PROSPEK
ILMU EKONOMI ISLAM
A. Pendahuluan
Persoalan ekonomi manusia sebenarnya telah tumbuh berkembang bersamaan dengan umur manusia di planet bumi ini, demikian juga upaya untuk memecahkannya, tidak hanya untuk mempertemukan kedua tujuan itu, tetapi membuat kehidupan lebih nyaman dan mendorong kekuatan mereka terwujud berdasarkan visi mereka. Apa yang dikonsumsi, bagaimana memproduksi, dan bagaimana mendistribusikan ?. Persoalan-persoalan ini tetap menjadi isu utama selama perjuangan manusia di sepanjang kehidupannya, baik yang terekam oleh sejarah maupun tidak.
Persoalan ekonomi manusia sebenarnya telah tumbuh berkembang bersamaan dengan umur manusia di planet bumi ini, demikian juga upaya untuk memecahkannya, tidak hanya untuk mempertemukan kedua tujuan itu, tetapi membuat kehidupan lebih nyaman dan mendorong kekuatan mereka terwujud berdasarkan visi mereka. Apa yang dikonsumsi, bagaimana memproduksi, dan bagaimana mendistribusikan ?. Persoalan-persoalan ini tetap menjadi isu utama selama perjuangan manusia di sepanjang kehidupannya, baik yang terekam oleh sejarah maupun tidak.
Apabila persoalan ekonomi dikaitkan dengan persoalan mendasar yang
dihadapi umat manusia sekarang maka terdapat suatu asumsi, yaitu munculnya
suatu pandangan yang menempatkan aspek material yang bebas dari dimensi nilai
pada posisi yang dominan. Pandangan hidup yang berpihak pada ideologi
materialisme inilah yang kemudian mendorong perilaku manusia menjadi pelaku
ekonomi yang hedonistik,
sekularistik dan materialistik. Dampak yang ditimbulkan dari cara pandang
inilah yang kemudian membawa malapetaka dan bencana dalam kehidupan sosial
masyarakat seperti eksploitasi dan perusakan lingkungan hidup, disparatis pendapatan dan kekayaan
antargolongan dalam masyarakat dan antarnegara di dunia, lunturnya sikap
kebersamaan dan persaudaraan, timbulnya penyakit-penyakit sosial (social
disease), timbulnya revolusi sosial yang anarkis dan sebagainya.
Fenomena ini muncul disebabkan adanya beberapa kemungkinan, yaitu antara lain adalah :
Pertama, karena ilmu ekonomi cenderung berbicara dalam dataran positif (positive economics) dengan maksud untuk tetap menjaga obyektifitas ilmu.
Kedua, model masyarakat yang dikembangkan dalam ilmu ekonomi modern beranjak dari tradisi masyarakat barat yang sekuler sehingga contoh, model dan rumusan teori ekonominya diilhami dari latar belakang masyarakat Eropa.
Ketiga, tradisi pemikiran Neo-Klasik menempatkan aspek individualisme, naturalisme dan utilitarianisme dalam posisi yang startegis dalam membangun paradigma ilmu ekonomi, sehingga teori dan model yang dikembangkan adalah merupakan rumusan yang diorientasikan pada aspek-aspek meterial seperti maksimasi keuntungan dan kepuasan, bekerjanya melalui mekanisme harga melalui invisible hand.
Tidak ada keraguan bahwa ilmu ekonomi konvensional telah mencapai tingkat sofistikasi intelektual yang sangat besar. Namun bukanlah sofistikasi suatu disiplin yang diinginkan oleh manusia, karena belum sepenuhnya dapat memecahkan problem kemanusian. Mereka sebenarnya menginginkan bagaimana ilmu itu dapat membantu umat manusia merealisasikan sasaran-sasaran humanitarian-nya, yang ada di setiap kepala manusia adalah keadilan dan kesejahteraan umum. Di sinilah menurut Dr. M. Umer Chapra (1420 H/2000 M) , ilmu ekonomi konvensional telah gagal. Selanjutnya ia (1420 H/2000 M) berpendapat bahwa untuk menjawab pesoalan di atas perlu dikembangkan ilmu ekonomi Islam, karena ia mempunyai potensi besar karena lingkupnya yang jauh lebih luas. Melalui triloginya, Towards a Just Monetary System (1985), Islam and the Economic Challenge (1992), dan The Future of Economics: An Islamic Islamic Perspective (2000), Chapra seperti mengingatkan mendesaknya agenda dekonstruksi ilmu ekonomi konvensional.
Penjelasan tentang sistem dan argumentasi kegagalan ilmu ekonomi konvensional, perbandingan dan potensi ilmu ekonomi Islam sebagai alternatif pemecahan problem sosioekonomic dalam mayarakat akan penulis paparkan pada karya ini. Karya ini adalah merupakan telaah buku yang bertajuk The Future of Economics : An Islamic Perspective karya M. Umer Chapra.
Telaah sederhana ini akan mencoba menangkap inti dari pembacaan penulis buku di atas tentang fenomena ekonomi dunia dan usaha sebagai pencerahan dengan mencari alternatifnya yang menurut Chapra sebenarnya sudah pernah berkembang kemudian hilang tertindih oleh sistem sekuler. Alternatif tersebut adalah sistem ekonomi Islam.
B. Problem Akademik yang Melatarbelakangi Penulisan The Future of Economics : An Islamic Perspective
Zafar Ishaq Anshori menjelaskan dalam kata pengantarnya pada buku Chapra yang berjudul Islam and Economic Development, bahwa sampai pada dekade 40-an, dukungan terhadap sebuah sistem ekonomi Islam tidak terlalu umum di kalangan para sarjana muslim. Namun, pelan-pelan, pada masa periode berikutnya, keinginan untuk menegakkan sebuah sistem kehidupan yang islami, yang secara ilmiah merasuk ke dalam sektor kehidupan ekonomi, menjadi lebih kuat. Keinginan untuk membangun lembaga ekonomi yang sejalan dengan prinsip Islam (seperti lembaga finasial yang bebas bunga, pengumpulan zakat lewat pemerintah, dan lain-lain) secara pelan-pelan mengarah kepada kebangkitan sebuah gerakan intelektual. Sebagai konsekuensinya, pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan persoalan-persoalan ekonomi mulai dibahas pada tingkat akademik dari perspektif Islam. Selama dua dekade sejumlah ekonom yang pada umumnya dilatih dalan tradisi intelektual Barat telah menekankan perlunya sebuah pendekatan Islam terhadap persoalan-persoalan ekonomi. Hal ini telah melahirkan keprihatinan untuk mengembangkan sebuah pendekatan baru bagi ekonomi, dan di kalangan terbatas, keprihatinan untuk mengembangkan suatu disiplin akademis yang secara umum disebut ekonomi Islam. Chapra adalah pelopor bagi gerakan ini dan termasuk di antara sarjana yang banyak menyumbang usaha-usaha akademis ini.
Di masa awal-awal kehidupannya, Chapra mengahadapi pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi kaum muslimin di sepanjang kurun ini, haruskah mereka melihat Barat yang kapitalis dan Timur yang komunis untuk mendapatkan aspirasi dan petunjuk dalam upaya membangun lembaga-lembaga yang dibutuhkan bagi negara-negara yang baru saja merdeka ? Ataukah mereka harus bergantung pada sumber daya-sumber daya intelektual mereka sendiri ?
Muhammad Umer Chapra adalah seorang pakar ekonomi yang berasal dari Pakistan yang menimba ilmu di Universitas Karachi dan Minnesota. Semasa menjadi mahasiswa, ia telah berusaha untuk mempelajari ajaran-ajaran Islam yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi. Tidak lama setelah kembalinya ke Pakistan dari AS pada tahun 1961, ia bekerja sebagai ekonom senior dan Associate Editor Pakistan Development Review pada Pakistan Institute of development Economic, dan sebagai reader pada Central Institute of Islamic Research, Pakistan selama 2 (dua) tahun. Ketika itu, secara sistematis ia menkaji gagasan-gagasan dan prinsip-prinsip yang tertuang dalam tradisi Islam, yang menurut pandangannya dapat memenuhi premis intelektual bagi sebuah sistem ekonomi yang sehat. Upaya ini, yang kemudian ditingkatkan dan dimatangkan oleh kajian dan refleksinya yang mendalam, telah mengantarkan kepada bukunya yang pertama, The EconomicSystem of Islam: A Discussion of Its Goals and Nature (London, 1970).
Ia juga bekerja selama dua puluh tahun sebagai penasehat ekonomi senior pada Monetary agency, Kerajaan Saudi sejak tahun 1965. Sebelumnya, pada tahun 1964 ia mengajar mata kuliah ekonomi di beberapa Universitas di Amerika Serikat, antara lain University of Wisconsin, Platteville dan University of Kentucky, Lexinton.
Ia juga. Ia telah mempublikasikan beberapa buku tentang ekonomi. Dengan demikian ia adalah pakar yang kompeten yang dapat berbicara secara lebih fundamental mengenai persoalan-persoalan sistem perekonomian saat ini, demikian seperti diungkap oleh Khurshid Ahmad dalam kata pengantar pada bukunya.
Dalam kapasitasnya sebagai pakar ekonomi ditambah dengan berbagai pengalaman praktis sebagai penasehat di bidangnya, beliau menangkap dua persoalan mendasar, yaitu pertama sebuah phenomena sosioekonomi, bahwa menurut perkembangannya system ekonomi konvensional –walaupun telah mencapai tingkat sofitikasi intelektual yang sangat besar- telah gagal dalam mewujudkan kesejahteraan ekonomi umat manusia. Kegagalan tersebut, menurut Chapra kemungkinan disebabkan karena; pertama, terletak pada anatemanya terhadap penilaian (value judgement) dan penekanan yang berlebihan pada maksimalisasi kekayaan dan pemuasan keinginan serta pengumbaran kepentingan individual. Sejauh yang dikaitkan dengan kepentingan social, para ekonom konvensional pada umumnya menganggap bahwa persaingan akan membantu menggerakkan kepentingan diri sendiri dan pada gilirannya memenuhi kepentingan sosial.
Di sinilah timbul persoalan apakah maksimalisasi kekayaan dan pemuasan keinginan adalah hal yang benar-benar diperlukan untuk mengoptimalkan kesejahteraan umat manusia atau masih juga diperlukan adanya kedamaian mental dan kebahagiaan, solidaritas social dan keluarga, pengasuhan yang mencukupi bagi anak-anak, pemenuhan kebutuhan pokok bagi semua individu dalam masyarakat, dan distribusi kekayaan yang adil. Jika semua masalah ini penting, persoalannya adalah apakah pelampiasan kepentingan diri oleh tiap-tiap individu secara optomatis akan membantu realisasinya.
Kedua, Adanya anathema ilmu ekonomi konvensional terhadap penilaian dan penekanannya yang berlebihan pada maksimalisasi kekayaan dan pemuasan kepentingan serta pengumbaran kepentingan diri sendiri (self-interest) merupakan suatu pelarian yang jelas dari filosofi dasar mayoritas agama. Agama-agama pada umumnya berpendapat bahwa kemakmuran meteriil, sekalipun sangat penting tetapi tidak cukup dapat menggerakkan kepentingan diri sendiri dan menjamin kepentingan social atau mencegah timbulnya bentuk-bentuk tindakan yang salah dan ketidakadilan. Terdapat banyak cara yang halus untuk menghindari persaingan yang tidak sehat, demikian juga cara menghindari penangkapan dan hukuman akibat tindakan tersebut, tanpa selalu mengandalkan kekuatan paksa negara. Usaha apapun yang mengandalkan lebih banyak pada Negara dalam mencegah tindakan-tindakan yang salah tidak saja akan meningkatkan ongkos pemerintah, melainkan juga akan menciptakan suatu pemerintahan totalitarian. Oleh karena itu, nilai-nilai moral memiliki nilai penting dalam masyarakat manusia untuk mencegah tindakan-tindakan yang salah dan ketidakadilan serta menunbuhkembangkan kesejahteraan.
Oleh karena itu, perkembangan ilmu konvensional yang semata-mata mengambil variabel-variabel ekonomi dalam menjelaskan jatuh bangunnya suatu masyarakat sangatlah tidak sehat, selanjutnya menurut Chapra disamping variabel-variabel ekonomi, perlu juga memasukkan factor-faktor moral psikologis, social, dan sejarah yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Inilah inti pembahasan dalam buku yang ditulis oleh Chapra, ia mencoba mengkontruksi ilmu ekonomi Islam dengan memasukkan berbagai variable, walaupun ia sendiri merasa sulit karena menuntut suatu pendekatan lintas disiplin.
