USHUL FIQIH
“ AL-‘URF ”
OLEH :
ZUL FADLI
NIM : 152 105 005
JURUSAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
TP:2011/2012
PENDAHULUAN
Konsep
bahwa Islam sebagai agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu
yang harus diimani, juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi
masyarakat tertentu. Kearifan lokal (hukum) Islam tersebut ditunjukkan dengan
beberapa ketentuan hukum dalam al-Qur’an yang merupakan pelestarian
terhadap tradisi masyarakat pra-Islam.
S. Waqar
Ahmed Husaini mengemukakan, Islam sangat memperhatikan tradisi dan konvensi masyarakat
untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum Islam dengan penyempurnaan dan
batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan oleh
Nabi Muhammad saw. Kebijakan-kebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum yang
tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan kearifan beliau terhadap
tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat.
Sehingga sangatlah penting bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan
salah satu metode Ushl Fiqh untuk meng-Istimbath setiap
permasalahan dalam kehidupan ini.
PEMBAHASAN
‘URF
A.
PENGERTIAN ‘URF
Secara bahasa “Al-adatu”
terambil dari kata “al-audu” dan “al-muaawadatu” yang berarti
“pengulangan”, Oleh karena itu, secara bahasa al-’adah berarti perbuatan
atau ucapan serta lainnya yang dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk
dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan.
Menurut jumhur
ulama, batasan minimal sesuatu itu bisa dikatakan sebagai sebuah ‘adah
adalah kalau dilakukan selama tiga kali secara berurutan. Jadi arti kaidah ini
secara bahasa adalah sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran untuk
memutuskan perkara perselisisihan antar manusia.
B.
Perbedaan antara Al-‘Adah dengan
Al-‘Urf
Kata ‘urf dalam
bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan ‘adat kebiasaan namun para ulama
membahas kedua kata ini dengan panjang lebar, ringkasnya: AI-’Urf adalah
sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia.
Meskipun arti
kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat dengan jeli, sebenarnya
keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung akan berbeda arti namun bila
berpisah maka artinya sama.
Dari keterangan
di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah para ulama
adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan urf itu bisa dijadikan
sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash
syar’i atau lafadh shorih (tegas) yang bertentangan dengannya.[1]
Tabel
perbandingan antara ’Urf dengan ’Adah
’Urf
|
’Adah
|
Adat memiliki
makna yang lebih sempit
|
Adat memiliki
cakupan makna yang lebih luas
|
Terdiri dari ‘urf
shahih dan fasid
|
Adat tanpa
melihat apakah baik atau buruk
|
‘Urf merupakan
kebiasaan orang banyak
|
Adat mencakup
kebiasaan pribadi
|
Adat juga
muncul dari sebab alami
|
|
Adat juga
bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak
|
C.
DALIL KAIDAH
Lafadl al-‘adah
tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, namun yang terdapat
pada keduanya adalah lafadh al-‘urf dan al-ma’ruf. Ayat dan
hadits inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama kita untuk kaidah ini. Diantaranya
ialah:
1. Dalil
aI-Qur’an, Firman Allah Ta’ala :
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$#
Jadilah
Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh. (QS Al-Araaf[7]:199).
Juga
firman-Nya:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/
diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf. (QS.Al-Baqarah[2]: 180).
Dan beberapa
ayat lain yang menyebut lafadh ’urf atau ma’ruf yang mencapai 37
ayat. Maksud dan ma’ruf di semua ayat ini adalah dengan cara baik yang
diterima oleh akal sehat dan kebiasaan manusia yang berlaku.
2. Dalil dari
as-Sunnah:
Dalam salah
satu Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah ibn Mas’ud disebutkan, “Apa
yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah pun baik”. Hadis
tersebut oleh para ahli ushul fiqh dipahami (dijadikan dasar) bahwa
tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at
Islam dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fiqh).
D.
