemilikan perorangan
adalah absolut, tanpa batas. Terjaminnya kebebasan memasuki segala macam
kegiatan ekonomi dan transaksi menurut persaingan bebas. Sedangkan dalam
marxisme, hak memiliki hanya untuk kaum proleter yang diwakili oleh
kepemimpinan diktator. Distribusi faktor-faktor produksi dan apa yang harus
diproduksi, ditetapkan oleh negara. Pendapatan kolektif dan distribusi yang
kolektif adalah ajaran utama, sedangkan hubungan-hubungan ekonomi dalam
transaksi secara perorangan sangat dibatasi.
Berbeda
dengan kapitalisme dan sosialisme, dalam ekonomi Islam, pemilikan hakiki hanya
pada Allah. (QS. 24:33). Allah adalah pemilik mutlak (absolut), sedangkan
manusia memegang hak milik relatif, artinya manusia hanyalah sebagai penerima
titipan, trustee (pemegang amanat) yang harus mempertanggungjawabkannya
kepada Allah. Jadi, menurut ekonomi Islam, penguasaan manusia terhadap
sumberdaya, faktor produksi atau asset produktif hanyalah bersifat
titipan dari Allah. Pemilikan manusia atas harta secara absolut bertentangan dengan
tauhid , karena pemilikan sebenar hanya ada pada Allah semata.
Pandangan
ini sangat bertolak belakang dengan paham kapitalisme yang menganggap harta
adalah milik manusia itu sendiri, karena manusia yang mengusahakannya sendiri.
Untuk itu, menurut paham ini, manusia bebas menentukan cara mendapatkan dan
bebas pula memanfaatkannya, tanpa perlu melihat halal haramnya.
Jika
semua sumberdaya di alam semesta ini sebagai milik Tuhan, maka konsekuensinya
adalah setiap individu mempunyai akses yang sama terhadap milik Allah,
karena seluruh alam ini ditundukkan untuk kemaslahatan seluruh manusia.
Sedangkan menurut ekonomi konvensional, usaha mendapatkan kekayaan,
pemanfaatannya dan penyalurannya, tunduk pada wants manusia itu sendiri,
tidak tunduk pada ketentuan syari’at dan qaidah-qaidah yang
ditetapkan Allah.
Pandangan
Islam tentang harta (sumberdaya) juga berbeda dengan sosialisme yang tidak
mengakui pemilikan individu. Semua adalah milik negara. Individu hanya
diberikan sebatas yang diperlukan dan bekerja sebatas yang dia bisa.
Ekonomi
Islam membagi tiga jenis kepemilikan yang harus dibedakan, yakni pemilikan
individu, pemilikan umum dan pemilikan negara. Pemilikan individu diperoleh
dari bekerja, warisan, pemberian, hibah, hadiah, wasiat, mahar barang temuan
dan jual beli. Islam melarang memperoleh harta melalui cara yang tidak diridhoi
Allah dan merugikan pihak lain, seperti riba, menipu, jasa pelacuran,
perdagangan gelap, produksi dan penjualan alkohol/miras, narkoba, judi,
spekulasi valuta asing, spekulasi di pasar modal, money game,
korupsi, curang dalam takaran dan timbangan, ihtikar, dan sebagainya.
Oleh karena itu tidak seorang pun dapat dibenarkan memperoleh pendapatan dari
aktivitas yang telah disebutkan di atas.
Sedangkan
pemilikan umum adalah barang-barang yang mutlak dibutuhkan manusia dalam
kehidupan sehari-hari dan juga yang menyangkut hajat hidup orang banyak,
seperti air, api (bahan bakar, listrik, gas, padang rumput (hasil hutan),
minyak, sumber mas dan perak, barang yang tak mungkin dimilik individu, seperti
sungai, danau, jalan, lautan, udara, dan sinar matahari.
Pengelolaan
milik umum hanya dimungkinkan dilakukan oleh negara untuk seluruh rakyat,
dengan cara diberikan cuma-cuma atau harga relatif murah dan terjangkau. Dengan
cara ini, rakyat dapat memperoleh beberapa kebutuhan pokoknya dengan cara yang
murah yang akhirnya akan membawa dampak pada kesejahteran rakyat Jalan tol
seharusnya semakin murah dan akhirnya bisa gratis setelah biaya investor
dikembalikan dalam jangka waktu tertentu. Jalan tol sesungguhnya tidak boleh
dibisniskan, karena jalan milik umum. Di negara manapun di dunia ini tarif
jalan tol semakin lama semakin murah. Padahal mereka tidak menganut ekonomi
Islamsecara formal. Di Indonesia, kenyataan berbeda kontras. Hal ini jelas
tidak seusia dengan prinsip kepemikian dalam Islam..
