SUMBER-SUMBER
HUKUM PERIKATAN ISLAM
Sumber
hukum islam berasal dari tiga sumber hukum, yaitu Al-Qur’an dan hadist (sebagai
dua sumber utama), serta ar-ra’yu atau akal pikiran manusia yang terhimpun
dalam ijtihad. Hal ini berdasarkan pada hadist Nabi Muhammad SAW yang dikenal
dengan hadist mu’az. Terdapat pula pedapat lain mengenai sumber hukum islam ini
yang didasarkan pada QS. An-Nisaa (4):59, bahwa sumber hukum islam adalah
Al-Qur’an, as-sunnah, ijtihad, dan qiyas.
Dalam
tulisan ini, diuraikan sumber hokum perikatan islam berasal dari al-qur’an,
al-hadist dan ijtihad.
1. Al-Qur’an
Sebagai salah satu sumber hokum
islam utama yang pertama, dalam hokum perikatan islam ini, sebagian besar
al-qur’an hanya mengatur mengenai kaidah-kaidah umum. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dari isi ayat-ayat
al-qur’an berikut ini:
a.
Qs.
Al-baqarah (2):188
Dan janganlah sebagian kamu
memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui.
b.
Qs.
Al-baqarah (2):275
Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba.
c.
Qs.
Al-baqarah (2):282
d.
Qs.
Al-baqarah (2):283
Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh satu penulispun,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya¸maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
e.
Qs.
An-nisaa (4):29
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.
f.
Qs.
Al-maidah (5):01
Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah akad-akad itu.
g.
Qs.
Al-maidah (5):02
Dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebjikan dan takwa, dan jaganlah tolong menolong dalam berbuat
dosa, dan pelanggaran.
h.
Qs.
Al-jumu’ah (62):09
Hai orang-orang yang beriman,
apabila diseur untuk menunaikan sembahyang pada hari jum’at, maka bersegeralah
kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
i.
Qs.
Al-muthaffifiin (83):1-6
Kecelakaan besarlah bagi
oranng-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran
dari orang lain minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk
orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-oran itu menyangka. Bahwa sesungguhnya
mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika)
manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.
2. Hadist
Dalam hadist, ketentuan-ketentuan
mengenai muamalat lebih terperinci daripada al-qur’an. Namun, perincian ini
tidak terlalu mengatur hal-hal yang sangat mendetail, tetap dalam jalur
kaidah-kaidah umum. Hadist-hadist tersebut antara lain dapat terlihat di bawah
ini.
a.
HR.
Abu dawud dan hakim
Allah swt telah berfirman (dalam
hadist qudsi-Nya), “Aku adalah orang ketiga dari dua ornag yang beserikat
selama salah seorang diantaranya tidak berkhianat terhadap temannya. Apabila
salah seorang di antara keduanya berkhianat, maka Aku keluar dari perserikatan
keduanya.”
b.
HR.
bukhari dan muslim
“siapa saja yang melakukan jual beli salam
(salaf), maka lakukanlah dalam ukuran (takaran) tertentu, timbangan tertentu
dan waktu tertentu.”
c.
HR.
Ahmad dan Baihaqi
Orang yang mampu membayar utang,
haram atasnya melalaikan utangnya. Maka, apabila salah seoranng diantara kamu
memindahkan utangnya kepada orang lain, pemindahan itu hendaklah diterima, asal
yang lain itu mampu membayar.
3. Ijtihad
Sumber hukum islam yang ketiga
adalah ijtihad yang dilakukan dengan menggunakan akal atau ar-ro’yu. Posisi
akal dalam ajaran islam memiliki kedudukan yang sangat penting. Allah swt
menciptakan akal untuk manusia agar dipergunakan untuk memahami, mengembangkan
dan menyempurnakan sesuatu, dalam hal ini adalah ketentuan-ketentuan dalam
islam. Namun demikian, akal tidak dapat berjalan dengan baik tanpa ada
petunjuk. Petunjuk itu telah diatur oleh Allah swt yang tercantum dalam
al-qur’an dan hadist.
