Tuesday, May 1, 2012

SUMBER-SUMBER HUKUM PERIKATAN ISLAM


SUMBER-SUMBER HUKUM PERIKATAN ISLAM
Sumber hukum islam berasal dari tiga sumber hukum, yaitu Al-Qur’an dan hadist (sebagai dua sumber utama), serta ar-ra’yu atau akal pikiran manusia yang terhimpun dalam ijtihad. Hal ini berdasarkan pada hadist Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan hadist mu’az. Terdapat pula pedapat lain mengenai sumber hukum islam ini yang didasarkan pada QS. An-Nisaa (4):59, bahwa sumber hukum islam adalah Al-Qur’an, as-sunnah, ijtihad, dan qiyas.
Dalam tulisan ini, diuraikan sumber hokum perikatan islam berasal dari al-qur’an, al-hadist dan ijtihad.
1.      Al-Qur’an
Sebagai salah satu sumber hokum islam utama yang pertama, dalam hokum perikatan islam ini, sebagian besar al-qur’an hanya mengatur mengenai kaidah-kaidah umum. Hal tersebut  antara lain dapat dilihat dari isi ayat-ayat al-qur’an berikut ini:
a.       Qs. Al-baqarah (2):188
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
b.      Qs. Al-baqarah (2):275
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
c.       Qs. Al-baqarah (2):282
d.      Qs. Al-baqarah (2):283
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh satu penulispun, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya¸maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
e.       Qs. An-nisaa (4):29
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.
f.       Qs. Al-maidah (5):01
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.
g.       Qs. Al-maidah (5):02
Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebjikan dan takwa, dan jaganlah tolong menolong dalam berbuat dosa, dan pelanggaran.
h.      Qs. Al-jumu’ah (62):09
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseur untuk menunaikan sembahyang pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
i.        Qs. Al-muthaffifiin (83):1-6
Kecelakaan besarlah bagi oranng-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-oran itu menyangka. Bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.
2.      Hadist
Dalam hadist, ketentuan-ketentuan mengenai muamalat lebih terperinci daripada al-qur’an. Namun, perincian ini tidak terlalu mengatur hal-hal yang sangat mendetail, tetap dalam jalur kaidah-kaidah umum. Hadist-hadist tersebut antara lain dapat terlihat di bawah ini.
a.       HR. Abu dawud dan hakim
Allah swt telah berfirman (dalam hadist qudsi-Nya), “Aku adalah orang ketiga dari dua ornag yang beserikat selama salah seorang diantaranya tidak berkhianat terhadap temannya. Apabila salah seorang di antara keduanya berkhianat, maka Aku keluar dari perserikatan keduanya.”
b.      HR. bukhari dan muslim
siapa saja yang melakukan jual beli salam (salaf), maka lakukanlah dalam ukuran (takaran) tertentu, timbangan tertentu dan waktu tertentu.”
c.       HR. Ahmad dan Baihaqi
Orang yang mampu membayar utang, haram atasnya melalaikan utangnya. Maka, apabila salah seoranng diantara kamu memindahkan utangnya kepada orang lain, pemindahan itu hendaklah diterima, asal yang lain itu mampu membayar.
3.      Ijtihad
Sumber hukum islam yang ketiga adalah ijtihad yang dilakukan dengan menggunakan akal atau ar-ro’yu. Posisi akal dalam ajaran islam memiliki kedudukan yang sangat penting. Allah swt menciptakan akal untuk manusia agar dipergunakan untuk memahami, mengembangkan dan menyempurnakan sesuatu, dalam hal ini adalah ketentuan-ketentuan dalam islam. Namun demikian, akal tidak dapat berjalan dengan baik tanpa ada petunjuk. Petunjuk itu telah diatur oleh Allah swt yang tercantum dalam al-qur’an dan hadist.

Pengguanaa akal untuk berijtihad telah dibenarkan oleh Nabi Muhammad saw seperti yang terdapat pada hadist mu’az bin jabal, bahkan juuga terdapat dalam ketentuan Qs. An-nisa (4):59, Mohammad Daud Ali memerikan definisi ijtihad adalah sebagai berikut:
Ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan menggunakan segenap kemampuan yang ada, dilakukan ole orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya did ala al-qur’an dan sunnah Rausulullah.

