PRODUKSI, KONSUMSI DAN DISTRIBUSI DALAM ISLAM
A.
PRODUKSI DALAM ISLAM
1.
Pendahuluan
Produksi merupakan sebuah proses
yang telah terlahir di muka bumi ini semenjak manusia menghuni planet ini.
Menurut Dr. Muhammad Rawwas Qalahji kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan
kata al-Intaj yang secara harfiah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewjudkan
atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin
min ‘anashir alintaj dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang
jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan unsurnsur produksi yang
terbingkai dalam waktu yang terbatas).
Produksi menurut Kahf mendefenisikan
kegiatan produksi dalam prespektif Islam sebagai usaha manusia untuk
memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas,
sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama
Islam, yaitu kebahagian di dunia dan akhirat.
Dari dua pengertian di atas produksi
adalah setiap bentuk aktivitas yang dilakukan mansia dengan cara mengeksplorasi
sumber-sumber ekonomi yang disediakan Allah Swt untuk mewujudkan suatu barang
dan jasa yang digunakan tidak hanya untuk kebutuhan fisik tetapi juga untuk
memenuhi kebutuhan non fisik, dalam artian yang lain produksi dimaksudkan untuk
mencapai maslahah bukan hanya menciptakan materi.[1]
Produksi sangat prinsip bagi
kelangsungan hidup dan juga peradaban manusia dan bumi. Sesungguhnya produksi
lahir dan tumbuh dari menyatunya manusia dengan alam.[2]
Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan
produksilah yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para
konsumen. Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, begitu pula
sebaliknya. Untuk menghasilkan barang dan jasa kegiatan produksi
melibatkan banyak faktor produksi. Fungsi produksi menggambarkan hubungan antar
jumlah input dengan output yang dapat dihasilkan dalam satu waktu periode
tertentu.[3]
Dalam teori produksi memberikan penjelasan tentang perilaku produsen
tentang perilaku produsen dalam memaksimalkan keuntungannya maupun
mengoptimalkan efisiensi produksinya. Dimana Islam mengakui pemilikian
pribadi dalam batas-batas tertentu termasuk[4]
pemilikan alat produksi, akan tetapi hak tersebut tidak mutlak.
2.
Prinsip-prinsip
Produksi
Beberapa prinsip yang diperhatikan
dalam prduksi, antara lain dikemukakan Muhammad al-Mubarak, sebagai berikut:[5]
a.
Dilarang
memproduksi dan memperdagangkan komoditas yang tercela karena bertentangan
dengan syariah.
b.
Di larang
melakukan kegiatan produksi yang mengarah kepada kedzaliman.
c.
Larangan
melakukan ikhtikar (penimbunan barang).
d.
Memelihara lingkungan
Di bawah ini ada beberapa implikasi mendasar bagi kegiatan produksi dan perekonomian
secara keseluruhan, antara lain :
2. Kegiatan
produksi harus memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan
3.
Ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang Prinsip Produksi
Salah satu ayat tentang produksi
yaitu Ayat yang berkaitan dengan faktor produksi
Tanah dalam Surat As-Sajdah : 2
“Dan apakah mereka tidak
memperhatikan, bahwasanya kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanaman
yang daripadanya makan hewan ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah
mereka tidak memperhatikan?”
Ayat diatas
menjelaskan tentang tanah yang berfungsi sebagai penyerap air hujan dan
akhirnya tumbuh tanaman-tanaman yang terdiri dari beragam jenis. Tanaman itu
dapat dimanfaatkan manusia sebagai faktor produksi alam, dari tanaman tersebut
juga dikonsumsi oleh hewan ternak yang pada akhirnya juga hewan ternak
tersebut diambil manfaatnya (diproduksi) dengan berbgai bentuk seperti diambil
dagingnya, susunya dan lain sebagaiya yang ada pada hewan ternak tersebut.
Ayat ini
juga memberikan kepada kita untuk berfikir dalam pemanfaatan sumber daya
alam dan proses terjadinya hujan. Jelas sekali menunjukkan adanya suatu
siklus produksi dari proses turunnya hujan, tumbuh tanaman, menghasilkan
dedunan dan buah-buahan yang segar setelah di disiram dengan air hujan dan pada
akhirnya diakan oleh manusia dan hewan untuk konsumsi. Siklus rantai makanan
yang berkesinambungan agaknya telah dijelskan secara baik dalam ayat ini.