Fenomena ini muncul disebabkan adanya beberapa kemungkinan, yaitu antara lain adalah :
Pertama, karena ilmu ekonomi cenderung berbicara dalam dataran positif (positive economics) dengan maksud untuk tetap menjaga obyektifitas ilmu.
Kedua, model masyarakat yang dikembangkan dalam ilmu ekonomi modern beranjak dari tradisi masyarakat barat yang sekuler sehingga contoh, model dan rumusan teori ekonominya diilhami dari latar belakang masyarakat Eropa.
Ketiga, tradisi pemikiran Neo-Klasik menempatkan aspek individualisme, naturalisme dan utilitarianisme dalam posisi yang startegis dalam membangun paradigma ilmu ekonomi, sehingga teori dan model yang dikembangkan adalah merupakan rumusan yang diorientasikan pada aspek-aspek meterial seperti maksimasi keuntungan dan kepuasan, bekerjanya melalui mekanisme harga melalui invisible hand.
Tidak ada keraguan bahwa ilmu ekonomi konvensional telah mencapai tingkat sofistikasi intelektual yang sangat besar. Namun bukanlah sofistikasi suatu disiplin yang diinginkan oleh manusia, karena belum sepenuhnya dapat memecahkan problem kemanusian. Mereka sebenarnya menginginkan bagaimana ilmu itu dapat membantu umat manusia merealisasikan sasaran-sasaran humanitarian-nya, yang ada di setiap kepala manusia adalah keadilan dan kesejahteraan umum. Di sinilah menurut Dr. M. Umer Chapra (1420 H/2000 M) , ilmu ekonomi konvensional telah gagal. Selanjutnya ia (1420 H/2000 M) berpendapat bahwa untuk menjawab pesoalan di atas perlu dikembangkan ilmu ekonomi Islam, karena ia mempunyai potensi besar karena lingkupnya yang jauh lebih luas. Melalui triloginya, Towards a Just Monetary System (1985), Islam and the Economic Challenge (1992), dan The Future of Economics: An Islamic Islamic Perspective (2000), Chapra seperti mengingatkan mendesaknya agenda dekonstruksi ilmu ekonomi konvensional.
Penjelasan tentang sistem dan argumentasi kegagalan ilmu ekonomi konvensional, perbandingan dan potensi ilmu ekonomi Islam sebagai alternatif pemecahan problem sosioekonomic dalam mayarakat akan penulis paparkan pada karya ini. Karya ini adalah merupakan telaah buku yang bertajuk The Future of Economics : An Islamic Perspective karya M. Umer Chapra.
Telaah sederhana ini akan mencoba menangkap inti dari pembacaan penulis buku di atas tentang fenomena ekonomi dunia dan usaha sebagai pencerahan dengan mencari alternatifnya yang menurut Chapra sebenarnya sudah pernah berkembang kemudian hilang tertindih oleh sistem sekuler. Alternatif tersebut adalah sistem ekonomi Islam.
B. Problem Akademik yang Melatarbelakangi Penulisan The Future of Economics : An Islamic Perspective
Zafar Ishaq Anshori menjelaskan dalam kata pengantarnya pada buku Chapra yang berjudul Islam and Economic Development, bahwa sampai pada dekade 40-an, dukungan terhadap sebuah sistem ekonomi Islam tidak terlalu umum di kalangan para sarjana muslim. Namun, pelan-pelan, pada masa periode berikutnya, keinginan untuk menegakkan sebuah sistem kehidupan yang islami, yang secara ilmiah merasuk ke dalam sektor kehidupan ekonomi, menjadi lebih kuat. Keinginan untuk membangun lembaga ekonomi yang sejalan dengan prinsip Islam (seperti lembaga finasial yang bebas bunga, pengumpulan zakat lewat pemerintah, dan lain-lain) secara pelan-pelan mengarah kepada kebangkitan sebuah gerakan intelektual. Sebagai konsekuensinya, pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan persoalan-persoalan ekonomi mulai dibahas pada tingkat akademik dari perspektif Islam. Selama dua dekade sejumlah ekonom yang pada umumnya dilatih dalan tradisi intelektual Barat telah menekankan perlunya sebuah pendekatan Islam terhadap persoalan-persoalan ekonomi. Hal ini telah melahirkan keprihatinan untuk mengembangkan sebuah pendekatan baru bagi ekonomi, dan di kalangan terbatas, keprihatinan untuk mengembangkan suatu disiplin akademis yang secara umum disebut ekonomi Islam. Chapra adalah pelopor bagi gerakan ini dan termasuk di antara sarjana yang banyak menyumbang usaha-usaha akademis ini.
Di masa awal-awal kehidupannya, Chapra mengahadapi pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi kaum muslimin di sepanjang kurun ini, haruskah mereka melihat Barat yang kapitalis dan Timur yang komunis untuk mendapatkan aspirasi dan petunjuk dalam upaya membangun lembaga-lembaga yang dibutuhkan bagi negara-negara yang baru saja merdeka ? Ataukah mereka harus bergantung pada sumber daya-sumber daya intelektual mereka sendiri ?
Muhammad Umer Chapra adalah seorang pakar ekonomi yang berasal dari Pakistan yang menimba ilmu di Universitas Karachi dan Minnesota. Semasa menjadi mahasiswa, ia telah berusaha untuk mempelajari ajaran-ajaran Islam yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi. Tidak lama setelah kembalinya ke Pakistan dari AS pada tahun 1961, ia bekerja sebagai ekonom senior dan Associate Editor Pakistan Development Review pada Pakistan Institute of development Economic, dan sebagai reader pada Central Institute of Islamic Research, Pakistan selama 2 (dua) tahun. Ketika itu, secara sistematis ia menkaji gagasan-gagasan dan prinsip-prinsip yang tertuang dalam tradisi Islam, yang menurut pandangannya dapat memenuhi premis intelektual bagi sebuah sistem ekonomi yang sehat. Upaya ini, yang kemudian ditingkatkan dan dimatangkan oleh kajian dan refleksinya yang mendalam, telah mengantarkan kepada bukunya yang pertama, The EconomicSystem of Islam: A Discussion of Its Goals and Nature (London, 1970).
Ia juga bekerja selama dua puluh tahun sebagai penasehat ekonomi senior pada Monetary agency, Kerajaan Saudi sejak tahun 1965. Sebelumnya, pada tahun 1964 ia mengajar mata kuliah ekonomi di beberapa Universitas di Amerika Serikat, antara lain University of Wisconsin, Platteville dan University of Kentucky, Lexinton.
Ia juga. Ia telah mempublikasikan beberapa buku tentang ekonomi. Dengan demikian ia adalah pakar yang kompeten yang dapat berbicara secara lebih fundamental mengenai persoalan-persoalan sistem perekonomian saat ini, demikian seperti diungkap oleh Khurshid Ahmad dalam kata pengantar pada bukunya.
Dalam kapasitasnya sebagai pakar ekonomi ditambah dengan berbagai pengalaman praktis sebagai penasehat di bidangnya, beliau menangkap dua persoalan mendasar, yaitu pertama sebuah phenomena sosioekonomi, bahwa menurut perkembangannya system ekonomi konvensional –walaupun telah mencapai tingkat sofitikasi intelektual yang sangat besar- telah gagal dalam mewujudkan kesejahteraan ekonomi umat manusia. Kegagalan tersebut, menurut Chapra kemungkinan disebabkan karena; pertama, terletak pada anatemanya terhadap penilaian (value judgement) dan penekanan yang berlebihan pada maksimalisasi kekayaan dan pemuasan keinginan serta pengumbaran kepentingan individual. Sejauh yang dikaitkan dengan kepentingan social, para ekonom konvensional pada umumnya menganggap bahwa persaingan akan membantu menggerakkan kepentingan diri sendiri dan pada gilirannya memenuhi kepentingan sosial.
Di sinilah timbul persoalan apakah maksimalisasi kekayaan dan pemuasan keinginan adalah hal yang benar-benar diperlukan untuk mengoptimalkan kesejahteraan umat manusia atau masih juga diperlukan adanya kedamaian mental dan kebahagiaan, solidaritas social dan keluarga, pengasuhan yang mencukupi bagi anak-anak, pemenuhan kebutuhan pokok bagi semua individu dalam masyarakat, dan distribusi kekayaan yang adil. Jika semua masalah ini penting, persoalannya adalah apakah pelampiasan kepentingan diri oleh tiap-tiap individu secara optomatis akan membantu realisasinya.
Kedua, Adanya anathema ilmu ekonomi konvensional terhadap penilaian dan penekanannya yang berlebihan pada maksimalisasi kekayaan dan pemuasan kepentingan serta pengumbaran kepentingan diri sendiri (self-interest) merupakan suatu pelarian yang jelas dari filosofi dasar mayoritas agama. Agama-agama pada umumnya berpendapat bahwa kemakmuran meteriil, sekalipun sangat penting tetapi tidak cukup dapat menggerakkan kepentingan diri sendiri dan menjamin kepentingan social atau mencegah timbulnya bentuk-bentuk tindakan yang salah dan ketidakadilan. Terdapat banyak cara yang halus untuk menghindari persaingan yang tidak sehat, demikian juga cara menghindari penangkapan dan hukuman akibat tindakan tersebut, tanpa selalu mengandalkan kekuatan paksa negara. Usaha apapun yang mengandalkan lebih banyak pada Negara dalam mencegah tindakan-tindakan yang salah tidak saja akan meningkatkan ongkos pemerintah, melainkan juga akan menciptakan suatu pemerintahan totalitarian. Oleh karena itu, nilai-nilai moral memiliki nilai penting dalam masyarakat manusia untuk mencegah tindakan-tindakan yang salah dan ketidakadilan serta menunbuhkembangkan kesejahteraan.
Oleh karena itu, perkembangan ilmu konvensional yang semata-mata mengambil variabel-variabel ekonomi dalam menjelaskan jatuh bangunnya suatu masyarakat sangatlah tidak sehat, selanjutnya menurut Chapra disamping variabel-variabel ekonomi, perlu juga memasukkan factor-faktor moral psikologis, social, dan sejarah yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Inilah inti pembahasan dalam buku yang ditulis oleh Chapra, ia mencoba mengkontruksi ilmu ekonomi Islam dengan memasukkan berbagai variable, walaupun ia sendiri merasa sulit karena menuntut suatu pendekatan lintas disiplin.
C. Menuju Landscape Baru
Perekonomian Masa Depan
Selama dunia masih terbelah dalam dikotomi negara kaya dan negara miskin, negara maju (developed) dan negara terbelakang (underdeveloped), di situlah ilmu ekonomi seharusnya berkembang. Karena persoalan ekonomi akan terus muncul, dan pada saat yang sama juga menuntut penyelesaian mendasar yang membawa terciptanya kesejahteraan dalam arti yang sesungguhnya bagi umat manusia.
Karena itulah, banyak kalangan sempat menaruh harapan banyak ketika untuk pertama kalinya jargon ekonomi kesejahteraan (welfare Economics) ditiupkan tahun 30-an. Kelelahan panjang dalam perangkap diskusi dan impelementasi ekonomi kapitalis-sosialis ternyata menyisakan limbah yang menyesakkan bagi pertumbuhan ekonomi yang bersendikan kepada keadilan dan pemerataan. Hal ini memicu mereka melihat welfare economics datang dengan segenggam harapan yang sudah lama mereka inginkan.
Apa lacur, seperti sistem yang dikenal sebelumnya, Welfare Economics hanya menjanjikan impian kosong. Menurut Chapra, ‘kesejahteraan’ yang dijanjikan oleh aliran baru itu masih tunduk pada hegemoni ekonomi konvensional. Kesejahteran didifinisikan sebagai bentuk keinginan individu yang menginginkan kepentingan pribadi yang tak memberikan ruang pada sikap altruisme (sikap mementingkan orang lain) atau kepentingan langsung demi kesejahteraan manusia. Pendekatan ekonomi kesejahteraan pantas menerima kritikan. Blaug (1980) menyatakan, ekonomi kesejahteraan sekedar bersuka ria dengan menggunakan bahasa yang paradoks.
Welfare Economics, seperti konstruksi ilmu ekonomi kapitalis sebelumnya, selalu mendasarkan analisis kesejehteraan yang bebas nilai. Di mana hukum pareto efficiency atau juga sering disebut pareto optimally menjadi salah satu pisau analisa dalam membuka tabir kegiatan ekonomi. Dalam pandangan pareto, tanpa campur tangan siapapun akan terjadi proses produksi seluruh konfigurasi barang dan jasa dalam keharmonisan maksimum terhadap keinginan konsumen.