Kedudukan ijtihad dalam bidang muamalat memiliki peran yang sangat penting. Hal ini disebabkan, bahwa sebagian besar ketentuan-ketentuan muamalat yang terdapat dalam al-qur’an dan hadist bersifat umum. Sedangkan dalam pelaksanaanya di masyarakat, kegiatan muamalat selalu berkembang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, ayat dan hadist hukum yang menjadi objek ijtihad hayalah yang zhanni[1] sifatnya. Ijtihad dapat pula dilkukan terhadap hal-hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al-qur’qn dan hadist dan juga mengenai masalah hukum baru yang timbul dan berkembang di masyarakat.

Hazairin berpendapat, bahwa ketentuan yang berasal dari ijtihad ulil amri terbagi dua, yaitu sebagai berikut:
a.       Berwujud pemilihan atau penunjukan garis hukum yang setepa-tepatnya untuk diterapkan pada suatu perkara ata kasus tertentu yang mungkinlangsung diambil dari ayat-ayat hukum dalam al-qur’an, mungkin pula ditimbulkan dari perkataan (penjelasan) atau teladan yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw.
b.      Ketentuan yang berwujud penciptaan atau pembentukan garis hukum baru bagi keadaan-keadaan baru menurut tempat dan waktu, dengan berpedoman kepada kaidah-kaidah hukum yang telah ada dalam Al-qur’an dan sunnah Rasul.
Di indonesia, pada bulan april 2000 telah terbentuk Dewan Syari’ah Nasional (DSN) yang merupakan bagian dari amjelis ulama Indonesia. Dewan syari’ah nasional ini adalah dewan yan menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syari’ah. Tugas DSN di antaranya adalah mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan, produk, dan jasa keuangan syari’ah.[2]

BERAKHIRNYA (TERHAPUSNYA) PERIKATAN
            Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Dalam akad jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi miilik penjual. Dalam akad gadai dan pertanggungan (kafalah), akad dipandang telah berakhir apabila utang telah dibayar.
            Selain telah tercapai tujuannya, akad dipandang telah berakhir apabila terjadi fasakh (pembatalan) atau telah berakhir waktunya.
            Fasakh terjadi dengan sebab-sebab sebagi berikut:
1.      Di-fasakh (dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’, seperti yyang disebutkan dalam akad rusak. Misalnya, jual beli barang yang tidak memenuhi syarat kejelasan.
2.      Dengan sebab khiyar, baik kiyar rukyat, cacat, syarat, atau majelis.
3.      Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal atas akad yang baru saja dilakukan. Fasakh dengan cara ini disebut iqalah. Dalam hubungan ini, Hadist Nabi riwayat Abu Daud mengajarkan, bahwa barangsiapa mengabulkan permintaan pembatalan orang yang menyesal atas akad jual beli yang dilakukan, Allah akan menghilangkan kesukarannya pada Kiamat kelak.
4.      Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak bersangkkutan. Misalnya, dalam khiyar pembayaran (khiyar naqd) penjual mengatakan, bahwa ia menjual barangnya kepada pembeli, dengan ketentuan apabila dalam tempo seminggu harganya tidak dibayar, akad jual beli menjadi batal. Apabila pembeli dalam waktu yang ditentukan itu membayar, akad berlangsung. Akan tetapi jika tidak membayar, akad menjadi rusak (batal).
5.      Karena habis waktunya, seperti dalam akad sewa menyewa berjangka waktu tertentu dan tidak dapat diperpanjang.
6.      Karena tidak mendapat izin dari pihak yang berwenang.
7.      Karena kematian[3].

Mengenai kematian ini, terdapat perbedaan pendapat diantara para fukaha mengenai masalah apakahkematian pihak-pihak  yang melakukan akad mengakibatkan berkhirnya akad. Sejalan dengan perbedaan pendapat mereka apakah hak yang ditimbulkan oleh akad itu dapat diwariskan atau tidak. Demikian pula adanya perbedaan pendapat tentang bagaimana terjadinya akad-akad tertentu serta sifat (watak) masing-masing.

            Dalam akad sewa menyewa yang merupakan akad yang mengikat secara pasti kedua belah pihak itu, kematian salah satu pihak, penyewa atau yang menyewakan, menurut pendapat ulama-ulama mazhab Hanafi mengakibatkan berkhirnya akad. Namun, menurut pendapat ulama-ulama mazhab Syafi’I, tidak. Ulama-ulama Hanafiah berpendapat, bahwa objek sewa menyewa adalah manfaat baran sewa yang terjadi sedikit-sedikit sejalan dengan waktu yang dilalui. Manfaat barang yang ada setelah meninggalnya pemilik bukan lagi menjadi haknya sehingga akad tidak berlaku lagi trehadapnya. Berbeda dengan ulama-ulama Hanafiah, ulama-ulama Syafi’iyah memandang manfaat barang sewa semuanya telah ada ketika akad di adakan, tidak terjadi sedikit-sedikit sehingga kematian salah satu pihak tidak membatalkan akad.