Tentunya puila harus disertai dengan prinsip efisiensi[8] dalam memanfaatkan seluruh
batas kemungkinan produksinya. Sedangkan di dalam hadit, salah
satunya sebagai berikut:
HR Bukhari – Nabi mengatakan, “Seseorang yang mempunyai sebidang tanah
harus menggarap tanahnya sendiri, dan jangan membiarkannya. Jika tidak digarap,
dia harus memberikannya kepada orang lain untuk mengerjakannya. Tetapi bila kedua-duanya tidak dia
lakukan – tidak digarap, tidak pula diberikan kepada orang lain untuk
mengerjakannya – maka hendaknya dipelihara/dijaga sendiri. Namun kami
tidak menyukai hal ini.”
Hadits tersebut memberikan penjelasn
tentang pemanfaatan faktor produksi berupa tanah yang merupakan faktor penting
dalam produksi . Tanah yang dibiarkan begitu saja tanpa diolah dan dimanfaatkan
tidak disukai oleh Nabi Muhammad SAW karena tidak bermanfaat bagi sekelilingnya.
Hendaklah tanah itu digarap untuk dapat ditanami tumbuhan dan tanaman yang
dapat dipetik hasilnya ketika panen dan untuk pemenuhan kebutuhan dasar berupa
pangan, penggarapan bisa dilakukan oleh si empunya tanah atau diserahkan kepada
orang lain.
Menurut Nejatullah ash-Shiddiqi,
tujuan produksi sebagai berikut:
a.
Pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan individu secara wajar
b.
Pemenuhan
kebtuhan keluarga
c.
Bekal untuk
generasi mendatang
d.
Bantuan
kepada masyarakat dalam rangka beribadah kepada Allah.
e.
Menurut Ibnu
Khaldun dan beberapa ulama lainnya berpendapat, kebutuhan manusia dapat
digologkan kepada tiga kategori, yaitu dharuriyah, hajjiyat, tahsiniyat.
a.
Tanah dan
segala potensi ekonomi di anjurkan al-Qur’an untuk di olah dan tidak dapat
dipisahkan dari proses produksi.
b.
Tenaga kerja
terkait langsung dengan tuntutan hak milik melalui produksi.
c.
Modal,
manajemen dan tekhnologi.
6.
Etika dalam Produksi
Etika dalam berproduksi yaitu
sebagai berikut[10]:
a.
Peringatan
Allah akan kekayaan alam.
b.
Berproduksi
dalam lingkaran yang Halal. Sendi utamanya dalam berproduksi adalah bekerja,
berusaha bahkan dalam proses yang memproduk barang dan jasa yang toyyib,
termasuk dalam menentukan target yang harus dihasilkan dalam berproduksi.
c.
Etika
mengelola sumber daya alam dalam berproduksi dimaknai sebagai proses
menciptakan kekayaan dengan memanfaatkan sumber daya alam harus bersandarkan
visi penciptaan alam ini dan seiring dengan visi penciptaan manusia yaitu
sebagai rahmat bagi seluruh alam.
d.
Etika dalam
berproduksi memanfaatkan kekayaan alam juga sangat tergantung dari nilai-nilai
sikap manusia, nilai pengetahuan, dan keterampilan. Dan bekerja sebagai sendi
utama produksi yang harus dilandasi dengan ilmu dan syari’ah islam.
e.
Khalifah di
muka bumi tidak hanya berdasarkan pada aktivitas menghasilkan daya guna suatu
barang saja melainkan Bekerja dilakukan dengan motif kemaslahatan untuk mencari
keridhaan Allah Swt.
Namun secara umum etika dalam islam
tentang muamalah Islam, maka tampak jelas dihadapan kita empat nilai utama,
yaitu rabbaniyah, akhlak, kemanusiaan dan pertengahan. Nilai-nilai ini
menggambarkan kekhasan (keunikan) yang utama bagi ekonomi Islam, bahkan dalam
kenyataannya merupakan kekhasan yang bersifat menyeluruh yang tampak jelas pada
segala sesuatu yang berlandaskan ajaran Islam. Makna dan nilai-nilai pokok yang
empat ini memiliki cabang, buah, dan dampak bagi seluruh segi ekonomi dan
muamalah Islamiah di bidang harta berupa produksi, konsumsi, sirkulasi, dan
distribusi.
B.
KONSUMSI DALAM ISLAM
1.