Pengguanaa akal untuk berijtihad
telah dibenarkan oleh Nabi Muhammad saw seperti yang terdapat pada hadist mu’az
bin jabal, bahkan juuga terdapat dalam ketentuan Qs. An-nisa (4):59, Mohammad
Daud Ali memerikan definisi ijtihad adalah sebagai berikut:
Ijtihad
adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan menggunakan segenap
kemampuan yang ada, dilakukan ole orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk
merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya did ala
al-qur’an dan sunnah Rausulullah.
Kedudukan ijtihad dalam bidang
muamalat memiliki peran yang sangat penting. Hal ini disebabkan, bahwa sebagian
besar ketentuan-ketentuan muamalat yang terdapat dalam al-qur’an dan hadist
bersifat umum. Sedangkan dalam pelaksanaanya di masyarakat, kegiatan muamalat
selalu berkembang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu,
ayat dan hadist hukum yang menjadi objek ijtihad hayalah yang zhanni[1]
sifatnya. Ijtihad dapat pula dilkukan terhadap hal-hal yang tidak terdapat
ketentuannya di dalam Al-qur’qn dan hadist dan juga mengenai masalah hukum baru
yang timbul dan berkembang di masyarakat.
Hazairin berpendapat, bahwa
ketentuan yang berasal dari ijtihad ulil
amri terbagi dua, yaitu sebagai berikut:
a.
Berwujud
pemilihan atau penunjukan garis hukum yang setepa-tepatnya untuk diterapkan
pada suatu perkara ata kasus tertentu yang mungkinlangsung diambil dari
ayat-ayat hukum dalam al-qur’an, mungkin pula ditimbulkan dari perkataan
(penjelasan) atau teladan yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw.
b.
Ketentuan
yang berwujud penciptaan atau pembentukan garis hukum baru bagi keadaan-keadaan
baru menurut tempat dan waktu, dengan berpedoman kepada kaidah-kaidah hukum
yang telah ada dalam Al-qur’an dan sunnah Rasul.
Di indonesia, pada bulan april
2000 telah terbentuk Dewan Syari’ah Nasional (DSN) yang merupakan bagian dari
amjelis ulama Indonesia. Dewan syari’ah nasional ini adalah dewan yan menangani
masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syari’ah.
Tugas DSN di antaranya adalah mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan
keuangan, produk, dan jasa keuangan syari’ah.[2]
BERAKHIRNYA
(TERHAPUSNYA) PERIKATAN
Suatu akad dipandang berakhir
apabila telah tercapai tujuannya. Dalam akad jual beli misalnya, akad dipandang
telah berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli dan harganya
telah menjadi miilik penjual. Dalam akad gadai dan pertanggungan (kafalah), akad dipandang telah berakhir
apabila utang telah dibayar.
Selain telah tercapai tujuannya,
akad dipandang telah berakhir apabila terjadi fasakh (pembatalan) atau telah berakhir waktunya.
Fasakh terjadi dengan sebab-sebab
sebagi berikut:
1. Di-fasakh (dibatalkan), karena
adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’, seperti yyang disebutkan dalam
akad rusak. Misalnya, jual beli barang yang tidak memenuhi syarat kejelasan.
2. Dengan sebab khiyar, baik kiyar
rukyat, cacat, syarat, atau majelis.
3. Salah satu pihak dengan
persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal atas akad yang baru
saja dilakukan. Fasakh dengan cara
ini disebut iqalah. Dalam hubungan
ini, Hadist Nabi riwayat Abu Daud mengajarkan, bahwa barangsiapa mengabulkan
permintaan pembatalan orang yang menyesal atas akad jual beli yang dilakukan,
Allah akan menghilangkan kesukarannya pada Kiamat kelak.
4. Karena kewajiban yang
ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak bersangkkutan.