Disebut paling efisen, karena tidak mungkin lagi meraih lebih dari itu tanpa menjadikan pihak lainnya merugi. Di sinilah Werfare Economics kandas karena pada akhirnya tidak bisa memberikan jaminan konsisten tentang tujuan-tujuan yang berdimensi kemanusiaan. Juga, berapa banyak kesejahteraan yang bisa diujudkan dalam batasan sumber daya yang terbatas, tanpa merusak keseimbangan makroekonomi dan ekologi.
Beban yang tak juga bisa diselesaikan oleh Welfare Economics inilah yang kini menjadi konsen banyak ahli ekonomi untuk selalu dicari jalan keluarnya. Sejumlah ekonomi telah menekankan perlunya sebuah paradigma baru ilmu ekonomi. Terjadilah pegumulan ide dan debat intelektual yang pada akhirnya memberikan ruang bagi munculnya kesadaran bahwa kepentingan pribadi dan kompetisi bukanlah penentu utama di balik tindakan manusia.
Mereka mulai memberikan tempat pada altruisme, nilai moral, perbuatan-perbuatan sosial, yang membimbing motivasi manusia dalam bertindak. Sekurangnya ada empat aliran yang mainstreamnya berasal dari kesadaran ini. Empat aliran tersebut adalah :
Pertama, Grant Economics yang berpendapat tingkah laku altruisme bukanlah penyelewengan dari rasionalitas. Rasionalitas diartikan sebagai usaha untuk melayani diri sendiri. Dengan berpijak pada prinsip itu, maka kerangka berpikirnya selalu diliputi oleh pemenuhan nafsu pribadi. Sampai-sampai ekonom Milton Friedman mengatakan,”Satu-satunya tanggung jawab sosial adalah meningkatkan keuntungan.” (Friedman, 1972). Tesis Friedman ini yang ditentang oleh aliran Grant Economics.
Menurut mazhab ekonomi ini, mempersamakan tingkah laku rasional dengan hanya tingkah laku mementingkan diri sendiri adalah tidak realistis. ” Ilmu ekonomi mungkin sudah melakukan kesalahan ketika ia mengadopsi tatanama rasional pada sat seluruh pengertiannya diartikan sebagai kalkulasi yang tepat dan sebuah kepribadian yang teratur,”ujar Hahn (1979).
Arus pemikiran kedua, muncul Humanistic Economics (ekonomi humanistik). Tesis dasar mereka, bagaimana mempromosikan kesejahteran manusia lewat cara pengakuan dan penyatuan seluruh susunan nilai-nilai dasar manusia. Humanistic Economics lebih menekankan adanya kebutuhan kepuasan dan pekembangan manusia yang oleh Maslow dipopulerkan dengan aktualisasi pribadi. Pendekatan ini mulai menyingkikan asas psikologi klasik yang mementingkan kepada nafsu dan kekayaan.
Aliran ketiga, adalah Social Economics (ekonomi sosial) yang mencakup usaha dalam mereformulasi teori ekonomi dalam membentuk pertimbangan-pertimbangan etika. Dasar dari pandangan ini menyatakan, penelitian ilmiah ternyata tidak mampu menepis pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut tujuan publik dan prioritas sosial dalam alokasi sumber daya. Menurut peraih nobel, Amarta Sen (1987), menjauhkan ilmu ekonomi dari sendi etika, telah memelaratkan Welfare Economics. Di samping, tandasnya, juga melemahkan landasan keterkaitan yang erat antara deskriptif dan prediktif ilmu ekonomi.
Aliran keempat, Institutional Economics (ekonomi institusional). Aliran ini berargumentasi bahwa tingkah laku manusia dipengaruhi oleh sejumlah hubungan institusi soosial, institusi ekonomi, institusi politik dan institusi relijius yang menentukan perkiraan sikap individu.
Awalnya, aliran ini menjanjikan perubahan yang cukup mendasar karena dapat membantu menjelaskan tentang bagaimana perubahan pada institusi-institusi di setiap masa mempengaruhi masa sekarang dan masa depan, dan mengapa kinerja ekonomi yang satu mempengaruhi ekonomi yang lain. Ini dapat membantu koordinasi dan sejumlah kerja sama.
Namun toh kehadiran aliran-aliran ekonomi tersebut masih menyisakan ruang gelap: bagaimana memperoleh nilai yang dapat diterima secara luas dan sesuai dengan kewajiban moral, sehingga setiap orang yang melanggar nilai tersebut akan dikecam. Inilah yang tidak bisa dijawab oleh ekonomi konvensional. Dari sinilah Chapra membawa kepada loncatan paradigma baru yang mestinya bisa memenuhi harapan-harapan yang gagal sebelumnya: perspektif ekonomi Islam.
Bukan hal mudah memang membuka ke pada jantung diskusi untuk membahas masalah ini bisa diterima oleh banyak ekonom. Blaug bahkan mengingatkan, semua rumusan metodologi yang bermaksud menyapu bersih seluruh catatan ilmu ekonomi yang diterima dan berusaha memulai sejak dari awal kembali, mungkin tidak akan menghasilkan apa-apa seperti merusak diri sendiri. Blaug boleh saja mengatakan demikian, tapi, ilmu ekonomi Islam yang tujuan pokoknya menghadirkan keadilan dan efisiensi yang tidak lagi mendalilkan kemutlakan pada keinginan memuaskan diri sendiri, tapi kesejahteraan bersama, terus berjalan.
Paradigma ilmu ekonomi yang ditawarkan Islam sangat berbeda dengan ilmu ekonomi konvensional. Paradigma Islam bukanlah sekuler, bebas nilai, materialis, dan mengedepankan Darwinisme-sosial yang menutup mata terhadap kemiskinan dan pengangguran hanya karena memuaskan kepentingan sendiri. Paradigma ilmu ekonomi Islam mendasarkan pada kenyataan pokok, alam semesta diciptakan oleh Yang Maha Tunggal. Manusia menjadi wakil-Nya di muka bumi. Mereka bersaudara, dan tidak ada yang membedakan satu dengan yang lain lantaran ras, kekayaan, jenis kelamin, kebangsaan maupun kekuatan.
Dunia dimaklumi sekedar sebagai tempat persinggahan sementara. Sementara yang lebih kekal adalah alam akherat. Kesejahteraan di akherat sangat ditentukan oleh cara-cara manusia semasa mereka hidup. Kesejahteraan hakiki dalam kerangka syariah tidak melulu direalisasikan dengan mengkonsentrasikan diri pada upaya maksimasi kekayaan dan konsumsi, ia juga memerlukan pemenuhan kebutuhan material dan spiritual yang seimbang.
a. Positivisme
Paradigma Islam, seperti ilmu ekonomi konvensional, juga menekankan seseorang untuk bersikap rasional. Bahkan, itu menjadi salah satu tujuan terpenting dari syariah. Doktrin yang sangat terkenal adalah mengurangi kesulitan dan berusaha untuk menjadikan hidup manusia lebih nyaman (Quran 2:185). Karena dorongan ini, Islam menyilakan siapapun untuk menjadi kaya dengan rasionalitasnya.
Hanya, satu yang harus dicatat mereka, kekayaan itu diperoleh dengan cara yang benar, tidak menzhalimi siapapun, dan dipergunakan atau diinvestasikan secara produktif untuk memenuhi kebutuhan seseorang atau kebutuhan orang lain dengan cara yang adil.
Inilah yang tidak bisa dipenuhi oleh mekanisme pasar. Almawardi sebagaimana ilmuwan Islam lain seperti Ibnu Khaldun menganggap, perlunya tekad untuk mengekang keinginan pribadi melalui nilai-nilai moral. Melalui nilai moral, akan menghilangkan asa saling permusuhan dan iri hati, memperkuat solidaritas kelompok dan mendorong kebajikan.
Karena itu, hampir tidak ditemukan jejak dalam perkembangan ilmu ekonomi Islam yang melandaskan pijakan pada sikap positivisme–satu dari sendi penting ekonomi konvensional. Positivisme atau bebas nilai dari etika atau pertimbangan-pertimbangan normatif, bertentangan dengan kondisi bahwa apa yang dikuasai manusia hanyalah sekedar titipan-Nya. Seluruh sumber daya adalah amanah dari Tuhan dan karenanya, manusia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak.
Selama dunia masih terbelah dalam dikotomi negara kaya dan negara miskin, negara maju (developed) dan negara terbelakang (underdeveloped), di situlah ilmu ekonomi seharusnya berkembang. Karena persoalan ekonomi akan terus muncul, dan pada saat yang sama juga menuntut penyelesaian mendasar yang membawa terciptanya kesejahteraan dalam arti yang sesungguhnya bagi umat manusia.
Karena itulah, banyak kalangan sempat menaruh harapan banyak ketika untuk pertama kalinya jargon ekonomi kesejahteraan (welfare Economics) ditiupkan tahun 30-an. Kelelahan panjang dalam perangkap diskusi dan impelementasi ekonomi kapitalis-sosialis ternyata menyisakan limbah yang menyesakkan bagi pertumbuhan ekonomi yang bersendikan kepada keadilan dan pemerataan. Hal ini memicu mereka melihat welfare economics datang dengan segenggam harapan yang sudah lama mereka inginkan.
Apa lacur, seperti sistem yang dikenal sebelumnya, Welfare Economics hanya menjanjikan impian kosong. Menurut Chapra, ‘kesejahteraan’ yang dijanjikan oleh aliran baru itu masih tunduk pada hegemoni ekonomi konvensional. Kesejahteran didifinisikan sebagai bentuk keinginan individu yang menginginkan kepentingan pribadi yang tak memberikan ruang pada sikap altruisme (sikap mementingkan orang lain) atau kepentingan langsung demi kesejahteraan manusia. Pendekatan ekonomi kesejahteraan pantas menerima kritikan. Blaug (1980) menyatakan, ekonomi kesejahteraan sekedar bersuka ria dengan menggunakan bahasa yang paradoks.
Welfare Economics, seperti konstruksi ilmu ekonomi kapitalis sebelumnya, selalu mendasarkan analisis kesejehteraan yang bebas nilai. Di mana hukum pareto efficiency atau juga sering disebut pareto optimally menjadi salah satu pisau analisa dalam membuka tabir kegiatan ekonomi. Dalam pandangan pareto, tanpa campur tangan siapapun akan terjadi proses produksi seluruh konfigurasi barang dan jasa dalam keharmonisan maksimum terhadap keinginan konsumen.
Disebut paling efisen, karena tidak mungkin lagi meraih lebih dari itu tanpa menjadikan pihak lainnya merugi. Di sinilah Werfare Economics kandas karena pada akhirnya tidak bisa memberikan jaminan konsisten tentang tujuan-tujuan yang berdimensi kemanusiaan. Juga, berapa banyak kesejahteraan yang bisa diujudkan dalam batasan sumber daya yang terbatas, tanpa merusak keseimbangan makroekonomi dan ekologi.
Beban yang tak juga bisa diselesaikan oleh Welfare Economics inilah yang kini menjadi konsen banyak ahli ekonomi untuk selalu dicari jalan keluarnya. Sejumlah ekonomi telah menekankan perlunya sebuah paradigma baru ilmu ekonomi. Terjadilah pegumulan ide dan debat intelektual yang pada akhirnya memberikan ruang bagi munculnya kesadaran bahwa kepentingan pribadi dan kompetisi bukanlah penentu utama di balik tindakan manusia.
Mereka mulai memberikan tempat pada altruisme, nilai moral, perbuatan-perbuatan sosial, yang membimbing motivasi manusia dalam bertindak. Sekurangnya ada empat aliran yang mainstreamnya berasal dari kesadaran ini. Empat aliran tersebut adalah :
Pertama, Grant Economics yang berpendapat tingkah laku altruisme bukanlah penyelewengan dari rasionalitas. Rasionalitas diartikan sebagai usaha untuk melayani diri sendiri. Dengan berpijak pada prinsip itu, maka kerangka berpikirnya selalu diliputi oleh pemenuhan nafsu pribadi. Sampai-sampai ekonom Milton Friedman mengatakan,”Satu-satunya tanggung jawab sosial adalah meningkatkan keuntungan.” (Friedman, 1972). Tesis Friedman ini yang ditentang oleh aliran Grant Economics.
Menurut mazhab ekonomi ini, mempersamakan tingkah laku rasional dengan hanya tingkah laku mementingkan diri sendiri adalah tidak realistis. ” Ilmu ekonomi mungkin sudah melakukan kesalahan ketika ia mengadopsi tatanama rasional pada sat seluruh pengertiannya diartikan sebagai kalkulasi yang tepat dan sebuah kepribadian yang teratur,”ujar Hahn (1979).