Pengertian dan Tujuan Konsumsi dalam Islam
Salah satu persoalan penting dalam kajian ekonomi
Islam ialah masalah konsumsi. Konsumsi berperan sebagai pilar dalam
kegiatan ekonomi seseorang (individu), perusahaan maupun negara. konsumsi
secara umum diformulasikan dengan : ”Pemakaian dan penggunaan barang – barang
dan jasa, seperti pakaian, makanan, minuman, rumah, peralatan rumah tangga,
kenderaan, alat-alat hiburan, media cetak dan elektronik, jasa telephon, jasa
konsultasi hukum, belajar/ kursus, dsb”.
Berangkat dari pengertian ini, maka dapat dipahami
bahwa konsumsi sebenarnya tidak identik dengan makan dan minum dalam istilah
teknis sehari-hari; akan tetapi juga meliputi pemanfaatan atau pendayagunaan
segala sesuatu yang dibutuhkan manusia. Namun, karena yang paling penting dan
umum dikenal masyarakat luas tentang aktivitas konsumsi adalah makan dan minum,
maka tidaklah mengherankan jika konsumsi sering diidentikkan dengan makan dan
minum.
Tujuan konsumsi dalam Islam adalah untuk mewujudkan
maslahah duniawi dan ukhrawi. Maslahah duniawi ialah terpenuhinya kebutuhan
dasar manusia, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan, kesehatan,
pendidikan (akal). Kemaslahatan akhirat ialah terlaksanaya kewajiban agama
seperti shalat dan haji. Artinya, manusia makan dan minum agar bisa beribadah
kepada Allah. Manusia berpakaian untuk menutup aurat agar bisa shalat, haji,
bergaul sosial dan terhindar dari perbuatan mesum (nasab)
Sebagaimana disebut di atas, banyak ayat dan hadits
yang berbicara tentang konsumsi, di antaranya Surat al A’raf ayat 31. Ayat ini
tidak saja membicarakan konsumsi makanan dan minuman, tetapi juga pakaian.
Bahkan pada ayat selanjutnya (ayat 33) dibicarakan tentang
perhiasan.
Menurut Abdul Mannan bahwa perintah Islam mengenai
konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip, yaitu:
a.
Prinsip
Keadilan
b.
Prinsip
Kebersihan
c.
Prinsip
Kesederhanaan
d.
Prinsip
Kemurahan Hati
e.
Prinsip
Moralitas.
Etika konsumsi menurut Naqvi adalah sebagai berikut:
a.
Tauhid (Unity/
Kesatuan)
Karakteristik utama dan pokok dalam
Islam adalah “tauhid” yang menurut Qardhawi dibagi menjadi dua kriteria,
yaitu rubaniyyah gayah (tujuan) dan wijhah (sudut pandang).
Kriteria pertama menunjukkan maksud
bahwa tujuan akhir dan sasaran Islam adalah menjaga hubungan baik dan mencapai
ridha-Nya. Sehingga pengabdian kepada Allah merupakan tujuan akhir, sasaran,
puncak cita-cita, usaha dan kerja keras manusia dalam kehidupan yang fana ini.
Kriteria kedua adalah rabbani yang masdar (sumber hukum) dan manhaj (sistem).
Kriteria ini merupakan suatu sistem yang ditetapkan untuk mencapai sasaran dan
tujuan puncak (kriteria pertama) yang bersumber al-Qur’an dan Hadits Rasul.
b.
Adil (Equilibrium/
Keadilan)
Khursid Ahmad mengatakan, kata ‘adl
dapat diartikan seimbang (balance) dan setimbang (equlibrium). Atas
sebab dasar itu ia menyebutkan konsep al-‘adl dalam prespektif Islam
adalah keadilan Ilahi.
Salah satu manifestasi keadilan
menurut al-Qur’an adalah kesejahteraan. Keadilan akan mengantarkan manusia
kepada ketaqwaan, dan ketaqwaan akan menghasilkan kesejahteraan bagi manusia
itu sendiri.
c.
Free Will (Kehendak
Bebas)
Manusia merupakan makhluk yang
berkehendak bebas namun kebebasan ini tidaklah berarti bahwa manusia terlepas
dari qadha dan qadar yang merupakan hukum sebab-akibat yang
didasarkan pada pengetahuan dan kehendak Tuhan.
d.