Hak
milik umum yang telah dikelola oleh negara melalui lembaga atau suatu badan
usaha, menjadi hak milik negara. Air, api, rumput, gas, minyak, yang mulanya
merupakan hak milik umum, apabila dikelola negara (dinasionalisasi), maka
statusnya menjadi hak milik negara. Tetapi pemanfatannya harus digunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat secara menyeluruh, bukan hanya untuk
segelintir para pejabat yang menguasai perusahaan BUMN/BUMD tersebut.
Baqir
Al-Sadr berpendapat bahwa menurut ekonomi Islam, hak milik pribadi merupakan
prinsip fundamental. Sedangkan hak milik umum merupakan prinsip tab’an
(pengecualian). Artinya setiap manusia memiliki hak asasi secara pribadi
terhadap segala sumberdaya alam, kecuali sumberdaya tertentu, seperti
sungai, lautan, udara, api, dsb. Pandangan ini juga sejalan dengan Sayyid
Qutub. Menurutnya, hak milik pribadi merupakan pokok (ashal), sedangkan
hak milik umum merupakan pengecualian. Sejalan dengan itu, Tahawi mengatakan,
negara bisa memberikan batasan kepada hak milik perorangan, mengaturnya atau
menyitanya sesudah memberikan ganti rugi yang layak.
Siddiqi
selanjutnya menuturkan bahwa perorangan (individu), negara dan masyarakan,
masing-masing mempunyai klaim (tuntutan) atas hak milik berdasarkan prinsip
bahwa negara mempunyai yurisdiksi atas hak-hak peroranganYuridiksi ini walaupun
bersifat fungsional, tetapi pelaksanaannya tergantung pada tata nilai dan
tujuan-tujuan yang diajarkan Islam. Prinsip-prinsip ini membenarkan diadakannya
nasionalisasi, pembatasan luas/jumlah, pengawasan harga barang tertentu dsb.
Berdasarkan
prinsip di atas, maka peneyrahan perushaan minyakj, air tambang mas
untykdikelola pihak asing sesungguhnya bertentangan dengan konsep kepemilikan
dalam islam. Block Cepu misalnya seharusnya dikelola Pertamina. Jika di
Peratmina banyak korupsi sehingga Bolk Cepu rugi, Solusinya bukan menyerahkan
block Cepu ke tangan asing, tetapi praktek korupsi di Pertamina yang harus
ditumpas. Jika ada tikus di lumbung padi, jangan lumbung padinya yang di bakar,
tetapi tikusnya yang diusir dengan siasat dan strategi canggih.
Konsep
kepemilikan ini membawa sejumlah implikasi yang sangat penting yang membawa
perbedaan revolusioner dengan sistem ekonomi lain seperti kapitalisme dan
sosialisme.
Pertama, bahwa sumber daya diperuntukkan
bagi semua orang, bukan untuk sebagian kecil manusia ( QS. 2 : 29 ). Sumber –
sumber daya itu harus digunakan untuk kesejahteraan semua orang secara
menyeluruh dan adil. Pemusatan kekayaan di negara-negara kaya secara mencolok
adalah realita yang bertentangan dengan keadilan. Demikian pula penguasaan
konglomerat atas jutaan hektar hutan atau ratusan ribu hektar perkebunan,
sehingga terjadi penumpukan asset pada segelintir tertentu, bertentangan dengan
prinsip ekonomi Islam.
Kedua, setiap orang harus memperoleh
sumber- sumber daya itu dengan cara yang sah dan halal, bukan cara- cara curang
seperti suap dan cara-cara batil lainnya. Firman Allah, ”Hai orang-orag yang
beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan cara batil, kecuali dengan
perdagangan yang dilakukan dengan suka rela di antar kamu (QS.4:29).