Arus pemikiran kedua, muncul Humanistic Economics (ekonomi humanistik). Tesis dasar mereka, bagaimana mempromosikan kesejahteran manusia lewat cara pengakuan dan penyatuan seluruh susunan nilai-nilai dasar manusia. Humanistic Economics lebih menekankan adanya kebutuhan kepuasan dan pekembangan manusia yang oleh Maslow dipopulerkan dengan aktualisasi pribadi. Pendekatan ini mulai menyingkikan asas psikologi klasik yang mementingkan kepada nafsu dan kekayaan.
Aliran ketiga, adalah Social Economics (ekonomi sosial) yang mencakup usaha dalam mereformulasi teori ekonomi dalam membentuk pertimbangan-pertimbangan etika. Dasar dari pandangan ini menyatakan, penelitian ilmiah ternyata tidak mampu menepis pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut tujuan publik dan prioritas sosial dalam alokasi sumber daya. Menurut peraih nobel, Amarta Sen (1987), menjauhkan ilmu ekonomi dari sendi etika, telah memelaratkan Welfare Economics. Di samping, tandasnya, juga melemahkan landasan keterkaitan yang erat antara deskriptif dan prediktif ilmu ekonomi.
Aliran keempat, Institutional Economics (ekonomi institusional). Aliran ini berargumentasi bahwa tingkah laku manusia dipengaruhi oleh sejumlah hubungan institusi soosial, institusi ekonomi, institusi politik dan institusi relijius yang menentukan perkiraan sikap individu.
Awalnya, aliran ini menjanjikan perubahan yang cukup mendasar karena dapat membantu menjelaskan tentang bagaimana perubahan pada institusi-institusi di setiap masa mempengaruhi masa sekarang dan masa depan, dan mengapa kinerja ekonomi yang satu mempengaruhi ekonomi yang lain. Ini dapat membantu koordinasi dan sejumlah kerja sama.
Namun toh kehadiran aliran-aliran ekonomi tersebut masih menyisakan ruang gelap: bagaimana memperoleh nilai yang dapat diterima secara luas dan sesuai dengan kewajiban moral, sehingga setiap orang yang melanggar nilai tersebut akan dikecam. Inilah yang tidak bisa dijawab oleh ekonomi konvensional. Dari sinilah Chapra membawa kepada loncatan paradigma baru yang mestinya bisa memenuhi harapan-harapan yang gagal sebelumnya: perspektif ekonomi Islam.
Bukan hal mudah memang membuka ke pada jantung diskusi untuk membahas masalah ini bisa diterima oleh banyak ekonom. Blaug bahkan mengingatkan, semua rumusan metodologi yang bermaksud menyapu bersih seluruh catatan ilmu ekonomi yang diterima dan berusaha memulai sejak dari awal kembali, mungkin tidak akan menghasilkan apa-apa seperti merusak diri sendiri. Blaug boleh saja mengatakan demikian, tapi, ilmu ekonomi Islam yang tujuan pokoknya menghadirkan keadilan dan efisiensi yang tidak lagi mendalilkan kemutlakan pada keinginan memuaskan diri sendiri, tapi kesejahteraan bersama, terus berjalan.
Paradigma ilmu ekonomi yang ditawarkan Islam sangat berbeda dengan ilmu ekonomi konvensional. Paradigma Islam bukanlah sekuler, bebas nilai, materialis, dan mengedepankan Darwinisme-sosial yang menutup mata terhadap kemiskinan dan pengangguran hanya karena memuaskan kepentingan sendiri. Paradigma ilmu ekonomi Islam mendasarkan pada kenyataan pokok, alam semesta diciptakan oleh Yang Maha Tunggal. Manusia menjadi wakil-Nya di muka bumi. Mereka bersaudara, dan tidak ada yang membedakan satu dengan yang lain lantaran ras, kekayaan, jenis kelamin, kebangsaan maupun kekuatan.
Dunia dimaklumi sekedar sebagai tempat persinggahan sementara. Sementara yang lebih kekal adalah alam akherat. Kesejahteraan di akherat sangat ditentukan oleh cara-cara manusia semasa mereka hidup. Kesejahteraan hakiki dalam kerangka syariah tidak melulu direalisasikan dengan mengkonsentrasikan diri pada upaya maksimasi kekayaan dan konsumsi, ia juga memerlukan pemenuhan kebutuhan material dan spiritual yang seimbang.
a. Positivisme
Paradigma Islam, seperti ilmu ekonomi konvensional, juga menekankan seseorang untuk bersikap rasional. Bahkan, itu menjadi salah satu tujuan terpenting dari syariah. Doktrin yang sangat terkenal adalah mengurangi kesulitan dan berusaha untuk menjadikan hidup manusia lebih nyaman (Quran 2:185). Karena dorongan ini, Islam menyilakan siapapun untuk menjadi kaya dengan rasionalitasnya.
Hanya, satu yang harus dicatat mereka, kekayaan itu diperoleh dengan cara yang benar, tidak menzhalimi siapapun, dan dipergunakan atau diinvestasikan secara produktif untuk memenuhi kebutuhan seseorang atau kebutuhan orang lain dengan cara yang adil.
Inilah yang tidak bisa dipenuhi oleh mekanisme pasar. Almawardi sebagaimana ilmuwan Islam lain seperti Ibnu Khaldun menganggap, perlunya tekad untuk mengekang keinginan pribadi melalui nilai-nilai moral. Melalui nilai moral, akan menghilangkan asa saling permusuhan dan iri hati, memperkuat solidaritas kelompok dan mendorong kebajikan.
Karena itu, hampir tidak ditemukan jejak dalam perkembangan ilmu ekonomi Islam yang melandaskan pijakan pada sikap positivisme–satu dari sendi penting ekonomi konvensional. Positivisme atau bebas nilai dari etika atau pertimbangan-pertimbangan normatif, bertentangan dengan kondisi bahwa apa yang dikuasai manusia hanyalah sekedar titipan-Nya. Seluruh sumber daya adalah amanah dari Tuhan dan karenanya, manusia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak.
b. Prinsip keadilan
Karena sumber daya hanyalah titipan, maka penggunaaan sumber daya yang salah akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan lain bagi pelaku ekonomi dalam melakukan aktivitas bisnisnya untuk selalu mendasarkan pada keadilan. Nilai keadilan dalam Al-Quran maupun hadis Nabi bahkan menjadi salah satu tujuan pokok syariah.
Prinsip keadilan inilah yang menggilas, penilaian Efisiensi Pareto yang mendasarkan untuk mendapat keuntungan, tidak bisa tidak harus merugikan orang lain. Keadilan dalam berekonomi, oleh para ulama telah ditetapkan dalam kaidah figh yang dapat membantu merealisasikan kesejahteraan. salah satu kaidah yang mereka rumuskan itu antara lain ada yang menyatakan: pengorbanan atau kerugian pribadi mungkin diharuskan untuk mengamankan pengorbanan atau kerugian publik dan manfaat yang lebih kecil mungkin harus dikorbankan untuk merealisasikan manfaat yang lebih besar. (Ibnu Khaldun).
Demikian pula halnya dengan term efisiensi. Islam tidak mengenal istilah efisiensi Pareto. Namun bukan berarti tidak mengakui konsep efisiensi. Rosul yang mulai mengajarkan pada upaya untuk berusaha meraih hasil yang terbaik dengan menekankan pada konsep ikhsan (kemurahan hati) dan itqan (kesempurnaan). “Allah Subhanahu wataala mencintai seseorang yang jika mengerjakan sesatu ia melakukannnya dengan sempurna (itqan).” dan sabdanya yang lain,”Allah Subhanahu wa taala telah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu.”
Praktis dalam Islam, efisiensi salah satunya berkembang sebagai bentuk tidak boleh menghambur-hamburkan sumber daya secara keliru karena akan dimintai pertanggung jawaban oleh Tuhan. Tentu ini berbeda dengan pengetahuan efisiensi dalam pengertian Pareto. Sebagai contoh, konsep Pareto dalam ilmu ekonomi konvensional membolehkan adanya penghancuran kelebihan out put apabila itu memberikan bagi pebisnis dalam mencegah penurunan keuntungan tanpa merugikan konsumen akibat kenaikan harga. Tapi ini tidak dikenal dalam pandangan Islam.
Sebabnya, tingkah laku demikian hanya akan menimbulkan perusakan pada sumber daya yang diamanatkan Tuhan di samping bisa melahirkan kezaliman terhadap konsumen. Kelebihan out put itu mestinya bisa dinikmati oleh kaum miskin, ketimbang dihancurkan yang berarti kemubaziran.
D. Bagaimana Maqashid Syariah Menundukkan Distorsi Ekonomi?
Pertanyaan penting dalam setiap pembahasan ekonomi adalah bagaimana suatu pasar bisa mencapai keseimbangannya tanpa diganggu oleh distorsi? Ilmu ekonomi konvensional mengajarkan, satu-satunya distorsi yang ditakuti adalah ketidaksempurnaan dan kegagalan pasar. Membaca kegagalan ini, mereka, para ekonom konvensional, telah mengajukan resep mujarab. Dalam terminologi mereka, persoalan kegagalan pasar adalah ancaman laten, namun bisa diatasi dengan mendasarkan pada pada Pareto Optimum atau Efisiensi Pareto.
Setiap perekonomian bisa dikatakan mencapai efisiensi ekonomi yang optimal bila bila telah menggunakan potensi sumber daya manusia dan materi yang terbatas sehingga kuantitas barang dan jasa yang diproduksi bisa memaksimumkan kepuasan kebutuhan dengan tingkat stabilitas ekonomi yang baik dan tingkat pertumbuhan yang berkesinambungan. Demikian mereka mendifinisikan.
Namun batasan ini toh tetap tanpa cela. Sebab, dengan kaca mata itu, seolah-olah hanya efisiensi saja yang tersentuh, tapi bagaimana dengan dimensi keadilan?
Setiap perekonomian baru bisa dikatakan memberikan rasa keadilan optimal jika barang dan jasa yang dihasilkan sedemikian rupa sehingga kebutuhan semua individu (tak peduli mereka miskin atau kaya, laki atau perempuan, muslim atau non muslim) memuaskan secara memadai. Di samping terdapat distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil tanpa menimbulkan pengaruh buruk terhadap motivasi bekerja, menabung, berinvestasi, dan melakukan usaha.
Di sinilah jantung yang menentukan perbedaan mendasar antara ilmu ekonomi konvensional dengan Ilmu ekonomi yang disusun dengan berdasar sendi religius. Ilmu Ekonomi Islam pada dasarnya, seperti hanya ekonomi konvensional, tetap bermain pada konsentrasi alokasi dan distribusi sumber daya.
Hanya saja, tujuan utama dari pengelolaan alokasi dan distribusi itu tidak boleh melenceng dari maqashid al-syar’i (tujuan syariah) . Kalau ilmu ekonomi konvensional meletakkan sendi keseimbangan pada Optimalitas Pareto, Chapra menyebut dalam Islam ada Optimum Islami. Optimum Islami digambarkan sebagai keseimbangan pasar yang mencerminkan realisasi secara terus menerus tingkat efisiensi maupun keadilan yang optimal sesuai dengan maqashid syar’i.
Dalam literatur Islam, maqashid syar’i itu mencakup peningkatan kesejahteraan seluruh manusia. Itu hanya bisa tercapai bila ada perlindungan kepada lima hal dasar: perlindungan terhadap keimanan (dien), jiwa manusia (nafs), akal mereka (aql) keturuanan mereka (nasl), dan kekayaan mereka (maal).
Keimanan ditempatkan di awal, karena keimanan akan melahirkan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian, perilaku, selera dan preferensi. Keyakinan ini mencoba meningkatkan keseimbangan antara dorongan material dan spiritual, meningkatkan solidaritas keluarga dan sosial.
Ini cerminan instrumen moral dalam berekonomi. Bukan berarti mengganti sistem mekanisme pasar dengan istrumen moral. Sebaliknya, moralitas melengkapi mekanisme pasar dengan menjadikan alokasi dan distribusi sumber daya sesuai dengan pandangan normatif. Demikian juga dengan tujuan-tujuan syar’i yang lain. Ketika seorang bicara dimensi manusia (tujuan kedua), tentu bukan dalam konteks biologis semata. Lebih penting lagi adalah, bagaimana manusia mempengaruhi alokasi dan distribusi sumber daya dalam tata cara pandang yang membantu perkembangan potensi manusia.
Bahwa, bumi yang sekarang mereka pijak dan terus diesploitasi, bukanlah hak mereka saja, tapi juga warisan absah bagi generasi mendatang. Konsekuensinya, alokasi sumberdaya harus selalu memikirkan kesinambungan buat kehidupan jangka panjang, dan bukan seblaiknya menghancurkan ekologi.