            Dalam akad gadai, kematian pihak pemegang gadai tidak mengakibatkan berakhirnya akad, tetapi dilanjutkan oleh ahli warisnya, guna menjamin hak atas piutang. Apabila yang meninggal adalah pihak yang berutang, dan ahli warisnya masih kecil-kecil, barang gadai dijual untuk melunasi utang. Akan tetapi, apabila ahli warisnya sudah besar-besar atau dewasa mereka mengganti kedudukan yang mewariskan, dan berkewajiban untuk menyelesaikan akad gadai dengan melunasi utang.

            Dalam akad persekutuan, karena akad itu tidak mengikat secara pasti kedua belah pihak, kematian salah satu anggotanya mengakibatkan berakhirnya akad. Demikian pula dalam akad perwakilan.
            Jadi, apakah kematian salah satu pihak yang mengadakan akad mengakibatkan berakhirnya akad atau tidak, pada umumnya dpat disimpullkan, bahwa apabila akad menyangkut hak-hak perorangan, bukan hak-hak kebendaan, kematian salah satu pihak mengakibatkan berakhirnya akad, seperti perwakilan, perwalian, dan sebagainya. Apabila akad menyangkut hak-hak kebendaan, terdapat berbagai macam ketentuan, bergantung kepada bentuk dan sifat akad yang akan diadakan. Hal ini akan diketahui dalam pembahasan tentang akad-akad tertentu.
8.      Karena pembayaran.

Pembayaran adalah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara suka rela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi. Tiap pembayaran yang sah dapat dilakukan oelh siapapun yang berkepentingan, seperti orang yang turut berutang atau penanggung utang.
9.      Hapusnya atau hilangnya barang yang dimaksudkan dalam akad

Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada, atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang diluar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun debitur lalai menyerahkan suatu barang, yang sebelumnya tidak ditanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangan kreditur, seandainya barang tersebut sudah diserahkan kepadanya. Debitur diwajibkan membuktikan kejadian tak terduga yang dikemukakannya. Dengan cara bagaimanapun suatu barang hilang atau musnah, orang yang mengambil barang-barang itu sekali-sekali tidak bebas dan kewajiban untuk mengganti harga.

            Jika barang yang terutang musnah, tak lagi dapat di perdagangkan, atau hilang diluar kesalahan debitur, maka debitur, jika mempunyai hak atau tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, di wajibkan memberrikan hak dan tuntutan tersebut kepada kreditur.