Ketiga, tidak seorangpun berwenang
menghancurkan atau memboroskan sumber- sumber daya pemberian Tuhan. Tindakan
ini oleh Al- Quran disamakan dengan fasad ( kerasukan, kejahatan dan )
yang dilarang Tuhan ( QS. 2 : 205 ). Karena itu ketika Abu Bakar, mengirm Yazid
bin Sufyan dalam suatu peperangan, ia melarang Yazid membunuh dengan sembarangan
atau merusak kehidupan tumbuh – tumbuhan atau binatang sekalipun di daerah
musuh.
Jika
hal ini tidak diizinkan, sekalipun dalam kondisi perang dan di daerah musuh,
maka tidak ada alasan untuk mengizinkannya pada saat damai dan di negeri
sendiri. Dengan demikian, maka benar- benar tidak dibolehkan menghancurkan dan
memusnahkan barang-barang yang telah diproduksi, sebagai siasat agar harga
barang itu tetap tinggi, baik dengan membakar atau membuangnya kelautan.
8.
Kebebasan dan tanggung Jawab
Prinsip
kebebasan dan tanggung jawab dalam ekonomi Islam pertama kali dirumuskan oleh
An-Naqvi. Kedua prinsip tersebut, masing-masing dapat berdiri sendiri, tetapi
doleh beliau kedua prinsip tersebut digabungkan menjadi satu. Penyatuan ini
dilakukan karena kedua prinsip itu memiliki keterkaitan yang sangat kuat.
Penyatuan
ini juga dimaksudkan agar pembaca dengan cepat menangkap pengertian kebebasan
dalam kajian ini, sehingga tidak muncul tanda tanya dan kerancuan dalam pikiran
tentang makna kebebasan dalam persepektif Islam[6].
Pengertian
kebebasan dalam perekonomian Islam difahami dari dua perspektif, pertama
perspektif teologi dan kedua perspektif ushul fiqh/falsafah tasyri’.
Pengertian
kebebasan dalam perspektif pertama berarti bahwa manusia bebas menentukan
pilihan antara yang baik dan yang buruk dalam mengelola sumberdaya alam.
Kebebasan untuk menentukan pilihan itu melekat pada diri manusia, karena
manusia telah dianugerahi akal untuk memikirkan mana yang baik dan yang buruk,
mana yang maslahah dan mafsadah (mana yang manfaat dan
mudharat).
Adanya
kekebasan termasuk dalam mengamalkan ekonomi, implikasinya manusia harus
bertanggung jawab atas segala perilakunya. Manusia dengan potensi akalnya
mengetahi bahwa penebangan hutan secara liar akan menimbulkan dampak
banjir dan longsor. Manusia juga tahu bahwa membuang limbah ke sungai yang
airnya dibutuhkan masyarakat untuk mencuci dan mandi adalah suatu perbuatan
salah yang mengandung mafsadah dan mudharat. Melakukan riba adalah suatu
kezaliman besar. Namun ia melakukannya juga, karena ia harus mempertangung
jawabkan perbuatannya i\tu di hadapan Allah, karena perbuatan itu dilakukannya
atas pilihan bebasnya.
Seandainya
manusia berkeyakinan bahwa ia melakukan perbuatan itu karena dikehendaki Allah
secara jabari, maka tidak logis ia diminta pertanggung jawaban atas
penyimpangan perilakunya. Jadi makna kebebasan dalam konteks ini bukanlah
manusia bebas tanpa batas melakukan apa saja sebagaimana dalam faham
liberalisme. Jadi, kebebasan dalam Islam bukan kebebasan mutlak[7], karena kekebasan seperti itu hanya akan mengarah kepada
paradigma kapitalis laisssez faire dan kebebasan nilai (value free).
Kebebasan
dalam pengertian Islam adalah kekebasan yang terkendali (al-hurriyah
al-muqayyadah). Dengan demikian, konsep ekonomi pasar bebas, tidak
sepenuhnya begitu saja diterima dalam ekonomi Islam. Alokasi dan distribusi
sumber daya yang adil dan efisien, tidak secara otomatis terwujud dengan
sendirinya berdasarkan kekuatan pasar. Harus ada lembaga pengawas dari otoritas
pemerintah -yang dalam Islam- disebut lembaga hisbah.