QAWAID FIQHIYAH YANG BERKAITAN
Berkaitan
dengan ’Urf, dalam qa’idah fiqhiyah disebutkan:
“Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan)
hukum”
Qaidah yang
lain:
“Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan (hukum)
dengan dasar nash”.
Dengan kaidah
tersebut, hukum Islam dapat dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan tradisi (adat)
yang sudah berjalan. Sifat al-Qur’an dan al-Sunnah yang hanya
memberikan prinsip-prinsip dasar dan karakter keuniversalan hukum Islam (sebagaimana
contoh ayat di atas) dapat dijabarkan kaidah ini dengan melihat kondisi lokal
dengan masing-masing daerah. Lebih jauh, dengan kaidah tersebut, dalam bidang
perdagangan (perekonomian), qa’idah fiqhiyah memberikan keluasaan untuk
menciptakan berbagai macam bentuk transaksi atau kerja sama, yaitu dengan
kaidah:
“Sesuatu yang sudah terkenal (menjadi tradisi) di kalangan pedagang,
seperti syarat yang berlaku diantara mereka”
Kaidah-kaidah
tersebut memberikan peluang pada kita untuk menetapkan ketentuan-ketentuan
hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya. Bahkan
meneliti dan memperhatikan adat (‘urf) untuk dijadikan dasar
pertimbangan dalam menetapkan suatu ketentuan hukum merupakan suatu keharusan.[2]
E.
KLASIFIKASI
Klasifikasi
‘Urf ditinjau berdasarkan ruang lingkupnya, yaitu:
- ‘Urf ‘am (umum).
Yaitu ‘urf yang berlaku di seluruh negeri muslim, sejak zaman dahulu
sampai saat ini. Para ulama sepakat bawa ‘urf umum ini bisa
dijadikan sandaran hukum.
- ‘Urf khosh
(khusus). Yaitu sebuah ‘urf yang hanya
berlaku di sebuah daerah dan tidak berlaku pada daerah lainnya. ‘Urf
ini diperselisihkan oleh para ulama apakah boleh dijadikan sandaran hukum
ataukah tidak.
Contoh: Di sebuah daerah tertentu, ada seseorang menyuruh
seorang makelar untuk menawarkan tanahnya pada pembeli, dan ‘urf yang
berlaku di daerah tersebut bahwa nanti kalau tanah laku terjual, makelar
tersebut mendapatkan 2% dari harga tanah yang ditanggung bendua antara penjual
dengan pembeli; maka inilah yang berlaku, tidak boleh bagi penjual maupun
pembeli menolaknya kecuali kalau ada perjanjian sebelumnya.
Klasifikasi ‘Urf
ditinjau berdasarkan objeknya, yaitu:
- ‘Urf
Lafzhy (ucapan). Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat
tententu dipahami bersama dengan makna tertentu, bukan makna lainnya. ‘Urf
ini kalau berlaku umum di seluruh negeni muslim ataupun beberapa daerah
saja maka bisa dijadikan sandaran hukum.
Misalnya:
a. Ada seseorang
berkata: “Demi Alloh, saya hari ini tidak akan makan daging.” Ternyata
kemudian dia maka ikan, maka orang tersebut tidak dianggap melanggar sumpah,
karena kata ”daging” dalam kebiasaan masyarakat kita tidak dimaksudkan
kecuali untuk daging binatang darat seperti kambing, sapi, dan lainnya.
b. Ada seorang
penjual berkata: “Saya jual kitab ini seharga lima puluh ribu.” Maka
yang dimaksud adalah lima puluh ribu rupiah, bukan dolar ataupun riyal.
- ‘Urf Amali
(perbuatan). Yaitu Sebuah penbuatan yang sudah
menjadi ‘urf dan kebiasaan masyanakat tertentu. Ini juga
bisa dijadikan sandaran hukum meskipun tidak sekuat ‘urf lafzhy.