            Dalam mazhab hanafi, tingkat kebatalan dibedakan menjadi lima, yaitu :
1.      Akad Batil
Ahli-ahli hukum hanafi mendefinisikan akad batil secar singkat sebagai “akad yang secara syarak tidak sah pokok dan sifatnya.”[4]
2.      Akad fasid
Akad fasid menurut ahli-ahli hukum hanafi, adalah “akad yang menurut syarak sah pokoknya, tetapi tidak sah sifatnya.”[5] Hukum akad fasid dibedakan antara sebelum dilaksanakan dan sesudah dilaksanakan.
a.       Pada asasnya, akad fasid adalah akad tidak sah karena terlarang, dan pada asasnya tidak menimbulkan akibat hukum dan tidak pula dapat di ijazah, bahkan masing-masing pihak dapat mengajukan pembelaan untuk tidak melaksnakannya dengan berdasarkan ketidaksahan tersebut, dan akad fasid wajib di-fasakh baik oleh para pihak maupun oleh hakim.
b.      Sesudah terjadinya pelaksanaa akad ( dalam pelaksanaan berupa penyerahan suatu benda, maka sesudah penyerahan benda dan diterima oleh pihak kedua), akad fasid mempunyai akibat hukum tertentu, yaitu, menurut mazhab hanafi, dapat memindahkan hak milik. Hanya saja, hak milik ini bukan hak milik sempurna dan mutlak, melainkan suatu pemilikan dalam bentuk khusus, yaitu penerima dapat melakukan tindakan hukum terhadapnya, tetapii tidak dapat menikmatinya. Tindakan hukum yang dapat dilakukan, misalnya menjualnnya, menghibahkannya, atau lainnya. Bila seseorang menjual suatu benda yang diperolenhya melalui suatu akad fasid yang kemmudian dilaksanaka, maka pembeli ini memiliki hak milik mutlak dan akadnya sah. Tetapi tidak dijelaskan apakah perolehan ini disyaratkan dengan adanya iktikad baik, yaitu ia tidak mengetahui ahwa baarang yang dibelinya diperoleh oleh penjual dengan akad fasid. Penjual tidak dapat membatalkan akadnya dengan alasan ia memperoleh barang yng dijualnya dengan akad fasid.
3.      Akad maukuf
Sesugguhnya status maukuf dalam jenjang keabsahan dan kebatalan akad adalah persoalan controversial dikalangan ahli-ahi hukum islam. Ahli-ahli hukum mazhab hanafi, maliki, satu riwayat dalam mazhab hambali dan menurut kaul kadim imam asy-syafi’I, akad maukuf dikategorikan kedalam akad yang sah. Sedngkan menurut satu riwayat lain dalam mazhab hambali dan kaul jaded asy-syafi’I, akad maukuf terasuk kategori akad yag tidak sah. Bagi mereka, kewenangan atas objek dan atas tindakan yang dilakukan adalah syarat terbentuknya akad, bukan syarat keabshan, sehingga apabila syarat ini tidak dipenuhi akad menjadi batal.
      Sebab kemaukufan aka dada dua, yaitu (1) tidak adanya kewenangan yang cukup atas tindakan hukum yang dilkukan. Dengan kata lain kekurangan kecakapan; dan (2) tidak adanya kewenangan yang cukup atas objek akad karena adanya hak orang lain pada objek tersebut.
      Tidak adanya kewenangan cukup atas objekdan adanya hak orang lain terkait dengan objek akad tejadi dalam beberapa bentuk. Di antara yang penting adalah bahwa pelaku tindakan tidak mempunyai hak milik atas objek yang karenanya ia melakukan tindakan hukum; atau tidak mendapat pemberian kuasa (perwakilan) dari pemiliknya; atau mendapat pemberian kuasa (perwakilan), namun tindakannya melampaui pemberian kuasa yang diberikan kepadanya.
4.      Akad nafiz gair lazim
Akad nafiz artinya adalah akad yang sudah dapat dibelakuakan atau dilaksanakan akibat hukumnya. Akad ini adalah lawan dari akad maukuf yang akibat hukummnya terhenti dan belum dapat dilaksanakan karena para pihak yang membuatnya tidak memenuhi salah satu syarat dalam berlakunya akibat hukum secara langsung, yaitu memiliki kewenangan atas tindakan dan atas objek akad, sebagaimana telah dikemukakan terdahulu. Apabila kedua syarat ini telah dipenuhi, maka akadnya menjadi akad nafiz.
      Namun disisi lain, meskipun para pihak telah memnuhi dua syarat tersebut sehingga akadnya telah nafiz, masih ada kemungkinan bahwa akad tersebut belum mengikat secara penuh oleh karena masing-masing pihak atau salah satu pihak mempunyai apa yang disebut dengan hak-hak khiyar atau memang karena sifat asli dari akad itu memang tidak mengikat penuh. Akad yang tidak mengikat penuh itu disebut gairu lazim dalam arti masing-masing pihak atau salah satu mempunyai hak untuk mem-fasakh (membatalkan) akad secara sepihak karena alasan yang disebutkan diatas. Akad yang telah memenuhi dua syarat dapat dilaksanakannya segera akibat hukum akad, namun akad itu terbuka untuk difaasakh secara sepihak karena masing-massing atau salah satu pihak mempunyai hak khiyar tertentu atau karena memang sifat asli akad itu demikian disebut akad nafiz gair lazim.
      Pada asasnya suatu perjanjian apabila telah dibuat secara sah dan telah memenuhi syarat berlakunya akibat hukum akad, maka akad tersebut mengikat secara penuh dan tidak boleh salah salah satu pihak membatalkannya secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Akan tetapi terdapat beberapa macam akad yang memang sifat aslinya terbuka untuk di fasakh secara sepihak oleh salah satu pihak tanpa pesetujuan pihak lain. Disamping itu, terdapat pula akad yang alah satu pihak mempunyai hak khiyar (opsi) untuk meneruskan atau mem-fasakh akadnya, baik karena hak opsi (kiyar) itu dimasukkan dalam perjanjian sebagai bagian dari klausulnya, maupun karena ditetapkan syarak.
      Ada beberapa akad dalam hukum islam yang sifat asli akad tersebut tidak mengikat, baik kedua belah pihak maupun salah satu piihak, sehingga dapat difasakh secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Akad ini sering pula disebut akad jaiz. Termasuk akad yang sifat aslinya tidak mengikat kedua belah pihak adalah wakalah (pemberian kuasa), syirkah (persekutuan), akad hibah, akad wadiah (penitipan), dan akad ariah (pinjam pakai). Termasuk akad yang hanya mengikat satu pihak dan tidak mengikat kepada pihak lain adalah akad gadai (ar-rahn) dan akad kafalah (penanggungan).[6]
      Dalam akad-akad ini salah satu pihak dapat saja mem-fasakh akad tanpa persetujuan pihak lain. Dalam akad penitipan atau pinjam pakai, misalnya, penitip atau pemberi pinjaman bisa saja menarik kembali barang yang dititipkannya atau dipinjamkannya tanpa persetujuan penerim a penitipan atau peminjam. Begitupula sebaliknya penerima titipan atau peminjam dapat mengembalikan barang titipan atau pinjaman tanpa persetujuan penitip atau pemberi pinjaman. Sama halnya dengan  ini adalah akad wakalah (pemberian kuasa) tanpa imbalan dimana penerima kuasa (wakil) dapat mengakhiri akadnya tanpa persetujuan pemberi kuasa dengan syarat memberitahukan terlebih dahulu kepada pemberi kuasa. Demikian halnya dengan akad syirkah dengan berbagai macamnya.[7] Akad gadai hanya mengikat kepada penggadai, dalam arti ia tidak dapat mem-fasakh akad secara sepihak tanpa persetujuan pihak penerima gadai. Akan tetapi akad gadai tidak mengikata kepada penerima gadai. Dengan demikian, ia dapat mem-fasakh gadai secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Akad kafalah (penanggungan) hanya mengikat kepada penanggung dimana ia tidak dapat memfasakh akad tersebut secara sepihak. Namun kreditor dapat mem-fasakh akad tersebut secara sepihak karena akad tersebut tidak mengikat baginya. Hanya saja perlu dicatat menyangkut akad jaiz (akad nafiz gairu lazim) bahwa fasakh sepihak hnaya dapat dilakukan sepanjang fasakh tersebut tidak membawa kerugian terhadap pihak mitra akad atau pihak ketiga atau dapat dilakukan sepanjang kerugian itu dapat diberi pengganti. Dalam hal ini kaidah 60 dalam qawa’id ibn rajab menegaskan, “fasakh dalam akad jaiz apabila mengakibatkan kerugian kepada salah satu pihak atau pihak ketiga tidak dibolehkan, kecuali apabila kerugian dapat diberi pegganti.”[8]