Kebebasan
dalam konteks kajian prinsip ekonomi Islam dimaksudkan sebagai antitesis dari
faham jabariyah (determenisme). Faham ini mengajarkan bahwa manusia
bertindak dan berperilaku bukan atas dasar kebebasannya (pilihannya) sendiri,
tetapi atas kehendak Tuhan. Dalam faham ini manusia ibarat wayang yang digerakkan
oleh dalang. Determinisme seperti itu, tidak hanya merendahkan harkat manusia,
tetapi juga menafikan tanggung jawab manusia. idak logis manusia diminta
tanggung jawabnya, sementara ia melakukannya secara ijbari (terpaksa).
Pengertian
kebebasan dalam perspektif ushul fiqh berati bahwa dalam muamalah Islam
membuka pintu seluas-luasnya di mana manusia bebas melakukan apa saja sepajang
tidak ada nash yang melarangnya. Aksioma ini didasarkan pada kaedah,
pada dasarnya dalam muamalah segala sesuatu dibolehkan sepanjang tidak ada
dalil yang melarangnya.
Bila
diterjemahkan arti kebebasan bertanggng jawab ini ke dalam dunia binsis,
khususnya perusahaan, maka kita aan mendapatkan bahwa Islam benar-benar memacu
ummatnya untuk melakaukan inovasi apa saja, termasuk pengembangan teknologi dan
diversifikasi produk.
Pertanggungjawaban
(masuliayah) yang harus dihadapi manusia di akhirat juga merupakan konsukensi
fungsi kekhalifahan manusia sebagai kahlifah. Dalam kapasitasnya sebagai
khalifah, manusia merupakan pemegang amanah (trustee), karena itu setap
pemegang amanah harus bertanggung jawab atas amanah yang dipercayakan untuknya.
Pertanggung
jawaban, accountability atau masuliyah ditekankan dengan
perintah dari Allah melalui istilah hisab atau perhitungan di hari
pembalasan. Istilah hisab ditemukan 109 kali dalam Al-quran dari akar kata
hisab (perhitungan), muhasib (penghitungan/akuntan) dan muhasabah sebagai
pertanggungjawaban yang merupakan manifestasi dari perilaku kehidupan di dunia
ini.
Kepercayaan
pada hari kiamat memilki peranan penting dalam kehidupan seorang muslim yang
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Konsep pertanggungjawaban sudah
diterapkan secara sunnatullah sangat ditekankan dalam Islam, bukan merupakan
norma etika umum atau perundang-undangan negara. Konsep ini mestinya sudah
tertanam di masing-masing indivisu muslim dan tercermin dalam kehidupan
masyarakat dan sistem. Tidak hanya terbatas pada para profesional,
akademisi atau pengusaha saja.
Harus
pula dipahami bahwa pertangggungjawaban tidak hanya terbatas dalam konsep
eskatologis, tetapi juga mencakup proses praktis di dunia ini. Salah satu
contohnya adalah kemampuan analisis dan sajian ilmiah dalam akuntansi, misalnya
apa yang diperintahkan Allah dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 282, ”Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuslikannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menulisnya dengan benar” (QS. 2;282).
9.
Jaminan Sosial
Penjelasan
sebelumnya telah menjelaskan bahwa Islam menuntut kepada setiap orang yang
mampu untuk bekerja dan bersungguh-sungguh dalam kerjanya, sehingga ia dapat
mencukupi dirinya dan keluarganya. Namun demikian, beberapa anggota
masyarakat ada yang tidak mampu bekerja, sehingga mereka tidak berpenghasilan.
Ada juga yang mampu bekerja, tetapi tidak mendapatkan lapangan kerja sebagai
sumber penghasilan mereka dan pemerintah sendiri tidak mampu untuk
mempersiapkan lapangan kerja yang sesuai bagi mereka.
Ada
pula yang sebenarnya sudah bekerja, hanya saja pemasukan mereka belum mencukupi
standar yang layak, karena sedikitnya pemasukan (income) atau banyaknya
keluarga yang ditanggung atau mahalnya harga barang atau karena sebab-sebab
yang lain. Untuk mengatasi problem tersebut Islam mengajarkan takaful
al-ijtima’iy (jaminan sosial), melalui isntrumen zakat, infak, sedeqah dan
wakaf.