Misalnya, dalam khiyar pembayaran (khiyar naqd) penjual mengatakan, bahwa ia
menjual barangnya kepada pembeli, dengan ketentuan apabila dalam tempo seminggu
harganya tidak dibayar, akad jual beli menjadi batal. Apabila pembeli dalam
waktu yang ditentukan itu membayar, akad berlangsung. Akan tetapi jika tidak
membayar, akad menjadi rusak (batal).
5. Karena habis waktunya, seperti
dalam akad sewa menyewa berjangka waktu tertentu dan tidak dapat diperpanjang.
6. Karena tidak mendapat izin dari
pihak yang berwenang.
7. Karena kematian[3].
Mengenai kematian ini, terdapat
perbedaan pendapat diantara para fukaha mengenai masalah apakahkematian
pihak-pihak yang melakukan akad
mengakibatkan berkhirnya akad. Sejalan dengan perbedaan pendapat mereka apakah
hak yang ditimbulkan oleh akad itu dapat diwariskan atau tidak. Demikian pula
adanya perbedaan pendapat tentang bagaimana terjadinya akad-akad tertentu serta
sifat (watak) masing-masing.
Dalam
akad sewa menyewa yang merupakan akad yang mengikat secara pasti kedua belah
pihak itu, kematian salah satu pihak, penyewa atau yang menyewakan, menurut pendapat
ulama-ulama mazhab Hanafi mengakibatkan berkhirnya akad. Namun, menurut
pendapat ulama-ulama mazhab Syafi’I, tidak. Ulama-ulama Hanafiah berpendapat,
bahwa objek sewa menyewa adalah manfaat baran sewa yang terjadi sedikit-sedikit
sejalan dengan waktu yang dilalui. Manfaat barang yang ada setelah meninggalnya
pemilik bukan lagi menjadi haknya sehingga akad tidak berlaku lagi trehadapnya.
Berbeda dengan ulama-ulama Hanafiah, ulama-ulama Syafi’iyah memandang manfaat
barang sewa semuanya telah ada ketika akad di adakan, tidak terjadi
sedikit-sedikit sehingga kematian salah satu pihak tidak membatalkan akad.
Dalam
akad gadai, kematian pihak pemegang gadai tidak mengakibatkan berakhirnya akad,
tetapi dilanjutkan oleh ahli warisnya, guna menjamin hak atas piutang. Apabila
yang meninggal adalah pihak yang berutang, dan ahli warisnya masih kecil-kecil,
barang gadai dijual untuk melunasi utang. Akan tetapi, apabila ahli warisnya
sudah besar-besar atau dewasa mereka mengganti kedudukan yang mewariskan, dan
berkewajiban untuk menyelesaikan akad gadai dengan melunasi utang.
Dalam
akad persekutuan, karena akad itu tidak mengikat secara pasti kedua belah
pihak, kematian salah satu anggotanya mengakibatkan berakhirnya akad. Demikian
pula dalam akad perwakilan.
Jadi,
apakah kematian salah satu pihak yang mengadakan akad mengakibatkan berakhirnya
akad atau tidak, pada umumnya dpat disimpullkan, bahwa apabila akad menyangkut
hak-hak perorangan, bukan hak-hak kebendaan, kematian salah satu pihak
mengakibatkan berakhirnya akad, seperti perwakilan, perwalian, dan sebagainya.
Apabila akad menyangkut hak-hak kebendaan, terdapat berbagai macam ketentuan,
bergantung kepada bentuk dan sifat akad yang akan diadakan. Hal ini akan
diketahui dalam pembahasan tentang akad-akad tertentu.
8. Karena pembayaran.
Pembayaran adalah pelaksanaan
atau pemenuhan tiap perjanjian secara suka rela, artinya tidak dengan paksaan
atau eksekusi. Tiap pembayaran yang sah dapat dilakukan oelh siapapun yang
berkepentingan, seperti orang yang turut berutang atau penanggung utang.