Misalnya:
a. Dalam
masyarakat tertentu ada ’urf orang bekerja dalam sepekan mendapat libur
satu hari, pada hari Jum’at. Lalu kalau seorang yang melamar pekerjaan menjadi
tukang jaga toko dan kesepakatan dibayar setiap bulan sebesar Rp.500.000, maka
pekerja tersebut berhak berlibur setiap hari Jum’at dan tetap mendapatkan gaji
tersebut.[3]
Klasifikasi ‘Urf
ditinjau berdasarkan diterima atau tidaknya, yaitu:
- ‘Urf
shahih ialah ‘urf yang baik dan dapat diterima
karena tidak bertentangan dengan syara’.
Misalnya:
a. Seperti
mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah
menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’.
- ‘Urf
bathil ialah ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat
diterima, karena bertentangan dengan syara’.
Misalnya:
a.
Seperti kebiasaan mengadakan sesajian
untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak
dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama
Islam.[4]
F.
SYARAT-SYARAT ‘URF
Tidak semua ‘urf
bisa dijadikan sandaran hukum. Akan tetapi, harus memenuhi beberapa syarat,
yaitu:
- ’Urf itu berlaku umum. Artinya, ‘urf itu dipahami oleh semua lapisan
masyarakat, baik di semua daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh karena
itu, kalau hanya merupakan ‘urf orang-orang
tententu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum.
- Tidak
bertentangan dengan nash syar’i. Yaitu ‘Urf yang selaras dengan nash syar’i. ‘Urf
ini harus dikerjakan, namun bukan karena dia itu ’urf, akan
tetapi karena dalil tersebut.
Misalnya:
‘Urf di masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan tempat
tinggal untuk istrinya. ‘Urf semacam ini berlaku dan harus dikerjakan,
karena Alloh Azza wa Jalla berfirman:
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr wur £`èdr!$Òè? (#qà)ÍhÒçGÏ9 £`Íkön=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`Íkön=tã 4Ó®Lym z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq 4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( (#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷| $yès? ßìÅÊ÷äI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé&
tempatkanlah mereka (para isteri) di
mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang
sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya. (QS. athTholaq [65]:6).
- ‘Urf itu sudah
berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘urf baru yang barusan terjadi.
Misalnya:
Maknanya kalau ada seseorang yang mengatakan demi Allah,
saya tidak akan makan daging selamanya. Dan saat dia mengucapkan kata tersebut
yang dimaksud dengan daging adalah daging kambing dan sapi; lalu lima tahun
kemudian ‘urf masyarakat berubah bahwa maksud daging adalah semua daging
termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut makan daging ikan, maka orang
tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya karena sebuah lafadh tidak
didasarkan pada ‘urf yang muncul belakangan.
- Tidak
berbenturan dengan tashrih. Jika sebuah ‘urf berbenturan dengan tashrih (ketegasan
seseorang dalam sebuah masalah), maka ‘urf itu tidak berlaku.
Misalnya:
Kalau seseorang bekerja di sebuah kantor dengan gaji
bulanan Rp. 500.000,- tapi pemilik kantor tersebut mengatakan bahwa gaji ini
kalau masuk setiap hari termasuk hari Ahad dan hari libur, maka wajib bagi
pekerja tersebut untuk masuk Setiap hari maskipun ‘urf masyarakat
memberlakukan hari Ahad libur.
- ‘Urf tidak
berlaku atas sesuatu yang telah disepakati
Hal ini sangatlah penting karena bila ada ’urf yang
bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama (dalam hal ini ’Ijma)
maka ’urf menjadi tidak berlaku, terlebih bila ’urf nya
bertentangan dengan dalil syar’i.[5]
G.