Ketika berbicara mengenai akal (dimensi ketiga), orang akan menganilis jenis dan kondisi mental dan materi yang akan memberikan konstribusi kepada kemajuan intelektual. Ketika berbicara tentang, keturuanan (dimensi keempat), sekali lagi bukan sekedar cakupan biologis saja, tapi juga, yang lebih penting, adalah aspek pelestarian dan pengayaan ummat manusia.
Ketika berbicara mengenai kekayaan, orang akan selalu diingatkan bahwa kekayaan adalah titipan dari Tuhan. Ada haknya yang melekat, tapi juga ada fungsi sosial untuk orang lain. Jadi, dengan memperhatikan maqashid tersebut, akan lebih memberikan kerangka kerja yang lebih berarti bagi analisis ekonomi. Satu yang pasti, dengan cara pandang ini, ekonomi terhindar dari melihat manusia sebagai individu yang terpisah atau terkotak sendiri-sendiri, tapi diperlakukan sebagai kehidupan yang terpadu dengan komunitasnya.
Berangkat dari sini, Ilmu ekonomi Islam dapat didifinisikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang membantu mewujudkan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumberdaya yang langka yang sesuai dengan maqashid, tanpa mengekang kebebasan individu secara berlebihan, menimbulkan ketidakseimbangan makro ekonomi dan ekologi, atau melemahkan keluarga dan solidaritas sosial.
Maqashid syar’i menyandingkan antara keadilan yang optimal dan seklaigus efisiensi optimal. Pertanyaan yang muncul: apakah mungkin menyandingkan suatu kondisi keadilan yang optimal tanpa mengorbankan efisiensi? Pada tahun 50-an dan 60-an para ahli ilmu ekonomi pembangunan bukan saja mengabaikan keadilan tapi juga lebih mementingkan pertumbuhan.
Mereka berpendapat bahwa redistribusi pendapatan yang menguntungkan orang miskin kemungkinan tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam arti out put perkapita yang lebih besar. Pandangan mereka, distribusi untuk orang miskin hanya akan tercapai bila pertumbuhan dapat diakselerasi. Pada kondisi seperti itulah terjadi apa yang sangat populer dikenal di sini sebagai tricle down effect (efek perembesan ke bawah). Mereka yakin tricle downlah yang akan menyelesaikan problem kemiskinan dan distribusi pendapatan.
Kenyataan membuktikan sebaliknya. Tricle down menjadi senjata ampuh untuk menggagalkan upaya untuk mempecepat pertumbuhan di negara-negara dimana kurang adanya perhatian untuk menghilangkan keadilan. Indonesia salah satu yang mengecap ini. Mantan Presiden Soeharto semasa berkuasa yakin betul konsep penetasan ke bawah akan menjadi alat pemerataan keadilan.
Karena itu, dia berdalih tidak ada yang salah bila orientasi negara dalam ekonomi lebih menumpukan pada upaya mempercepat dan mempertinggi pertumbuhan ekonomi. Dia tidak ragu, meskipun hela ekonomi yang dipegang oleh segelintir pengusaha yang terus difasilitasi dan dimanjakan pemerintah. Muncullah konglomerasi karena hanya konglomerat yang mendapatkan perhatian yang besar dan menjadi mesin ekonomi bangsa.
Sedang usaha kecil menengah (UKM), dan koperasi yang menjadi soko guru ekonomi dipinggirkan. Alhasil jargon adil dan makmur yang selalu didengungkan Orde baru menyempit pada “keadilan” bagi yang sudah “makmur”, bukan bagi orang kebanyakan.
Indonesia mestinya mengambil pelajaran dari Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Negara-negara itulah yang membalik logika tricle down.
Bahwa pertumbuhan hanya bisa tercipta dengan baik bila keadilan juga ditekankan secara bersamaan. Sehingga terjadi arus balik dalam pemahaman terhadap eonomi pembangunan. Ilmu ekonomi pembangunan selanjutnya menelurkan kepedulian tehadap keadilan dengan himbauan akan pertumbuhan dengan distribusi, pengurangan dan penghapusan kemiskinan, dan memenuhi kebutuhan dasar.
Karena sumber daya hanyalah titipan, maka penggunaaan sumber daya yang salah akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan lain bagi pelaku ekonomi dalam melakukan aktivitas bisnisnya untuk selalu mendasarkan pada keadilan. Nilai keadilan dalam Al-Quran maupun hadis Nabi bahkan menjadi salah satu tujuan pokok syariah.
Prinsip keadilan inilah yang menggilas, penilaian Efisiensi Pareto yang mendasarkan untuk mendapat keuntungan, tidak bisa tidak harus merugikan orang lain. Keadilan dalam berekonomi, oleh para ulama telah ditetapkan dalam kaidah figh yang dapat membantu merealisasikan kesejahteraan. salah satu kaidah yang mereka rumuskan itu antara lain ada yang menyatakan: pengorbanan atau kerugian pribadi mungkin diharuskan untuk mengamankan pengorbanan atau kerugian publik dan manfaat yang lebih kecil mungkin harus dikorbankan untuk merealisasikan manfaat yang lebih besar. (Ibnu Khaldun).
Demikian pula halnya dengan term efisiensi. Islam tidak mengenal istilah efisiensi Pareto. Namun bukan berarti tidak mengakui konsep efisiensi. Rosul yang mulai mengajarkan pada upaya untuk berusaha meraih hasil yang terbaik dengan menekankan pada konsep ikhsan (kemurahan hati) dan itqan (kesempurnaan). “Allah Subhanahu wataala mencintai seseorang yang jika mengerjakan sesatu ia melakukannnya dengan sempurna (itqan).” dan sabdanya yang lain,”Allah Subhanahu wa taala telah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu.”
Praktis dalam Islam, efisiensi salah satunya berkembang sebagai bentuk tidak boleh menghambur-hamburkan sumber daya secara keliru karena akan dimintai pertanggung jawaban oleh Tuhan. Tentu ini berbeda dengan pengetahuan efisiensi dalam pengertian Pareto. Sebagai contoh, konsep Pareto dalam ilmu ekonomi konvensional membolehkan adanya penghancuran kelebihan out put apabila itu memberikan bagi pebisnis dalam mencegah penurunan keuntungan tanpa merugikan konsumen akibat kenaikan harga. Tapi ini tidak dikenal dalam pandangan Islam.
Sebabnya, tingkah laku demikian hanya akan menimbulkan perusakan pada sumber daya yang diamanatkan Tuhan di samping bisa melahirkan kezaliman terhadap konsumen. Kelebihan out put itu mestinya bisa dinikmati oleh kaum miskin, ketimbang dihancurkan yang berarti kemubaziran.
D. Bagaimana Maqashid Syariah Menundukkan Distorsi Ekonomi?
Pertanyaan penting dalam setiap pembahasan ekonomi adalah bagaimana suatu pasar bisa mencapai keseimbangannya tanpa diganggu oleh distorsi? Ilmu ekonomi konvensional mengajarkan, satu-satunya distorsi yang ditakuti adalah ketidaksempurnaan dan kegagalan pasar. Membaca kegagalan ini, mereka, para ekonom konvensional, telah mengajukan resep mujarab. Dalam terminologi mereka, persoalan kegagalan pasar adalah ancaman laten, namun bisa diatasi dengan mendasarkan pada pada Pareto Optimum atau Efisiensi Pareto.
Setiap perekonomian bisa dikatakan mencapai efisiensi ekonomi yang optimal bila bila telah menggunakan potensi sumber daya manusia dan materi yang terbatas sehingga kuantitas barang dan jasa yang diproduksi bisa memaksimumkan kepuasan kebutuhan dengan tingkat stabilitas ekonomi yang baik dan tingkat pertumbuhan yang berkesinambungan. Demikian mereka mendifinisikan.
Namun batasan ini toh tetap tanpa cela. Sebab, dengan kaca mata itu, seolah-olah hanya efisiensi saja yang tersentuh, tapi bagaimana dengan dimensi keadilan?
Setiap perekonomian baru bisa dikatakan memberikan rasa keadilan optimal jika barang dan jasa yang dihasilkan sedemikian rupa sehingga kebutuhan semua individu (tak peduli mereka miskin atau kaya, laki atau perempuan, muslim atau non muslim) memuaskan secara memadai. Di samping terdapat distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil tanpa menimbulkan pengaruh buruk terhadap motivasi bekerja, menabung, berinvestasi, dan melakukan usaha.
Di sinilah jantung yang menentukan perbedaan mendasar antara ilmu ekonomi konvensional dengan Ilmu ekonomi yang disusun dengan berdasar sendi religius. Ilmu Ekonomi Islam pada dasarnya, seperti hanya ekonomi konvensional, tetap bermain pada konsentrasi alokasi dan distribusi sumber daya.
Hanya saja, tujuan utama dari pengelolaan alokasi dan distribusi itu tidak boleh melenceng dari maqashid al-syar’i (tujuan syariah) . Kalau ilmu ekonomi konvensional meletakkan sendi keseimbangan pada Optimalitas Pareto, Chapra menyebut dalam Islam ada Optimum Islami. Optimum Islami digambarkan sebagai keseimbangan pasar yang mencerminkan realisasi secara terus menerus tingkat efisiensi maupun keadilan yang optimal sesuai dengan maqashid syar’i.
Dalam literatur Islam, maqashid syar’i itu mencakup peningkatan kesejahteraan seluruh manusia. Itu hanya bisa tercapai bila ada perlindungan kepada lima hal dasar: perlindungan terhadap keimanan (dien), jiwa manusia (nafs), akal mereka (aql) keturuanan mereka (nasl), dan kekayaan mereka (maal).
Keimanan ditempatkan di awal, karena keimanan akan melahirkan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian, perilaku, selera dan preferensi. Keyakinan ini mencoba meningkatkan keseimbangan antara dorongan material dan spiritual, meningkatkan solidaritas keluarga dan sosial.
Ini cerminan instrumen moral dalam berekonomi. Bukan berarti mengganti sistem mekanisme pasar dengan istrumen moral. Sebaliknya, moralitas melengkapi mekanisme pasar dengan menjadikan alokasi dan distribusi sumber daya sesuai dengan pandangan normatif. Demikian juga dengan tujuan-tujuan syar’i yang lain. Ketika seorang bicara dimensi manusia (tujuan kedua), tentu bukan dalam konteks biologis semata. Lebih penting lagi adalah, bagaimana manusia mempengaruhi alokasi dan distribusi sumber daya dalam tata cara pandang yang membantu perkembangan potensi manusia.
Bahwa, bumi yang sekarang mereka pijak dan terus diesploitasi, bukanlah hak mereka saja, tapi juga warisan absah bagi generasi mendatang. Konsekuensinya, alokasi sumberdaya harus selalu memikirkan kesinambungan buat kehidupan jangka panjang, dan bukan seblaiknya menghancurkan ekologi.
Ketika berbicara mengenai akal (dimensi ketiga), orang akan menganilis jenis dan kondisi mental dan materi yang akan memberikan konstribusi kepada kemajuan intelektual. Ketika berbicara tentang, keturuanan (dimensi keempat), sekali lagi bukan sekedar cakupan biologis saja, tapi juga, yang lebih penting, adalah aspek pelestarian dan pengayaan ummat manusia.
Ketika berbicara mengenai kekayaan, orang akan selalu diingatkan bahwa kekayaan adalah titipan dari Tuhan. Ada haknya yang melekat, tapi juga ada fungsi sosial untuk orang lain. Jadi, dengan memperhatikan maqashid tersebut, akan lebih memberikan kerangka kerja yang lebih berarti bagi analisis ekonomi. Satu yang pasti, dengan cara pandang ini, ekonomi terhindar dari melihat manusia sebagai individu yang terpisah atau terkotak sendiri-sendiri, tapi diperlakukan sebagai kehidupan yang terpadu dengan komunitasnya.
Berangkat dari sini, Ilmu ekonomi Islam dapat didifinisikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang membantu mewujudkan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumberdaya yang langka yang sesuai dengan maqashid, tanpa mengekang kebebasan individu secara berlebihan, menimbulkan ketidakseimbangan makro ekonomi dan ekologi, atau melemahkan keluarga dan solidaritas sosial.
Maqashid syar’i menyandingkan antara keadilan yang optimal dan seklaigus efisiensi optimal. Pertanyaan yang muncul: apakah mungkin menyandingkan suatu kondisi keadilan yang optimal tanpa mengorbankan efisiensi? Pada tahun 50-an dan 60-an para ahli ilmu ekonomi pembangunan bukan saja mengabaikan keadilan tapi juga lebih mementingkan pertumbuhan.