9. Hapusnya atau hilangnya barang
yang dimaksudkan dalam akad
Jika barang tertentu yang menjadi
pokok perjanjian musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak
diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada, atau tidak, maka hapuslah
perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang diluar kesalahan debitur dan
sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun debitur lalai menyerahkan
suatu barang, yang sebelumnya tidak ditanggung terhadap kejadian-kejadian yang
tak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara
yang sama di tangan kreditur, seandainya barang tersebut sudah diserahkan
kepadanya. Debitur diwajibkan membuktikan kejadian tak terduga yang
dikemukakannya. Dengan cara bagaimanapun suatu barang hilang atau musnah, orang
yang mengambil barang-barang itu sekali-sekali tidak bebas dan kewajiban untuk
mengganti harga.
Jika
barang yang terutang musnah, tak lagi dapat di perdagangkan, atau hilang diluar
kesalahan debitur, maka debitur, jika mempunyai hak atau tuntutan ganti rugi
mengenai barang tersebut, di wajibkan memberrikan hak dan tuntutan tersebut
kepada kreditur.
Dalam
mazhab hanafi, tingkat kebatalan dibedakan menjadi lima, yaitu :
1.
Akad
Batil
Ahli-ahli
hukum hanafi mendefinisikan akad batil secar singkat sebagai “akad yang secara
syarak tidak sah pokok dan sifatnya.”[4]
2.
Akad
fasid
Akad
fasid menurut ahli-ahli hukum hanafi, adalah “akad yang menurut syarak sah
pokoknya, tetapi tidak sah sifatnya.”[5]
Hukum akad fasid dibedakan antara sebelum dilaksanakan dan sesudah
dilaksanakan.
a.
Pada
asasnya, akad fasid adalah akad tidak sah karena terlarang, dan pada asasnya
tidak menimbulkan akibat hukum dan tidak pula dapat di ijazah, bahkan
masing-masing pihak dapat mengajukan pembelaan untuk tidak melaksnakannya
dengan berdasarkan ketidaksahan tersebut, dan akad fasid wajib di-fasakh baik
oleh para pihak maupun oleh hakim.
b.
Sesudah
terjadinya pelaksanaa akad ( dalam pelaksanaan berupa penyerahan suatu benda,
maka sesudah penyerahan benda dan diterima oleh pihak kedua), akad fasid
mempunyai akibat hukum tertentu, yaitu, menurut mazhab hanafi, dapat
memindahkan hak milik. Hanya saja, hak milik ini bukan hak milik sempurna dan
mutlak, melainkan suatu pemilikan dalam bentuk khusus, yaitu penerima dapat
melakukan tindakan hukum terhadapnya, tetapii tidak dapat menikmatinya.
Tindakan hukum yang dapat dilakukan, misalnya menjualnnya, menghibahkannya,
atau lainnya. Bila seseorang menjual suatu benda yang diperolenhya melalui
suatu akad fasid yang kemmudian dilaksanaka, maka pembeli ini memiliki hak
milik mutlak dan akadnya sah. Tetapi tidak dijelaskan apakah perolehan ini
disyaratkan dengan adanya iktikad baik, yaitu ia tidak mengetahui ahwa baarang
yang dibelinya diperoleh oleh penjual dengan akad fasid. Penjual tidak dapat
membatalkan akadnya dengan alasan ia memperoleh barang yng dijualnya dengan
akad fasid.
3.
Akad
maukuf
Sesugguhnya
status maukuf dalam jenjang keabsahan dan kebatalan akad adalah persoalan
controversial dikalangan ahli-ahi hukum islam. Ahli-ahli hukum mazhab hanafi,
maliki, satu riwayat dalam mazhab hambali dan menurut kaul kadim imam
asy-syafi’I, akad maukuf dikategorikan kedalam akad yang sah. Sedngkan menurut
satu riwayat lain dalam mazhab hambali dan kaul jaded asy-syafi’I, akad maukuf
terasuk kategori akad yag tidak sah. Bagi mereka, kewenangan atas objek dan
atas tindakan yang dilakukan adalah syarat terbentuknya akad, bukan syarat
keabshan, sehingga apabila syarat ini tidak dipenuhi akad menjadi batal.