Amanah (Responsibility/
Pertanggungjawaban)
Etika dari kehendak bebas adalah
pertanggungjawaban. Dengan kata lain, setelah manusia melakukan perbuatan maka
ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dengan demikian prinsip tanggung
jawab merupakan suatu hubungan logis dengan adanya prinsip kehendak bebas.
e.
Halal
Kehalalan adalah salah satu kendala
untuk memperoleh maksimalisasi kegunaan konsumsi salam kerangka Ekonomi Islam.
Kehalalan suatu barang konsumsi merupakan antisipasi dari adanya keburukan yang
ditimbulkan oleh barang tersebut.
f.
Sederhana
Sederhana dalam konsumsi mempunyai
arti jalan tengah dalam berkomunikasi. Diantara dua cara hidup yang ekstrim
antara paham materilialistis dan zuhud. Ajaran al-Qur’an menegaskan
bahwa dalam berkonsumsi manusia dianjurkan untuk tidak boros dan tidak kikir.
C.
DISTRIBUSI DALAM ISLAM
System
ekonomi yang berbasis Islam menghandaki bahwa dalam hal pendistribusian harus
berdasarkan dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan keadilan kepemilikan.
Kebebasan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang di bingkai oleh
nilai-nilai agama dan keadilan tidak seperti pemahaman kaum kapitalis yang
menyatakannya sebagai tindakan membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak
tanpa campur tangan pihak mana pun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu
dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara
individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat
lainnya.
Keberadilan
dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam al-qur’an agar supaya
harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang dagangan yang hanya beredar
diantara orang-orang kaya saja, akan tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi
kepada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan (59:7).
Dalam system
ekonomi kapitalis bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan cara menaikkan
tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income) adalah
teori yang tidak dapat dibenarkan dan bahkan kemiskinan menjadi salah satu
produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola distribusi
kekayaan secara tidak adil Fakta empirik menunjukkan, bahwa bukan karena tidak
ada makanan yang membuat rakyat menderita kelaparan melainkan buruknya
distribusi makanan (Ismail Yusanto). Mustafa E Nasution pun menjelaskan bahwa
berbagai krisis yang melanda perekonomian dunia yang menyangkut sistem ekonomi
kapitalis dewasa ini telah memperburuk tingkat kemiskinan serta pola pembagian
pendapatan di dalam perekonomian negara-negara yang ada, lebih-lebih lagi
keadaan perekonomian di negara-negara Islam.
Islam sangat mendukung pertukaran
barang dan menganggapnya produktif dan mendukung para pedangang yangg berjaln
di muka bumi mencari sebagian dari karunia Allah, dan membolehkan orang
memiliki modal untuk berdagang, tapi ia tetap berusaha agar pertukaran barang
itu berjalan atas prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.
Tetap
mengumpulkan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
b.
Antara dua
penyelenggara muamalat tetap ada keadilan dan harus tetap ada kebebasan ijab
kabul dalam akad-akad.
c.
Tetap berpengaruhnya
rasa cinta dan lemah lembut.
d.
Jelas dan
jauh dari perselisihan.
a.
Tujuan
Dakwah, yakni dakwah kepada Islam dan menyatukan hati kepadanya.
b.
Tujuan
Pendidikan, tujuan pendidikan dalam distribusi adalah seperti dalam surah
at-Taubah ayat 103 yang bermaksud menjadikan insan yang berakhlak karimah.
c.
Tujuan
sosial, yakni memenuhi kebutuhan masyarakat serta keadilan dalam distribusi
sehingga tidak terjadi kerusuhan dan perkelahian.
d.
Tujuan
Ekonomi, yakni pengembangan harta dan pembersihannya, memberdayakan SDM,
kesejahteraan ekonomi dan penggunaan terbaik dalam menempatkan sesuatu.
3.
Etika Distribusi
a.
Selalu
menghiasi amal dengan niat ibadah dan ikhlas.
b.
Transfaran,
dan barangnya halal serta tidak membahayakan.
c.
Adil, dan
tidak mengerjakan hal-hal yang dilarang di dalam Islam.
d.
Tolong
menolong, toleransi dan sedekah.
e.
Tidak
melakukan pameran barang yang menimbulkan persepsi.
f.
Tidak pernah
lalai ibadah karena kegiatan distribusi.[15]
g.
Larangan
Ikhtikar, ikhtikar dilarang karena akan menyebabkan kenaikan harga.
h.