Mereka berpendapat bahwa redistribusi pendapatan yang menguntungkan orang miskin kemungkinan tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam arti out put perkapita yang lebih besar. Pandangan mereka, distribusi untuk orang miskin hanya akan tercapai bila pertumbuhan dapat diakselerasi. Pada kondisi seperti itulah terjadi apa yang sangat populer dikenal di sini sebagai tricle down effect (efek perembesan ke bawah). Mereka yakin tricle downlah yang akan menyelesaikan problem kemiskinan dan distribusi pendapatan.
Kenyataan membuktikan sebaliknya. Tricle down menjadi senjata ampuh untuk menggagalkan upaya untuk mempecepat pertumbuhan di negara-negara dimana kurang adanya perhatian untuk menghilangkan keadilan. Indonesia salah satu yang mengecap ini. Mantan Presiden Soeharto semasa berkuasa yakin betul konsep penetasan ke bawah akan menjadi alat pemerataan keadilan.
Karena itu, dia berdalih tidak ada yang salah bila orientasi negara dalam ekonomi lebih menumpukan pada upaya mempercepat dan mempertinggi pertumbuhan ekonomi. Dia tidak ragu, meskipun hela ekonomi yang dipegang oleh segelintir pengusaha yang terus difasilitasi dan dimanjakan pemerintah. Muncullah konglomerasi karena hanya konglomerat yang mendapatkan perhatian yang besar dan menjadi mesin ekonomi bangsa.
Sedang usaha kecil menengah (UKM), dan koperasi yang menjadi soko guru ekonomi dipinggirkan. Alhasil jargon adil dan makmur yang selalu didengungkan Orde baru menyempit pada “keadilan” bagi yang sudah “makmur”, bukan bagi orang kebanyakan.
Indonesia mestinya mengambil pelajaran dari Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Negara-negara itulah yang membalik logika tricle down.
Bahwa pertumbuhan hanya bisa tercipta dengan baik bila keadilan juga ditekankan secara bersamaan. Sehingga terjadi arus balik dalam pemahaman terhadap eonomi pembangunan. Ilmu ekonomi pembangunan selanjutnya menelurkan kepedulian tehadap keadilan dengan himbauan akan pertumbuhan dengan distribusi, pengurangan dan penghapusan kemiskinan, dan memenuhi kebutuhan dasar.
E. Sumbangan dalam pengembangan
keilmuan/ilmu-ilmu keislaman.
Dalam pandangan saya, kajian terobosan yang dilakukan oleh Chapra dalam buku The Future of Economics: An Islamic Perspective ini mengandung sumbangan yang sangat besar bagi pengembangan ilmu keislaman, yaitu :
Pertama, kajian ini merupakan kritik ilmiah yang simpatik terhadap ilmu ekonomi arus utama, ditinjau dari sudut ekonomi dan moral. Sebagai seorang ekonom professional, ia menyadari kegunaan dan juga keterbatasan ilmu ekonomi karena ia berkembang dalam konteks kapitalis Barat. Ia menyadari akan nilai-nilai intrinsic dalam analisis ekonomi dan konstribusi yang dapat diberikan kepada perbaikan situasi umat manusia di atas dunia, ia mengidentifikasikan kelemahan yang telah menghambat disiplin ini untuk memainkan peran yang benar.
Pendekatannya tidaklah negative, tetapi positif dan kreatif. Ia melihat ada kesalahan selama ini dan berusaha meluruskannya dan ia bukanlah orang yang anti kemapanan. Ia adalah seorang innovator dan reformer yang hendak membangun di atas apa yang ada, dan meralat yang salah.
Keprihatinannya tidak terbatas kepada dimensi moral dan social, yang dalam analisisnya sangat penting, tetapi ia juga memperkuat fondasi mikro dari ilmu ekonomi yang diperlukan untuk memungkinkan mereka memperkuat fondasi kerangka makro dan mencapai tujuan-tujuan social.
Kedua, Kajian ini membuat suatu usaha sistematis untuk membawa kembali focus ilmu ekonomi kepada persoalan-persoalan pemerataan dan keadilan, tanpa memperlemah keprihatinan terhadap efisiensi. Tujuan kembar, yaitu pemerataan dan efisiensi, harus berjalan bersama jika ilmu ekonomi harus menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang mengantarkan kebahagiaan kepada umat manusia dan tidak semata-mata “menjadi ilmu pengetahuan untuk mengumpulkan kekayaan”. Ia telah melakukan tugas yang menakjubkan dengan memperkenalkan konsep filter moral dan merehabilitasi dimensi keadilan dalam matrik ilmu ekonomi arus utama.
Ketiga, Kajian ini sangat baik sekali meletakkan ilmu ekonomi Islam dalam tataran ilmu ekonomi. Ia tidak melihat ilmu ekonomi Islam sebagai spesies terpisah. Ia melihat problem ekonomi dari kacamata Islam dank arena itu membuat usaha-usaha inovatif untuk membawa ilmu ekonomi sesuai dengan visi Islam dan tatanan social. Islam dan ilmu ekonomi sangat erat berhubungan sehingga ilmu ekonomi mengembangkan suatu arah baru dan menemukan suatu dunia baru untuk dilalui.
Keempat, kajian ini telah menjelaskan secara singkat, tetapi padat dan tingkat tinggi tentang ilmu ekonomi Islam. Penjelasan tersebut bukan merupakan suatu survey dalam arti kata teknik, ia menghadirkan suatu pandangan mengenai konstribusi utama terhadap ilmu ekonomi yang dibuat dari perspektif Islam oleh para ekonom Islam pada abad-abad yang lalu. Sekalipun focus utama lebih banyak pada aspek fiscal dan moneter, namun ia telah berhasil menebarkan aroma pemikiran ekonomi Islam dan telah mengidentifikasi sebagian titik-titik penting yang dicoba untuk dieksplorasi. Ia sepenuhnya menyadari adanya kesenjangan dan tantangan, namun dengan sangat obyektif ia menyinari menara utama dalam bidang ini.
Kelima, akhirnya ia merupakan ekonom Islam yang pertama kali melihat secara kritis sejarah ekonomi masyarakat muslim dengan suatu pandangan untuk melihat apa yang salah dalam perjalanan sejarah kita dan bagaimana kebangkiatan riil dan pembangunan sosioekonomi yang berkesinambungan dapat dicapai di masa depan.
Dalam pandangan saya, kajian terobosan yang dilakukan oleh Chapra dalam buku The Future of Economics: An Islamic Perspective ini mengandung sumbangan yang sangat besar bagi pengembangan ilmu keislaman, yaitu :
Pertama, kajian ini merupakan kritik ilmiah yang simpatik terhadap ilmu ekonomi arus utama, ditinjau dari sudut ekonomi dan moral. Sebagai seorang ekonom professional, ia menyadari kegunaan dan juga keterbatasan ilmu ekonomi karena ia berkembang dalam konteks kapitalis Barat. Ia menyadari akan nilai-nilai intrinsic dalam analisis ekonomi dan konstribusi yang dapat diberikan kepada perbaikan situasi umat manusia di atas dunia, ia mengidentifikasikan kelemahan yang telah menghambat disiplin ini untuk memainkan peran yang benar.
Pendekatannya tidaklah negative, tetapi positif dan kreatif. Ia melihat ada kesalahan selama ini dan berusaha meluruskannya dan ia bukanlah orang yang anti kemapanan. Ia adalah seorang innovator dan reformer yang hendak membangun di atas apa yang ada, dan meralat yang salah.
Keprihatinannya tidak terbatas kepada dimensi moral dan social, yang dalam analisisnya sangat penting, tetapi ia juga memperkuat fondasi mikro dari ilmu ekonomi yang diperlukan untuk memungkinkan mereka memperkuat fondasi kerangka makro dan mencapai tujuan-tujuan social.
Kedua, Kajian ini membuat suatu usaha sistematis untuk membawa kembali focus ilmu ekonomi kepada persoalan-persoalan pemerataan dan keadilan, tanpa memperlemah keprihatinan terhadap efisiensi. Tujuan kembar, yaitu pemerataan dan efisiensi, harus berjalan bersama jika ilmu ekonomi harus menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang mengantarkan kebahagiaan kepada umat manusia dan tidak semata-mata “menjadi ilmu pengetahuan untuk mengumpulkan kekayaan”. Ia telah melakukan tugas yang menakjubkan dengan memperkenalkan konsep filter moral dan merehabilitasi dimensi keadilan dalam matrik ilmu ekonomi arus utama.
Ketiga, Kajian ini sangat baik sekali meletakkan ilmu ekonomi Islam dalam tataran ilmu ekonomi. Ia tidak melihat ilmu ekonomi Islam sebagai spesies terpisah. Ia melihat problem ekonomi dari kacamata Islam dank arena itu membuat usaha-usaha inovatif untuk membawa ilmu ekonomi sesuai dengan visi Islam dan tatanan social. Islam dan ilmu ekonomi sangat erat berhubungan sehingga ilmu ekonomi mengembangkan suatu arah baru dan menemukan suatu dunia baru untuk dilalui.
Keempat, kajian ini telah menjelaskan secara singkat, tetapi padat dan tingkat tinggi tentang ilmu ekonomi Islam. Penjelasan tersebut bukan merupakan suatu survey dalam arti kata teknik, ia menghadirkan suatu pandangan mengenai konstribusi utama terhadap ilmu ekonomi yang dibuat dari perspektif Islam oleh para ekonom Islam pada abad-abad yang lalu. Sekalipun focus utama lebih banyak pada aspek fiscal dan moneter, namun ia telah berhasil menebarkan aroma pemikiran ekonomi Islam dan telah mengidentifikasi sebagian titik-titik penting yang dicoba untuk dieksplorasi. Ia sepenuhnya menyadari adanya kesenjangan dan tantangan, namun dengan sangat obyektif ia menyinari menara utama dalam bidang ini.
Kelima, akhirnya ia merupakan ekonom Islam yang pertama kali melihat secara kritis sejarah ekonomi masyarakat muslim dengan suatu pandangan untuk melihat apa yang salah dalam perjalanan sejarah kita dan bagaimana kebangkiatan riil dan pembangunan sosioekonomi yang berkesinambungan dapat dicapai di masa depan.
F. Penutup
Dengan keterbatasan kemampuan membaca dan memahami sebuah karya ilmiah, penulis mencoba mendeskripsikan hasil bacaan dan pemahaman sederhana karya ekonom Islam terkenal, yaitu Dr. M. Umer Chapra yang ditulis dengan tema The Future of Economics: An Islamic Perspekive.
Membaca dan memahami sebuah karya selevel Umer sebenarnya memerlukan modal dan waktu yang cukup, sehingga hasilnya benar-benar sempurna dan sesuai harapan.
Untuk itu, deskripsi singkat dan sederhana ini agar sempurna dan sesuai harapan, mohon semua pihak kiranya mengkritisi sekaligus mengkoreksi selengkapnya demi kesempurnaan tulisan ini.
Akhirnya, terima kasih atas segala partisipasi semua pihak, mudah-mudahan bermanfaat untuk semuanya.
Dengan keterbatasan kemampuan membaca dan memahami sebuah karya ilmiah, penulis mencoba mendeskripsikan hasil bacaan dan pemahaman sederhana karya ekonom Islam terkenal, yaitu Dr. M. Umer Chapra yang ditulis dengan tema The Future of Economics: An Islamic Perspekive.
Membaca dan memahami sebuah karya selevel Umer sebenarnya memerlukan modal dan waktu yang cukup, sehingga hasilnya benar-benar sempurna dan sesuai harapan.
Untuk itu, deskripsi singkat dan sederhana ini agar sempurna dan sesuai harapan, mohon semua pihak kiranya mengkritisi sekaligus mengkoreksi selengkapnya demi kesempurnaan tulisan ini.
Akhirnya, terima kasih atas segala partisipasi semua pihak, mudah-mudahan bermanfaat untuk semuanya.
DAFTAR BACAAN
Ahmad al-Raisuni, Nazhariyat
al-Maqashid ‘inda al-Syatibi, (Rabath, Dar al-Aman, 1991),
Blaug (1980) dalam M. Umer Chapra, The Future Of Economics An Islamic Perspective.
Feldman (1987) dalam M. Umer Chapra, The Future Of Economics An Islamic Perspective.
Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001).
M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, terjemah Ikhwan Abidin basri : Islam dan Pembangunan Ekonomi (Jakarta, Gema Insani Press dan Tazkia Institute, 2000).
M. Umer Chapra, The Future Of Economics An Islamic Perspective, terjemah, Ikhwan Abidin Basri : Masa Depan Ilmu Ekonomi, Sebuah Tinjauan Islam (Bandung, Gema Insani, 2001).
M. Umer Chapra, Islam and The Economic Challenge, terjemah Ikhwan Abidin basri : Islam dan Tantangan Ekonomi (Jakarta, Gema Insani Press dan Tazkia Institute, 2000).