Secara
hukum dan moral negara bertanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan pokok
masyarakat. Negara pada dasarnya bertanggung jawab secara tidak langsung
terhadap masyarakatnya dan kewajibannya adalah meringankan dan menghapus
penderitaan rakyatnya. Dengan kata lain, negara hanya bertanggung jawab
terhadap kebutuhan pokok masyarakat secara individu apabila individu itu tidak
mampu memperoleh kebutuhan pokok tersebut dengan usahanya sendiri, tetapi dalam
keadaan apapun, negara tidak memberikan ”ikan” sepenuhnya sehingga masyarakat
menjadi tidak produktif.[8] Jelas bahwa sistem Islam tidak membiarkan mereka menjadi
miskin dan terlantar, tetapi berupaya mewujudkan bagi mereka kehidupan yang
layak.
10.
Nubuwwah
Prinsip
ekonomi Islam yang terakhir adalah nubuwwah yang berarti kenabian.
Prinsip nubuwwah dalam ekonomi Islam merupakan landasan etis dalam
ekonomi mikro. Prinsip nubuwwah mengajarkan bahwa fungsi kehadiran
seorang Rasul/Nabi adalah untuk menjelaskan syariah Allah SWT kepada umat
manusia.
Prinsip
nubuwwah juga mengajarkan bahwa Rasul merupakan personifikasi
kehidupan yang yang baik dan benar. Untuk itu Allah mengutus Nabi
Muhammad Saw sebagai Rasul terakhir yang bertugas untuk memberikan bimbingan
dan sekaligus sebagai teladan kehidupan (Al-Ahzab : 21). Sifat-sifat
utama yang harus diteladani oleh semua manusia (pelaku bisnis, pemerintah dan
segenap manusia) dari Nabi Muhammad Saw, setidaknya ada empat, yaitu shiddiq,
amanah, tabligh dan fatanah.
a.
Siddiq, berarti
jujur dan benar. Prinsip ini harus melandasi seluruh perilaku ekonomi manusia,
baik produksi, distribusi maupun konsumsi.
Pada
zamannya, ia menjadi pelopor perdagangan berdasarkan prinsip kejujuran,
transaksi bisnis yang fair, dan sehat, sehingga ia digelar sebagai al-amin. Ia
tak segan-segan mensosialisasikannya dalam bentuk edukasi langsung dan statemen
yang tegas kepada para pedagang. Pada saat beliau menjadi kepala negara,
perangkat hukum beserta reward dan punishment benar-benar ditegakkan
kepada para pelaku bisnis yang tidak jujur/benar.
shiddiq dapat dijadikan sebagai modal dasar
untk menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas. Dua prinsip yang oleh Peter
Drucker merupakan indikator kesuksesan sebuah perusahaan.
Dalam
dunia perbankan, lembaga keuangan dan bisnis syariah saat ini prinsip shiddiq,
mestinya menjadi sesuatu yang membedakan LKS dan bisnis syariah dengan lembaga
keuangan dan bisnis konvensional, dimana bisnis dalam syariah dilakukan
dengan moralitas yang menjunjung tinggi nilai kejujuran. Dengan ini pengelolaan
harta dan dana masyarakat dilakukan dengan mengedepankan cara – cara yang halal
serta menjauhi cara – cara yang meragukan ( syubhat ) terlebih lagi yang
bersifat larangan ( haram ).
2.
Amanah, berarti
dapat dipercaya, profesinal, kredibiltas dan bertangunggung jawab. Sifat
amanah merupakan karakter utama seorang pelaku ekonomi syariah dan semua umat
manusia. Sifat amanah menduduki posisi yang paling penting dalam ekonomi dan
bisnis. Tanpa adanya amanah perjalanan dan kehidupan ekonomi dan bsinis pasti
akan mengalami kegalagan dan kehancuran. Dengan demikian setiap pelaku
ekonomi Islam mestilah menjadi orang yang profesional dan bertanggug jawab,
sehingga ia dipercaya oleh masyarakat dan seluruh pelanggan.
Dalam
dunia perbankan dan LKS yang berkembang saat ini sifat amanah menjadi kunci
sukses ekonomi syariah di masa depan. Jika pelaku ekonomi syariah saat ini
menciderai gerakan ekonomi syariah dengan sifat dan praltek non-amanah (seperti
tidak profesional, tidak bertanggung jawab dan tidak kredible, maka selueuh
masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap lembaga yang bernama ”syariah”
tersebut.
3.
