KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis hanturkan kepada Allah atas segala
rahmat-Nya yang telah memberikan kesempatan waktu bagi penulis dalam menyusun
tugas kelompok ini. Dan shalawat beserta salam, penulis hanturkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan inspirasi kepada penulis akan
arti dan penerapan bidang-bidang Fiqh Siyasah.
Makalah ini ditulis penulis sebagai tugas mata kuliah
Fiqh Siyasah. Dan tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui konsep ahl
al-hall wal ’aqd, ummah, ra’iyyah, dan bai’ah. Tiada Manusia yang Sempurna,
begitupun dengan makalah ini. Masih ada beberapa kesalahan yang ada tanpa
disadari oleh penulis, oleh karena itu penulis harapkan akan adanya kritik dan
saran atas makalah ini yang membangun. Dan dari penulis sendiri kami ucapkan
terima kasih, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
MATARAM, ___ April 2013
PENULIS
BAB I
PEMBAHASAN
BAI’AT
Bai’at
(mubaya’ah): pengakuan mematuhi dan menaati imam yang dilakukan oleh ahlul
halli wal ‘aqdi dan dilaksanakan sesudah permusyawaratan.[1] Diaud-din
Rais mengutip pendapat Ibnu Khaldun tentang bai’at ini, dan menjelaskan :
adalah mereka apabila membai’atkan seorang amir dan mengikatkan perjanjian. Hal
itu serupa dengan perbuatan si penjual dan si pembeli. Karena itu dinamakanlah
dia bai’at.[2]
Informasi dari
al-Quran yg berkaitan dengan bai’at ada dalam surat al-Fath: 10, al-Taubah: 111
dan surat al-Mumtahanah: 12.
Dalam sejarah
ada Bai’at ‘Aqabah 1 tahun 621 M di bukit ‘aqabah. Bai’at (janji setia) ini
antara Nabi dengan 12 orang suku Khazraj dan Aus dari Yatsrib (Madinah) yang
membai’at kepada Nabi untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, berzina,
membunuh anak2, menuduh dengan tuduhan palsu, tidak mendurhakai Nabi didalam
kebaikan.
Bai’at ‘Aqabah
II pada tahun 622 M. antara Nabi dengan 75 orang Yatsrib (2 diantaranya
wanita), disebut juga bai’at kubra . Mereka berbai’at untuk taat dan selalu
mengikuti Nabi baik pada waktu kesulitan maupun dalam kemudahan, tetap
berbicara benar, tidak takut celaan orang didalam membela kalimah Allah.
Bai’at pertama
terhadap khalifah terjadi di Tsaqifah balai pertemuan Bani Sa’idah, Madinah.
Dalam pertemuan antara sekelompok Ansar dan Muhajirin itu, Abu Bakar berkata:
“Saya nasihatkan kalian untuk membai’at salah seorang, yaitu Abu Ubaidah bin
Jarrah atau Umar bin Khattab”. Kemudian Umar berkata “Demi Allah, akan
terjadikah itu? Padahal Abu Bakar lah yang paling berhak memegang jabatan ini,
beliau lebih dulu jadi sahabat Rasul, beliau Muhajirin yang paling utama,
pengganti Rasul dalam imam shalat…ulurkan tangan! saya bai’at Abu Bakar”.
Ketika Utsman
bin Affan dia dipilih jadi
khalifah, yang mula2 membai’at adalah Abdurrahman bin Auf yang diikuti oleh
jama’ah yang kemudian diikuti oleh manusia yang ada di masjid.[3]
Dari uraian di
atas tampak bahwa yang membai’at itu adalah ahlul hal wal ‘aqdi dan kemudian
dapat diikuti oleh rakyat pada umumnya seperti pada kasus pembai’atan Utsman.
Akan tetapi, pada umumnya pembai’atan itu dianggap sah apabila dilakukan oleh
anggota-anggota ahlul hal wal ‘aqdi sebagai wakil rakyat, sebagaimana terjadi
pada kasus Abu Bakar.
BAB II
Ummah dan Ro’iyyah
Rakyat
terdiri dari muslim dan nonmuslim, yang non muslim ini ada yang disebut kafir
dzimi ada pula yang disebut musta’min.
Kafir
dzimi adalah warga nonmuslim yang menetap selamanya, serta dihormati tidak
boleh diganggu jiwanya, kehormatannya, dan hartanya, sedang seorang musta’min
adalah orang asing yang menetap untuk sementara, dan juga harus dihormati
jiwanya, kehormatannya, dan hartanya. Kafir dzimi memiliki hak-hak kemanusiaan,
hak-hak sipil, dan hak-hak politik. Sedangkan musta’min tidak memiliki hak-hak
politik, karena mereka itu orang asing. Persamaannya, kedua-duanya adalah
nonmuslim.
Adapun
mengenai hak-hak rakyat, Abu A’la al-maududi menyebutkan bahwa hak-hak rakyat
itu adalah:
1. Perlindungan
terhadap hidupnya, hartanya dan kehormatannya.
2. Perlindungan
terhadap kebebasan pribadi.
3. kebebasan
menyatakan pendapat dan keyakinan.
Tugas-tugas
dan hak-hak rakyat ini rinciannya dapat digariskan oleh ahl al-hall wa al-‘aqd
sebagai lembaga kekuasaan tertinggi. Demikian pula halnya dengan hak dan
kewajiban imam. Sudah tentu rincian tersebut dalam batas-batas untuk
kemaslahatan bersama.
KESIMPULAN :
Bai’ah
merupakan hal yang sangat penting karena merupakan kontrak sosial antara rakyat
yang diwakili oleh Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd dengan seorang amir, dimana rakyat
berjanji mematuhi dan menaati imam selama imam tersebut tidak ma’siat dan
zhalim.
Ummah yang
patuh dan taat terhadap imam harus dilindungi hak-haknya tanpa melihat status
sosial maupun golongan ummah tersebut.
Daftar Pustaka
:
Ø A.
Djazuli, Fiqih Siyasah, Jakarta: Prenada Media Group cet.II, 2003
Ø Pulungan
J. Suyuthi,Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada cet I, 1994
[1]
Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Asas-asas
Hukum Tata Negara menurut Syariat lslam, Matahari Masa Yogyakarta, 1969,
hlm. 66.
[2]
Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu
Kenegaraan Dalam Fikih Islam, 1971, hlm, 65.
[3]
Ibnu Qutaibah Adainuri, Al Imamah wa Al
Siyasah,Muassasah al-Halabi, Qahairah, Mesir, 1967, juz 1, hlm. 16.
[4]
Abul A’la al-Maududi, Op. cit., hlm 266
0 comments:
Post a Comment