Mohammad Nejatullah Shiddiq, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, suatu survai dalam Adiwarman Karim : Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta, IIIT (Indonesia), 2002),
Muhammad Abu Zahro, Al-Imam Zaid (Cairo, Darul Fikri al-Araby).
Muhammad Abu Zahro, Abu Hanifah (Cairo, Darul Fikri).
Muhammad Abu Yusuf Musa, Abu Hanifah wal Qiyam al-Insaniyah fi madhhabi (Cairo Mesir, Maktabah Nahdah, 1957).
Republika Online, Perekonomian Masa Depan, Kategori Ekonomi Islam, Senin, 22 oktober 2001.
al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, jilid III (Beirut, Dar al-Fikr).
Blaug (1980) dalam M. Umer Chapra, The Future Of Economics An Islamic Perspective.
Feldman (1987) dalam M. Umer Chapra, The Future Of Economics An Islamic Perspective.
Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001).
M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, terjemah Ikhwan Abidin basri : Islam dan Pembangunan Ekonomi (Jakarta, Gema Insani Press dan Tazkia Institute, 2000).
M. Umer Chapra, The Future Of Economics An Islamic Perspective, terjemah, Ikhwan Abidin Basri : Masa Depan Ilmu Ekonomi, Sebuah Tinjauan Islam (Bandung, Gema Insani, 2001).
M. Umer Chapra, Islam and The Economic Challenge, terjemah Ikhwan Abidin basri : Islam dan Tantangan Ekonomi (Jakarta, Gema Insani Press dan Tazkia Institute, 2000).
Mohammad Nejatullah Shiddiq, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, suatu survai dalam Adiwarman Karim : Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta, IIIT (Indonesia), 2002),
Muhammad Abu Zahro, Al-Imam Zaid (Cairo, Darul Fikri al-Araby).
Muhammad Abu Zahro, Abu Hanifah (Cairo, Darul Fikri).
Muhammad Abu Yusuf Musa, Abu Hanifah wal Qiyam al-Insaniyah fi madhhabi (Cairo Mesir, Maktabah Nahdah, 1957).
Republika Online, Perekonomian Masa Depan, Kategori Ekonomi Islam, Senin, 22 oktober 2001.
al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, jilid III (Beirut, Dar al-Fikr).
Perkembangan ekonomi syari’ah di
Indonesia demikian cepat, khususnya perbankan, asuransi dan pasar modal. Jika
pada tahun 1990-an jumlah kantor layanan perbankan syariah masih belasan, maka
tahun 2000an, jumlah kantor pelayanan lembaga keuangan syariah itu melebihi
enam ratusan yang tersebar di seluruh Indonesia. Asset perbankan syari’ah
ketika itu belum mencapai Rp 1 triliun, maka saat ini assetnya lebih dari Rp 22
triliun. Lembaga asuransi syariah pada tahun 1994 hanya dua buah yakni Asuransi
Takaful Keluarga dan Takaful Umum, kini telah berjumlah 34 lembaga asuransi
syariah (Data AASI 2006). Demikian pula obligasi syariah tumbuh pesat
mengimbangi asuransi dan perbankan syariah.
Para praktisi ekonomi syari’ah,
masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa syariah dari
lembaga ulama (MUI) berkaitan dengan praktek dan produk di lembaga-lembaga
keuangan syariah tersebut. Perkembangan lembaga keuangan syariah yang demikian
cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa hukum syari’ah yang valid dan akurat,
agar seluruh produknya memiliki landasan yang kuat secara syari’ah. Untuk
itulah Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dilahirkan pada tahun 1999 sebagai bagian
dari Majlis Ulama Indonesia.
Kedudukan Fatwa
Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid (Al-Fatwa fi Haqqil ’Ami kal Adillah fi Haqqil Mujtahid). Artinya, Kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan, seperti dalil bagi mujtahid.
Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia. Fatwa ekonomi syari’ah yang telah hadir itu secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan pembaharuan fiqh muamalah maliyah. (fiqh ekonomi)
Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyin dan tawjih. Tabyin artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi lembaga keuangan, khususnya yang diminta praktisi ekonomi syariah ke DSN dan taujih, yakni memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang norma ekonomi syari’ah.
Memang dalam kajian ushul fiqh, kedudukan fatwa hanya mengikat bagi orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa. Namun dalam konteks ini, teori itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori lama tentang fatwa harus direformasi dan diperpaharui sesuai dengan perkembangan dan proses terbentuknya fatwa. Maka teori fatwa hanya mengikat mustaft (orang yang minta fatwa) tidak relevan untuk fatwa DSN. Fatwa ekonomi syariah DSN saat ini tidak hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi syariah, tetapi juga bagi masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa itu kini telah dipositivisasi melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Bahkan DPR baru-baru ini, telah mengamandemen UU No 7/1989 tentang Perdilan Agama yang secara tegas memasukkan masalah ekonomi syariah sebagai wewenang Peradilan Agama.
Fatwa-fatwa ekonomi syari’ah saat di Indonesia dikeluarkan melalui proses dan formula fatwa kolektif, koneksitas dan melembaga yang disebut ijtihad jama’iy (ijtihad ulama secara kolektif), bukan ijtihad fardi (individu), Validitas jama’iy dan fardi jelas sangat berbeda. Ijtihad jama’iy telah mendekati ijma’. Seandainya hanya negara Indonesia yang ada di dunia ini, pastilah kesepakatan para ahli dan ulama Indonesia itu disebut Ijma’.
Fatwa dalam definisi klasik bersifat opsional ”ikhtiyariah” (pilihan yang tidak mengikat secara legal, meskipun mengikat secara moral bagi mustafti (pihak yang meminta fatwa), sedang bagi selain mustafti bersifat ”i’lamiyah” atau informatif yang lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka untuk mengambil fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada mufti/seorang ahli yang lain.
Jika ada lebih dari satu fatwa mengenai satu masalah yang sama maka ummat boleh memilih mana yang lebih memberikan qana’ah (penerimaan/kepuasan) secara argumentatif atau secara batin. Sifat fatwa yang demikian membedakannya dari suatu putusan peradilan (qadha) yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang berperkara.
Namun, keberadaan fatwa ekonomi syari’ah yang dikeluarkan DSN di zaman kontemporer ini, berbeda dengan proses fatwa di zaman klasik yang cendrung individual atau lembaga parsial.
Otoritas fatwa tentang ekonomi syari’ah di Indonesia, berada dibawah Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama Indonesia. Komposisi anggota plenonya terdiri dari para ahli syari’ah dan ahli ekonomi/keuangan yang mempunyai wawasan syari’ah. Dalam membahas masalah-masalah yang hendak dikeluarkan fatwanya, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) melibatkan pula lembaga mitra seperti Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan Biro Syari’ah dari Bank Indonesia.
Fatwa dengan definisi klasik mengalami pengembangan dan penguatan posisi dalam fatwa kontemporer yang melembaga dan kolektif di Indonesia. Baik yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI untuk masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara umum, maupun yang dikeluarkan oleh DSN MUI untuk fatwa tentang masalah ekonomi syari’ah khususnya Lembaga Ekonomi Syari’ah. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI menjadi rujukan yang berlaku umum serta mengikat bagi ummat Islam di Indonesia, khususnya secara moral. Sedang fatwa DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi lembaga-lembaga keuangan syari’ah (LKS) yang ada di tanah air, demikian pula mengikat masyarakat yang berinteraksi dengan LKS.
Kaedah dan Prinsip
Fiqh muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi diterapkan, karena bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini demikian cepat. Sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat sudah jauh berubah dibanding kondisi di masa lampau. Oleh karena itu, dalam konteks ini diterapkan dua kaedah.
Pertama, Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah, yaitu, memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan membiarkan terus praktek yang telah ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang mengharamkannya.
Kedua, Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim ( Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).
Selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama muamalah, seperti, prinsip bebas riba, bebas gharar (ketidak-jelasan atau ketidakpastian) dan tadlis, tidak maysir (spekulatif), bebas produk haram dan praktek akad fasid/batil. Prinsip ini tidak boleh dilanggar, karena telah menjadi aksioma dalam fiqh muamalah.
Formulasi fatwa juga berpegang pada prinsip maslahah atau ”ashlahiyah” (mana yang maslahat atau lebih maslahat untuk dijadikan opsi yang difatwakan. Konsep maslahah dalam muamalah menjadi prinsip yang paling penting. Dalam ushul fiqh telah populer kaedah, ”Di mana ada mashlalah, maka di situ ada syariah Allah”. Watak maslahat syar’iyah antara lain berpihak kepada semua pihak atau berlaku umum, baik maslahat bagi lembaga syariah, nasabah, pemerintah (regulator) maupun masyarakat luas.
Kemaslahatannya tidak hanya diakui secara tanzhiriyah (perhitungan teoritis) tetapi juga secara tajribiyah (pengalaman empirik di lapangan). Karena itu untuk menguji shalahiyah (validitas) fatwa, harus diadakan muraja’ah maidaniyah (pencocokan di lapangan) setelah berjalan waktu yang cukup dalam implementasi fatwa ekonomi. Apakah kemaslahatan dalam tataran teoritis mendapatkan pembenaran dalam penerapannya di lapangan.
Produk Fatwa DSN
Sejak berdirnya tahun 1999, Dewan Syariah Nasional, telah mengeluarkan sedikitnya 47 fatwa tentang ekonomi syariah, antara lain, fatwa tentang giro, tabungan, murabahah, jual beli salam, istishna’, mudharabah, musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang muka dalam murabahah, sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syari’ah, diskon dalam murabahah, sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, pencadangan penghapusan aktiva produktiv dalam LKS, al-qaradh, investasi reksadana syariah, pedoman umum asuransi syariah, jual beli istisna’ paralel, potongan pelunasan dalam murabahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah muntahiyah bit tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di LKS, pembiayaan rekening koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah, obligasi syariah mudharabah, Letter of Credit (LC) impor syariah, LC untuk export, sertifikat wadiah Bank Indoensia, Pasar Uang antar Bank Syariah, sertifikat investasi mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman umum penerapan prinsip syariah di pasar modal, obligasi syariah ijarah, kartu kredit, dsb.
Saran
Struktur dan format fatwa sudah memadai dengan rumusan yang simple. Jika dibandingkan dengan format fatwa mufti Mesir misalnya, fatwa DSN MUI lebih komplet muatannya. Namun format fatwa DSN-MUI hanya terbatas memberikan penentuan status hukum masalah yang difatwakan, belum bersifat ”ifadah ’ilmiah” yakni memberikan kegunaan pencerahan wawasan keilmuan, sehingga kurang memberikan bekalan kepada kalangan di luar para ulama ekonomi syariah. Karena itu disarankan agar setiap fatwa disertai lampirannya, berupa uraian ilmiyah singkat yang mengantarkan pada kesimpulan-kesimpulan isi fatwa.
Fatwa ini seharusnya disebarkan oleh MUI kepada masyarakat, agar umat mengetahui hukum-hukum ekonomi syariah. Sangat disayangkan pengursu MUI kabupaten kota pun kadang tidak memiliki buku fatwa ekonomi syariah MUI tersebut. Padahal telah dikirim ke MUI Propinsi.
Para ulama harus meningkatkan pengetahuan ekonomi syariah kontemporer melalui workshop, training atau seminar, sehingga wawasannya menjadi luas dan mampu memahami bahkan menjawab persoalan kekinian secara valid dan akurat, Jangan hanya berkutat dalam persoalan kajian ibadah, pemikiran teologi, pahala, syorga dan neraka, tapi kajian Islam yang komprehensif.
Kedudukan Fatwa
Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid (Al-Fatwa fi Haqqil ’Ami kal Adillah fi Haqqil Mujtahid). Artinya, Kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan, seperti dalil bagi mujtahid.
Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia. Fatwa ekonomi syari’ah yang telah hadir itu secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan pembaharuan fiqh muamalah maliyah. (fiqh ekonomi)
Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyin dan tawjih. Tabyin artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi lembaga keuangan, khususnya yang diminta praktisi ekonomi syariah ke DSN dan taujih, yakni memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang norma ekonomi syari’ah.
Memang dalam kajian ushul fiqh, kedudukan fatwa hanya mengikat bagi orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa. Namun dalam konteks ini, teori itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori lama tentang fatwa harus direformasi dan diperpaharui sesuai dengan perkembangan dan proses terbentuknya fatwa. Maka teori fatwa hanya mengikat mustaft (orang yang minta fatwa) tidak relevan untuk fatwa DSN. Fatwa ekonomi syariah DSN saat ini tidak hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi syariah, tetapi juga bagi masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa itu kini telah dipositivisasi melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Bahkan DPR baru-baru ini, telah mengamandemen UU No 7/1989 tentang Perdilan Agama yang secara tegas memasukkan masalah ekonomi syariah sebagai wewenang Peradilan Agama.