MAKALAH
HUKUM PERIKATAN ISLAM
SUMBER-SUMBER HUKUM DAN HAPUSNYA PERIKATAN ISLAM

KELOMPOK II :
ZUL FADLI           : 152 105 005
DIANAWATI        : 152 105 006
ZULKIFLI              : 152 105 0

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
TP : 2011/ 2012


[1] Teks atau  nash zhanni adalah kata atau kalimat yang menunjukkan arti atau pengertian lebih dari satu, masih mungkin ditafsirkan oleh orang yang berbeda dengan makna yang berbeda pula. Lihat mohammad daud ali, Ibid., hlm. 81.
[2] Lihat keputusan dewan syari’ah national No. 01 tahun 2000 tentang pedoman dasar dewan syariah nasional majelis ulama Indonesia (PD DSN-MUI)
[3] Lihat Mas’adi, Op. cit.,hlm. 114-117
[4] Ibn nujaim, al-asybah wa an-nazhai’ir (Beirut: dar al-kutub al-‘ilmiyah, 1985), hal. 337
[5] Ibn nujaim, loc. Cit.
[6] As-sanhuri,mashadir al-Haqq fi al-Fiqh al-islami (Beirut: al-Majma’ al-‘ilmi al-Arabi al-islami, t.t ), IV:198
[7] Muhammad siraj, nazariyyah al-‘aqd fi al-fiqh al-islami (kairo: sa’ad samak li an-naskh wa ath-Thab’, t.t ), hlm. 253
[8] Ibn Rajab, al-Qawa’id (Makkah: maktabah nizar mushthafa al-Baz, 1999), hlm. 121

2 comments:

Unknown said...

makasii kakak buat datanya..

ZUL FADLI said...

Sama-sama Bety Sadewo,,,,
trims dah mengunjungi blog saya,,,