Sebab kemaukufan aka dada dua, yaitu (1)
tidak adanya kewenangan yang cukup atas tindakan hukum yang dilkukan. Dengan
kata lain kekurangan kecakapan; dan (2) tidak adanya kewenangan yang cukup atas
objek akad karena adanya hak orang lain pada objek tersebut.
Tidak adanya kewenangan cukup atas
objekdan adanya hak orang lain terkait dengan objek akad tejadi dalam beberapa
bentuk. Di antara yang penting adalah bahwa pelaku tindakan tidak mempunyai hak
milik atas objek yang karenanya ia melakukan tindakan hukum; atau tidak
mendapat pemberian kuasa (perwakilan) dari pemiliknya; atau mendapat pemberian
kuasa (perwakilan), namun tindakannya melampaui pemberian kuasa yang diberikan
kepadanya.
4.
Akad
nafiz gair lazim
Akad
nafiz artinya adalah akad yang sudah dapat dibelakuakan atau dilaksanakan
akibat hukumnya. Akad ini adalah lawan dari akad maukuf yang akibat hukummnya
terhenti dan belum dapat dilaksanakan karena para pihak yang membuatnya tidak
memenuhi salah satu syarat dalam berlakunya akibat hukum secara langsung, yaitu
memiliki kewenangan atas tindakan dan atas objek akad, sebagaimana telah
dikemukakan terdahulu. Apabila kedua syarat ini telah dipenuhi, maka akadnya
menjadi akad nafiz.
Namun disisi lain, meskipun para pihak
telah memnuhi dua syarat tersebut sehingga akadnya telah nafiz, masih ada
kemungkinan bahwa akad tersebut belum mengikat secara penuh oleh karena
masing-masing pihak atau salah satu pihak mempunyai apa yang disebut dengan
hak-hak khiyar atau memang karena sifat asli dari akad itu memang tidak
mengikat penuh. Akad yang tidak mengikat penuh itu disebut gairu lazim dalam
arti masing-masing pihak atau salah satu mempunyai hak untuk mem-fasakh
(membatalkan) akad secara sepihak karena alasan yang disebutkan diatas. Akad
yang telah memenuhi dua syarat dapat dilaksanakannya segera akibat hukum akad,
namun akad itu terbuka untuk difaasakh secara sepihak karena masing-massing
atau salah satu pihak mempunyai hak khiyar tertentu atau karena memang sifat
asli akad itu demikian disebut akad nafiz gair lazim.
Pada asasnya suatu perjanjian apabila
telah dibuat secara sah dan telah memenuhi syarat berlakunya akibat hukum akad,
maka akad tersebut mengikat secara penuh dan tidak boleh salah salah satu pihak
membatalkannya secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Akan tetapi
terdapat beberapa macam akad yang memang sifat aslinya terbuka untuk di fasakh
secara sepihak oleh salah satu pihak tanpa pesetujuan pihak lain. Disamping
itu, terdapat pula akad yang alah satu pihak mempunyai hak khiyar (opsi) untuk
meneruskan atau mem-fasakh akadnya, baik karena hak opsi (kiyar) itu dimasukkan
dalam perjanjian sebagai bagian dari klausulnya, maupun karena ditetapkan
syarak.