PERBANDINGAN DENGAN METODE LAIN
’Urf lebih kuat
dari qiyas karena ’urf adalah dalil yang berlaku umum dan bukti
bahwa sesuatu memang dibutuhkan (Ibn Abidin). Contoh: sucinya kotoran merpati
sesuai ’urf yang terjadi pada mesjid2 bahkan masjid al-haram. Ini tidak
bisa diqiyaskan pada korotan ayam.
Perbedaan ’Urf dengan ’Ijma
Tabel 2.
Tabel perbandingan antara ’Ijma dengan ’Urf
’Ijma
|
’Urf
|
Dasarnya adalah kesepakatan para mujtahid atas suatu
hukum syar’i setelah Nabi SAW wafat
|
Tindakan mayoritas individu baik ’awam maupun ulama dan
tidak harus dalam bentuk kesepakatan
|
Harus berdasarkan dalil Syara
|
Tidak harus berdasarkan dalil Syara
|
’Ijma ada yang sampai kepada kita dan ada
yang tidak
|
Relatif sama dengan sejarah
|
Merupakan hujjah yang mesti dilakukan
|
Tidak menjadi hujjah yang harus dilakukan karena ’urf
ada yang shahih dan ada yang bathil
|
H.
PANDANGAN ULAMA
Berikut adalah praktek-praktek ’Urf dalam
masing-masing mahzab:
- Fiqh
Hanafy
a. Dalam akad jual
beli. Seperti standar harga, jual beli rumah yang meliputi bangunanya meskipun
tidak disebutkan.
b. Bolehnya jual
beli buah yang masih dipohon karena ’urf.
c. Bolehnya
mengolah lahan pertanian orang lain tanpa izin jika di daerah tersebut ada
kebiasaan bahwa lehan pertanian digarap oleh orang lain, maka pemiliknya bisa
meminta bagian.
d. Bolehnya
mudharib mengelola harta shahibul maal dalam segala hal menjadi kebiasaan para
pedagang.
e. Menyewa rumah
meskipun tidak dijelaskan tujuan penggunaaannya
- Fiqh
Maliki
a. Bolehnya jual
beli barang dengan menunjukkan sample
b. Pembagian
nisbah antara mudharib dan sahibul maal berdasarkan ’urf jika terjadi
perselisihan
- Fiqh
Syafi’i
a. Batasan
penyimpanan barang yang dianggap pencurian yang wajib potong tangan
b. Akad sewa atas
alat transportasi
c. Akad sewa atas
ternak
d. Akad istishna
- Fiqh
Hanbali
a. Jual beli mu’thah
Para ulama sepakat bahwa ‘urf shahih dapat
dijadikan dasar hujjah. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa
amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah
menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah.
Para ulama
telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus memelihara ’urf
shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai hukum. Para ulama
juga menyepakati bahwa ’urf fasid harus dijauhkan dari kaidah-kaidah
pengambilan dan penetapan hukum. ’Urf fasid dalam keadaan darurat pada
lapangan muamalah tidaklah otomatis membolehkannya. Keadaan darurat tersebut
dapat ditoleransi hanya apabila benar-benar darurat dan dalam keadaan sangat
dibutuhkan.
Imam
Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu
kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih
berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul
jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf.
Tentu saja ‘urf
fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.[6]
Abdul Wahab
Khalaf berpandangan bahwa suatu hukum yang bersandar pada ’Urf akan
fleksibel terhadap waktu dan tempat, karena Islam memberikan prinsip sebagai
berikut:
“Suatu
ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu, tempat, dan
siatuasi (kondisi)”.
Dengan
demikian, memperhatikan waktu dan tempat masyarakat yang akan diberi beban
hukum sangat penting. Prinsip yang sama dikemukakan dalam kaidah sebagai
berikut:
“Tidak dapat
diingkari adanya perubahan karena berubahnya waktu (zaman)”.
Dari prinsip
ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan sesuai dengan
perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu ketentuan hukum
yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami perubahan karena
perubahan waktu, tempat keadaan, dan adat.