Mencari
keuntungan yang wajar. Maksudnya kita dilarang mencari keuntungan yang
semaksimal mugkin yang biasanya hanya mementingkan pribadi sendiri tanpa
memikirkan orang lain.
i.
Distribusi
kekayaan yang meluas, Islam mencegah penumpukan kekayaan pada kelompok kecil
dan menganjurkan distribusi kekayaan kepada seluruh lapisan masyarakat.
j.
Kesamaan
Sosial, maksudnya dalam pendistribusian tidak ada diskriminasi atau
berkasta-kasta, semuanya sama dalam mendapatkan ekonomi.[16]
4.
Jaminan Sosial (Takaful Ijtima’)
Setiap individu mempunyai hak untuk
hidup dalam sebuah negara, dan setiap warga negara dijamin untuk memperoleh
kebutuhan pokoknya masing-masing. Dan terdapat persamaan sepenuhnya diantara
warga negara apabila kebutuhan pokoknya sudah terpenuhi.[17]
Menurut Syekh Mahmud Syaltut, bahwa
jaminan sosial adalah suatu keharusan diantara keharusan-keharusan
persaudaraan, bahkan suatu yang paling utama, yaitu perasaan tanggung jawab
dari yang satu terhadap yang lain, dimana setiap orang turut memikul beban
saudaranya, dan dipikul bebannya oleh saudaranya, dan selanjutnya ia harus
bertanggung jawab terhadap dirinya dan bertanggung jawab terhadap saudaranya.[18]
Jaminan sosial dapat memberikan
standar hidup yang layak, termasuk penyediaan pangan, pakaian, perumahan,
kesehatan, pendidikan dan sebagainya kepada setiap anggota masyarakat.[19]
KESIMPULAN
Dengan
penjelasan di atas bahwa semua kegiatan baik produksi, konsumsi dan distribusi
harus sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yaitu prinsip tauhid, prinsip
keadilan, prinsip kebebasan dan prinsip pertanggungjawaban. Manusia dalam
berproduksi, konsumsi dan distribusi harus sesuai dengan etika islam yang
menjadikan kemakmuran dan ketentraman dalam bermasyarakat.
Etika dalam berproduksi yaitu
sebagai berikut:
a.
Peringatan
Allah akan kekayaan alam.
b.
Berproduksi
dalam lingkaran yang Halal.
c.
Etika
mengelola sumber daya alam
d.
Etika dalam
berproduksi harus dilandasi dengan ilmu dan syari’ah islam.
e.
Sebagai
Khalifah di muka.
Etika Konsumsi menurut Islam, antara lain:
a.
Tauhid (Unity/
Kesatuan)
b.
Adil (Equilibrium/
Keadilan)
c.
Free Will (Kehendak
Bebas)
d.
Amanah (Responsibility/
Pertanggungjawaban)
e.
Halal
f.
Sederhana
Etika Distribusi menurut Islam, antara lain:
a.
Larangan
Ikhtikar.
b.
Mencari
keuntungan yang wajar.
c.
Distribusi
kekayaan yang meluas.
d.
Kesamaan
Sosial.
REFERENSI
Ahmad al-haritsi, fikih ekonomi
umar.
Adiwarman
Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007)
Metwally, Teori
dan Model Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. Bangkit Daya Insana, 1995)
Mawardi, M.Si, Ekonomi Islam, (Pekanbaru:
Alaf Riau: 2007)
Hendrie Anto, Pengantar
Ekonomika Mikro Islami, (Yogyakarta: Jalasutra, 2003)
Prof. Dr. Akhmad Mujahidin, M.Ag, ekonomi
islam 2, (Pekanbaru, Mujtahadah Press: 2010)
Sofyan S. Harahap, Etika Bisnis
dalam Perspektif Islam (Jakarta: Salemba Empat: 2011)
[3] A production
function dewscribes the relationship between the quantity of output obtainable
per period on time, lihat di Arthur Thompson and John, Formby, Economics
of the Firm : Theory and practice, (New Jersey : Prentice Hall, 1993)
[15] Sofyan S. Harahap, Etika Bisnis dalam Perspektif
Islam (Jakarta: Salemba Empat: 2011), hlm. 140
[16] Prof. Dr.
Akhmad Mujahidin, M.Ag, ekonomi islam 2, (Pekanbaru, Mujtahadah Press:
2010), hlm. 21
0 comments:
Post a Comment