Ada beberapa akad dalam hukum islam yang
sifat asli akad tersebut tidak mengikat, baik kedua belah pihak maupun salah
satu piihak, sehingga dapat difasakh secara sepihak tanpa persetujuan pihak
lain. Akad ini sering pula disebut akad jaiz. Termasuk akad yang sifat aslinya
tidak mengikat kedua belah pihak adalah wakalah (pemberian kuasa), syirkah
(persekutuan), akad hibah, akad wadiah (penitipan), dan akad ariah (pinjam
pakai). Termasuk akad yang hanya mengikat satu pihak dan tidak mengikat kepada
pihak lain adalah akad gadai (ar-rahn) dan akad kafalah (penanggungan).[6]
Dalam akad-akad ini salah satu pihak dapat
saja mem-fasakh akad tanpa persetujuan pihak lain. Dalam akad penitipan atau
pinjam pakai, misalnya, penitip atau pemberi pinjaman bisa saja menarik kembali
barang yang dititipkannya atau dipinjamkannya tanpa persetujuan penerim a
penitipan atau peminjam. Begitupula sebaliknya penerima titipan atau peminjam
dapat mengembalikan barang titipan atau pinjaman tanpa persetujuan penitip atau
pemberi pinjaman. Sama halnya dengan ini
adalah akad wakalah (pemberian kuasa) tanpa imbalan dimana penerima kuasa
(wakil) dapat mengakhiri akadnya tanpa persetujuan pemberi kuasa dengan syarat
memberitahukan terlebih dahulu kepada pemberi kuasa. Demikian halnya dengan
akad syirkah dengan berbagai macamnya.[7]
Akad gadai hanya mengikat kepada penggadai, dalam arti ia tidak dapat
mem-fasakh akad secara sepihak tanpa persetujuan pihak penerima gadai. Akan
tetapi akad gadai tidak mengikata kepada penerima gadai. Dengan demikian, ia
dapat mem-fasakh gadai secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Akad
kafalah (penanggungan) hanya mengikat kepada penanggung dimana ia tidak dapat
memfasakh akad tersebut secara sepihak. Namun kreditor dapat mem-fasakh akad
tersebut secara sepihak karena akad tersebut tidak mengikat baginya. Hanya saja
perlu dicatat menyangkut akad jaiz (akad nafiz gairu lazim) bahwa fasakh
sepihak hnaya dapat dilakukan sepanjang fasakh tersebut tidak membawa kerugian
terhadap pihak mitra akad atau pihak ketiga atau dapat dilakukan sepanjang
kerugian itu dapat diberi pengganti. Dalam hal ini kaidah 60 dalam qawa’id ibn
rajab menegaskan, “fasakh dalam akad jaiz apabila mengakibatkan kerugian kepada
salah satu pihak atau pihak ketiga tidak dibolehkan, kecuali apabila kerugian
dapat diberi pegganti.”[8]
MAKALAH
HUKUM
PERIKATAN ISLAM
SUMBER-SUMBER
HUKUM DAN HAPUSNYA PERIKATAN ISLAM
KELOMPOK
II :
ZUL FADLI :
152 105 005
DIANAWATI :
152 105 006
ZULKIFLI :
152 105 0
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
TP : 2011/ 2012
[1]
Teks atau nash zhanni adalah kata atau kalimat yang menunjukkan arti atau
pengertian lebih dari satu, masih mungkin ditafsirkan oleh orang yang berbeda dengan
makna yang berbeda pula. Lihat mohammad daud ali, Ibid., hlm. 81.
[2]
Lihat keputusan dewan syari’ah national No. 01 tahun 2000 tentang pedoman dasar
dewan syariah nasional majelis ulama Indonesia (PD DSN-MUI)
[3]
Lihat Mas’adi, Op. cit.,hlm. 114-117
[4]
Ibn nujaim, al-asybah wa an-nazhai’ir (Beirut: dar al-kutub al-‘ilmiyah, 1985),
hal. 337
[5]
Ibn nujaim, loc. Cit.
[6]
As-sanhuri,mashadir al-Haqq fi al-Fiqh al-islami (Beirut: al-Majma’ al-‘ilmi
al-Arabi al-islami, t.t ), IV:198
[7]
Muhammad siraj, nazariyyah al-‘aqd fi al-fiqh al-islami (kairo: sa’ad samak li
an-naskh wa ath-Thab’, t.t ), hlm. 253
[8] Ibn
Rajab, al-Qawa’id (Makkah: maktabah nizar mushthafa al-Baz, 1999), hlm. 121
2 comments:
makasii kakak buat datanya..
Sama-sama Bety Sadewo,,,,
trims dah mengunjungi blog saya,,,
Post a Comment