Tablig, adalah
komunikatif, dan transparan, dana pemasaran yang kontiniu. Para pelaku ekonomi
syarah harus memiliki kemampuan komunikasi yang handal dalam memasarkan ekonomi
syariah. Dalam mengelola perusahaan, para manajemen harus transparan.
Demikian pula dalam melakukan pemasaran, sosialisasi dan edukasi harus
berkesinambungan Dalam melakukan sosialisasi, sebaiknya tidak hanya
mengedepankan pemenuhan prinsip syariah semata, tetapi juga harus mampu mengedukasi
masyarakat mengenai manfaat bagi pengguna jasa perbankan syariah. Tabligh juga
berarti bahwa pengelolaan dana dan keuntungannya harus dilakukan secara
transparan dalam batas – batas yang tidak mengganggu kerahasiaan bank.
4.
Fathonah, berarti kecerdasan dan
intelektualitas fathanah mengharuskan kegiatan ekonomi dan bisnis didasarkan
dengan ilmu, skills, jujur,benar,kredible dan bertanggung jawab dalam
berekonomi dan berbisnis. Para pelaku ekonomi harus cerdas dan kaya wawasan
agar bisnis yang doijalankan efektif dan efisien dan bisa memenasngkan
persaiangan dan tidak menjadi korban penipuan. Dalam dunia bisnis sifat fatanah
memastikan bahwa pengelolaan bisnis, perbankan atau lembaga bisnis apa saja
harus dilakukan secara smart dan kompetitif, sehingga menghasilkan keuntungan
maksimum dalam tingkat risiko yang rendah.
Untuk
mengakhiri topik ini, maka berikut akan disampaikan mengenai intisari dari
perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi kapitalis:
PERBEDAAN
EKONOMI ISLAM DAN EKONOMI KAPITALISME
Aspek
|
Islam
|
Kapitalisme
|
Sumber Ide /pemikiran
|
Allah
|
Manusia
|
Sumber
|
Alquran dan hadits
|
Daya Pikir Manusia
|
Motif
|
Ibadah
|
Rasional materialisme
|
Paradigma
|
Syariah
|
Pasar
|
Tujuan
|
Falah dan Maslahat
|
Utilitarian, individualisme
|
Filosofi Operasional
|
Keadilan, kebersamaan
dan
Tanggung Jawab
|
Liberalisme, Laisez Faire
|
Kepemilikan harta
|
Milik absolut pada Allah, manusia
adalah penerima amanah, pemilik relatif
|
Hak milik absolut pada manusia
|
Sistem Investasi
|
PLS
|
Bunga
|
Sistem Distribusi
|
Mekanisme pasar dengan nilai2 (
termasuk Zakat, Infak, sedekah, wakaf)
|
Sistem Pasar
|
Prinsip Jual beli
|
Melarang gharar, maysir, riba dan
barang-barang haram
|
Tidak ada larangan
|
Motif Konsumsi
|
Kebutuhan
|
Keinginan
|
Tujuan Konsumsi
|
Kemaslahatan
|
Memaksimalkan utility
|
Motif untuk Produksi
|
Kebutuhan dan kewajiban manusia
|
Ego dan rasionalisme
|
Hubungan antar pelaku bisnis
sejenis
|
Ukhuwah
|
Persaingan
|
Perputaran Uang
|
Real based ekonomi
|
Monetary based ekonomi
|
Keterkaitan sektor riil dan
moneter
|
Sangat terkait satu dan lainnya
|
Terpisah
|
Instrumen Moneter
|
Bagi hasil, jual beli, ijarah
|
Riba
|
Indikator keberhasilan ekonomi
|
Pertumbuhan dan pemerataan
|
Pertumbuhan ekonomi
|
Prinsip Pengeluaran
|
Berdasarkan 3 tingkatan mashlahah
(dharuriah, Tahsiniyah dan Hajjiyah)
|
Tidak memperhatikan prioritas
mashlahah
|
Sumber keuangan negara
|
Zakat, Infak, sedekah, usyr,
dharibah, kharaj, pajak kondisional.
|
Pajak
|
Sasaran Penerima
|
Pada zakat ditentukan 8 ashnaf
|
Tanpa melihat ashnaf
|
Tujuan Pembangunan
|
Memprioritaskan pengentasan kemiskinan
|
Kemajuan semata
|
Dampak
|
Sarana menciptakan keadilan
ekonomi
|
Kesenjangan
|
0 comments:
Post a Comment