Jumhur ulama
tidak membolehkan ’Urf Khosh. Sedangkan sebagian ulama Hanafiyyah dan
Syafi’iyyah membolehkannya, dan inilah pendapat yang shohih karena kalau
dalam sebuah negeri terdapat ‘urf tertentu maka akad dan mu’amalah yang
terjadi padanya akan mengikuti ‘urf tersebut. [7]
I.
CONTOH PRAKTEK ‘URF
Berikut adalah
akad-akad saat ini yang dapat diterima dengan ’Urf, yaitu
1. Konsep Aqilah
dalam asuransi
2. Jual beli
barang elektronik dengan akad garansi
3. Dalam sewa
menyewa rumah. Biaya kerusakan yang kecil-kecil yang seharusnya menjadi
tanggung jawab pemilik rumah, menjadi tanggung jawab penyewa.[8]
KESIMPULAN
Karakteristik
hukum Islam adalah syumul (universal) dan waqiyah (kontekstual)
karena dalam sejarah perkembangan (penetapan)nya sangat memperhatikan tradisi,
kondisi (sosiokultural), dan tempat masyarakat sebagai objek (khitab), dan
sekaligus subjek (pelaku, pelaksana) hukum. Perjalanan selanjutnya, para Imam
Mujtahid dalam menerapkan atau menetapkan suatu ketentuan hukum (fiqh)
juga tidak mengesampingkan perhatiannya terhadap tradisi, kondisi, dan kultural
setempat.
Tradisi,
kondisi (kultur sosial), dan tempat merupakan faktor-faktor yang tidak dapat
dipisahkan dari manusia (masyarakat). Oleh karenanya, perhatian dan respon
terhadap tiga unsur tersebut merupakan keniscayaan.
Tujuan utama
syari’at Islam (termasuk didalamnya aspek hukum) untuk kemaslahatan manusia –
sebagaimana di kemukakan as-Syatibi– akan teralisir dengan konsep tersebut.
Pada gilirannya syari’at (hukum) Islam dapat akrab, membumi, dan diterima di
tengah-tengah kehidupan masyarakat yang plural, tanpa harus meninggalkan
prinsip-prinsip dasarnya.
Sehingga dengan
metode al-’urf ini, sangat diharapkan berbagai macam problematika
kehidupan dapat dipecahkan dengan metode ushl fiqh salah satunya al-’urf,
yang mana ’urf dapat memberikan penjelasan lebih rinci tanpa melanggar
al-Quran dan as-Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Yamani, Abu Bakar al-Ahdal. TT. al-Fara’id
al-Bahiyyah. Semarang: al-Munawar.
Bisri, M. Adib. 1977. Risalah Qawa’id Fiqh. Kudus:
Menara Kudus.
Fatah, Syekh Abdul. 1990. Tarikh al-Tasyri al-Islam.
Kairo: Dar al-Ittihad al’Arabi.
Haidar, Ali. TT. Darru al-Hukkam Syarhu Majallah
al-Ahkam. Beirut: Maktabah al-Nahdhah.
Husaini, S. Waqar Ahmad. 1983. Sistem
Pembinaan Masyarakat Islam (Terj.). Bandung: Pustaka.
Khalaf, Abdul Wahab. Ilm Ushul Fiqh. Damaskus: Dar
el-Qalam, 1398 H/1978 M, cet. XII
Madjid, Nurcholish. 1995. “Pergeseran Pengertian Sunnah
ke Hadis: Implikasinya dalam Pengembangan Syari’ah”, dalam Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.
Syarifuddin,
Amir. 1990. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos.
Djazuli, Prof,H.A. Ilmu
Fiqih Penggalian, Pertimbangan dan Penerapan Hukum Islam, PT.Kencana : Jakarta.
[8] Madjid,
Nurcholish. 1995. “Pergeseran Pengertian Sunnah ke Hadis: Implikasinya dalam
Pengembangan Syari’ah”, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah.
0 comments:
Post a Comment