Fatwa-fatwa ekonomi syari’ah saat di Indonesia dikeluarkan melalui proses dan formula fatwa kolektif, koneksitas dan melembaga yang disebut ijtihad jama’iy (ijtihad ulama secara kolektif), bukan ijtihad fardi (individu), Validitas jama’iy dan fardi jelas sangat berbeda. Ijtihad jama’iy telah mendekati ijma’. Seandainya hanya negara Indonesia yang ada di dunia ini, pastilah kesepakatan para ahli dan ulama Indonesia itu disebut Ijma’.
Fatwa dalam definisi klasik bersifat opsional ”ikhtiyariah” (pilihan yang tidak mengikat secara legal, meskipun mengikat secara moral bagi mustafti (pihak yang meminta fatwa), sedang bagi selain mustafti bersifat ”i’lamiyah” atau informatif yang lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka untuk mengambil fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada mufti/seorang ahli yang lain.
Jika ada lebih dari satu fatwa mengenai satu masalah yang sama maka ummat boleh memilih mana yang lebih memberikan qana’ah (penerimaan/kepuasan) secara argumentatif atau secara batin. Sifat fatwa yang demikian membedakannya dari suatu putusan peradilan (qadha) yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang berperkara.
Namun, keberadaan fatwa ekonomi syari’ah yang dikeluarkan DSN di zaman kontemporer ini, berbeda dengan proses fatwa di zaman klasik yang cendrung individual atau lembaga parsial.
Otoritas fatwa tentang ekonomi syari’ah di Indonesia, berada dibawah Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama Indonesia. Komposisi anggota plenonya terdiri dari para ahli syari’ah dan ahli ekonomi/keuangan yang mempunyai wawasan syari’ah. Dalam membahas masalah-masalah yang hendak dikeluarkan fatwanya, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) melibatkan pula lembaga mitra seperti Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan Biro Syari’ah dari Bank Indonesia.
Fatwa dengan definisi klasik mengalami pengembangan dan penguatan posisi dalam fatwa kontemporer yang melembaga dan kolektif di Indonesia. Baik yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI untuk masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara umum, maupun yang dikeluarkan oleh DSN MUI untuk fatwa tentang masalah ekonomi syari’ah khususnya Lembaga Ekonomi Syari’ah. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI menjadi rujukan yang berlaku umum serta mengikat bagi ummat Islam di Indonesia, khususnya secara moral. Sedang fatwa DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi lembaga-lembaga keuangan syari’ah (LKS) yang ada di tanah air, demikian pula mengikat masyarakat yang berinteraksi dengan LKS.
Kaedah dan Prinsip
Fiqh muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi diterapkan, karena bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini demikian cepat. Sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat sudah jauh berubah dibanding kondisi di masa lampau. Oleh karena itu, dalam konteks ini diterapkan dua kaedah.
Pertama, Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah, yaitu, memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan membiarkan terus praktek yang telah ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang mengharamkannya.
Kedua, Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim ( Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).
Selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama muamalah, seperti, prinsip bebas riba, bebas gharar (ketidak-jelasan atau ketidakpastian) dan tadlis, tidak maysir (spekulatif), bebas produk haram dan praktek akad fasid/batil. Prinsip ini tidak boleh dilanggar, karena telah menjadi aksioma dalam fiqh muamalah.
Formulasi fatwa juga berpegang pada prinsip maslahah atau ”ashlahiyah” (mana yang maslahat atau lebih maslahat untuk dijadikan opsi yang difatwakan. Konsep maslahah dalam muamalah menjadi prinsip yang paling penting. Dalam ushul fiqh telah populer kaedah, ”Di mana ada mashlalah, maka di situ ada syariah Allah”. Watak maslahat syar’iyah antara lain berpihak kepada semua pihak atau berlaku umum, baik maslahat bagi lembaga syariah, nasabah, pemerintah (regulator) maupun masyarakat luas.
Kemaslahatannya tidak hanya diakui secara tanzhiriyah (perhitungan teoritis) tetapi juga secara tajribiyah (pengalaman empirik di lapangan). Karena itu untuk menguji shalahiyah (validitas) fatwa, harus diadakan muraja’ah maidaniyah (pencocokan di lapangan) setelah berjalan waktu yang cukup dalam implementasi fatwa ekonomi. Apakah kemaslahatan dalam tataran teoritis mendapatkan pembenaran dalam penerapannya di lapangan.
Produk Fatwa DSN
Sejak berdirnya tahun 1999, Dewan Syariah Nasional, telah mengeluarkan sedikitnya 47 fatwa tentang ekonomi syariah, antara lain, fatwa tentang giro, tabungan, murabahah, jual beli salam, istishna’, mudharabah, musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang muka dalam murabahah, sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syari’ah, diskon dalam murabahah, sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, pencadangan penghapusan aktiva produktiv dalam LKS, al-qaradh, investasi reksadana syariah, pedoman umum asuransi syariah, jual beli istisna’ paralel, potongan pelunasan dalam murabahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah muntahiyah bit tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di LKS, pembiayaan rekening koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah, obligasi syariah mudharabah, Letter of Credit (LC) impor syariah, LC untuk export, sertifikat wadiah Bank Indoensia, Pasar Uang antar Bank Syariah, sertifikat investasi mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman umum penerapan prinsip syariah di pasar modal, obligasi syariah ijarah, kartu kredit, dsb.
Saran
Struktur dan format fatwa sudah memadai dengan rumusan yang simple. Jika dibandingkan dengan format fatwa mufti Mesir misalnya, fatwa DSN MUI lebih komplet muatannya. Namun format fatwa DSN-MUI hanya terbatas memberikan penentuan status hukum masalah yang difatwakan, belum bersifat ”ifadah ’ilmiah” yakni memberikan kegunaan pencerahan wawasan keilmuan, sehingga kurang memberikan bekalan kepada kalangan di luar para ulama ekonomi syariah. Karena itu disarankan agar setiap fatwa disertai lampirannya, berupa uraian ilmiyah singkat yang mengantarkan pada kesimpulan-kesimpulan isi fatwa.
Fatwa ini seharusnya disebarkan oleh MUI kepada masyarakat, agar umat mengetahui hukum-hukum ekonomi syariah. Sangat disayangkan pengursu MUI kabupaten kota pun kadang tidak memiliki buku fatwa ekonomi syariah MUI tersebut. Padahal telah dikirim ke MUI Propinsi.
Para ulama harus meningkatkan pengetahuan ekonomi syariah kontemporer melalui workshop, training atau seminar, sehingga wawasannya menjadi luas dan mampu memahami bahkan menjawab persoalan kekinian secara valid dan akurat, Jangan hanya berkutat dalam persoalan kajian ibadah, pemikiran teologi, pahala, syorga dan neraka, tapi kajian Islam yang komprehensif.
Penulis adalah Dosen Ekonomi dan
Keuangan Syariah Pascasarjana PSTTI UI, Sekjen DPP IAEI dan Dosen Pascasarjana
Ekonomi dan Keuangan Syariah Universitas Indonesia Jakarta
Perbankan
syariah
atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini
didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan
bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang
dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi
makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak
dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.
Produk perbankan syariah
Beberapa
produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:
Jasa untuk peminjam dana
- Mudhorobah, adalah perjanjian
antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan
dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung
penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan
pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti
penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
- Musyarokah (Joint Venture),
konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan
yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian
akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak.
Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur
tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur
tangan.
- Murobahah , yakni penyaluran
dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan
pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga
yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna
jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad
diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati.
Contoh:harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang
dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang
disepakati diawal antara Bank dan Nasabah. [5]
- Takaful (asuransi islam)
Jasa untuk penyimpan dana
- Wadi'ah (jasa penitipan),
adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut
sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun
diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. [6]
- Deposito Mudhorobah, nasabah
menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari
investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara
bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.
Prinsip perbankan syariah
Prinsip
syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa
prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain
- Pembayaran terhadap pinjaman
dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan
sebelumnya tidak diperbolehkan.
- Pemberi dana harus turut
berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang
meminjam dana.
- Islam tidak memperbolehkan
"menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media
pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
- Unsur Gharar (ketidakpastian,
spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan
baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
- Investasi hanya boleh diberikan
pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras
misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Prinsip
perbankan syariah pada akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi umat karena
menjanjikan keseimbangan sistem ekonominya[1].
Komentar:
Hal ini sangat disayangkan karena kurangnya pengetahuan tentang prinsip
tersebut sehingga masih banyak masyarakat yang kurang percaya dan kurang merasa
mudah menggunakan fasilitas-fasilitas yang terdapat dalam prinsip-prinsip Bank
Syari'ah. Didalam perbankaqn syari'ah telah diatur berbagai macam transaksi
yang tidak merugikan bagi kedua pihak. Karena jika sampai ada yang dirugikan
dan dirugikan maka sudah melanggar ajaran Islam itu sendiri. Prinsip perbankan
syari'ah itu sendiri bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits.
Tantangan Pengelolaan Dana
Laju
pertumbuhan perbankan syariah di tingkat global tak diragukan lagi. Aset
lembaga keuangan syariah di dunia diperkirakan mencapai 250 miliar dollar AS,
tumbuh rata-rata lebih dari 15 persen per tahun. Di Indonesia, volume usaha
perbankan syariah selama lima tahun terakhir rata-rata tumbuh 60 persen per
tahun. Tahun 2005, perbankan syariah Indonesia membukukan laba Rp 238,6 miliar,
meningkat 47 persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu, Indonesia yang
memiliki potensi pasar sangat luas untuk perbankan syariah, masih tertinggal
jauh di belakang Malaysia.
Tahun
lalu, perbankan syariah Malaysia mencetak profit lebih dari satu miliar ringgit
(272 juta dollar AS). Akhir Maret 2006, aset perbankan syariah di negeri jiran
ini hampir mencapai 12 persen dari total aset perbankan nasional. Sedangkan di
Indonesia, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen
dari total aset perbankan. Bank Indonesia memprediksi, akselerasi pertumbuhan
perbankan syariah di Indonesia baru akan dimulai tahun ini.
Implementasi
kebijakan office channeling, dukungan akseleratif pemerintah berupa pengelolaan
rekening haji yang akan dipercayakan pada perbankan syariah, serta hadirnya
investor-investor baru akan mendorong pertumbuhan bisnis syariah. Konsultan
perbankan syariah, Adiwarman Azwar Karim, berpendapat, perkembangan perbankan
syariah antara lain akan ditandai penerbitan obligasi berbasis syariah atau
sukuk yang dipersiapkan pemerintah.
Sejumlah
bank asing di Indonesia, seperti Citibank dan HSBC, bahkan bersiap menyambut
penerbitan sukuk dengan membuka unit usaha syariah. Sementara itu sejumlah
investor dari negara Teluk juga tengah bersiap membeli bank-bank di Indonesia
untuk dikonversi menjadi bank syariah. Kriteria bank yang dipilih umumnya
beraset relatif kecil, antara Rp 500 miliar dan Rp 2 triliun. Setelah
dikonversi, bank-bank tersebut diupayakan melakukan sindikasi pembiayaan proyek
besar, melibatkan lembaga keuangan global.
Adanya
perbankan syariah di Indonesia dipelopori oleh berdirinya Bank Muamalat
Indonesia yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)dengan tujuan
mengakomodir berbagai aspirasi dan pendapat di masyarakat terutama masyarakat
Islam yang banyak berpendapat bahwa bunga bank itu haram karena termasuk riba
dan juga untuk mengambil prinsip kehati-hatian. Apabila dilihat dari segi
ekonomi dan nilai bisnis, ini merupakan terobosan besar karena penduduk
Indonesia 80% beragama islam, tentunya ini bisnis yang sangat potensial.
Meskipun sebagian orang islam berpendapat bahwa bunga bank itu bukan riba
tetapi faedah, karena bunga yang diberikan atau diambil oleh bank berjumlah
kecil jadi tidak akan saling dirugikan atau didzolimi, tetapi tetap saja bagi
umat islam berdirinya bank-bank syariah adalah sebuah kemajuan besar.
Tetapi
sistem perbankan syariah di Indonesia masih belum sempurna atau masih ada
kekurangannya yaitu masih berinduk pada Bank Indonesia, idealnya pemerintah
Indonesia mendirikan lembaga keuangan khusus syariah yang setingkat Bank
Indonesia yaitu Bank Indonesia Syariah.
0 comments:
Post a Comment