Wednesday, May 9, 2012

,

FILSAFAT EKONOMI ISLAM


FILSAFAT EKONOMI ISLAM
Filsafat ekonomi, merupakan dasar dari sebuah sistem ekonomi yang dibangun. Berdasarkan filsafat ekonomi yang ada dapat diturunkan tujuan-tujuan yang  hendak dicapai, misalnya tujuan kegiatan ekonomi konsumsi, produksi, distribusi, pembangunan ekonomi, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dsb.
Filsafat ekonomi Islam didasarkan pada konsep triangle: yakni filsafat Tuhan, manusia dan alam. Kunci filsafat ekonomi Islam terletak pada manusia dengan Tuhan, alam dan manusia lainnya. Dimensi filsafat ekonomi Islam inilah yang membedakan ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya kapitalisme dan sosialisme. Filsafat ekonomi yang Islami, memiliki paradigma yang relevan dengan nilai-nilai logis, etis dan estetis yang Islami yang kemudian difungsionalkan ke tengah tingkah laku ekonomi manusia. Dari filsafat ekonomi ini diturunkan juga nilai-nilai instrumental sebagai perangkat peraturan  permainan (rule of game) suatu kegiatan.
Sebagai disebut di atas, bahwa salah satu poin yang menjadi dasar perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah pada falsafahnya, yang terdiri dari nilai-nilai dan tujuan.  Dalam ekonomi Islam, nilai-nilai ekonomi bersumber Alquran dan hadits berupa prinsip-prinsip universal. Di saat sistem ekonomi lain hanya terfokus pada hukum dan sebab akibat dari suatu kegiatan ekonomi, Islam lebih jauh membahas nilai-nilai  dan etika yang terkandung dalam setiap kegiatan ekonomi tersebut. Nilai-nilai inilah yang selalu mendasari setiap kegiatan ekonomi Islam.

Bangunan Ekonomi Islam didasarkan pada   fondasi utama yaitu  tauhid. Fondasi berikutnya, adalah syariah dan akhlak. Pengamalan syariah dan akhlak merupakan refleksi dari tauhid. Landasan tauhid yang tidak kokoh akan mengakibatkan implementasi syariah dan akhlak terganggu.
Dasar syariah membimbing aktivitas ekonomi, sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah syariah. Sedangkan akhlak membimbing aktivitas  ekonomi manusia agar senantiasa mengedepankan moralitas dan etika untuk mencapai tujuan. Akhlah yang terpancar dari iman akan mebnentuk integritas yang membentuk good corporate governance dan market diciplin yang baik.

Dari  fondasi ini muncul 10 prinsip derivatif sebagai pilar ekonomi Islam  Pembahasan komperhensif mengenai prinsip-prinsip ini selanjutnya akan dijelaskan secara lebih detail di bawah ini:
1. Tauhid
Tauhid merupakan fondasi utama seluruh ajaran Islam. Dengan demikian Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktivitas umat Islam, baik di bidang ekonomi, politik, sosial maupun  budaya. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa tauhid merupakan filsafat fundamental dari ekonomi Islam. (39 : 38 ).
Hakikat tauhid juga dapat berarti penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi, baik menyangkut ibadah maupun muamalah.  Sehingga semua aktifitas yang dilakukan adalah dalam kerangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai kehendak Allah.
Dalam konteks ini Ismail Al- Faruqi mengatakan,
“ it was al- tauhid as the first principle of the economic order that created the first “ welfare state” and Islam that institutionalized that first socialist and did more for social justice as well as for the rehabilitation from them to be described in terms of the ideals of contemporary western societies”.

{Tauhid sebagai prinsip pertama tata ekonomi yang menciptakan “negara sejahtera” pertama, dan Islamlah yang melembagakan sosialis pertama dan  melakukan lebih banyak  keadilan sosial. Islam juga yang pertama merehabilitasi (martabat) manusia. Pengertian (konsep) yang ideal ini tidak ditemukan dalam masyarakat Barat masa kini}.

Landasan filosofis inilah yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme dan sosialisme, karena keduanya didasarkan pada filsafat sekularisme dan materialisme. Dalam konteks ekonomi, tauhid berimplikasi adanya kemestian setiap kegiatan ekonomi untuk bertolak dan bersumber dari ajaran Allah, dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan Allah dan akhirnya ditujukan untuk ketaqwaan kepada Allah.
Konsep tauhid yang menjadi dasar filosofis ini, mengajarkan dua ajaran utama dalam ekonomi. Pertama, Semua sumber daya yang ada di alam ini merupakan ciptaan dan milik Allah secara absolut (mutlak dan hakiki). Manusia hanya sebagai pemegang amanah (trustee) untuk mengelola sumberdaya itu dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan manusia secara adil.
Dalam mengelola sumberdaya itu manusia harus mengikuti aturan Allah dalam bentuk syariah. Firman Allah, “Kemudian kami jadikan bagi kamu syariah  dalam berbagai urusan, maka ikutilah syariah itu. Jangan ikuti hawa nafsu orang-orang yang tak mengetahui” (QS:1Al-Jatsiyah 8)
Salah satu contoh praktik ekonomi saat ini yang bertentangan dengan Tauhid adalah bunga. Bunga (interest) yang memastikan usaha harus berhasil (untung) bertentangan dengan tauhid. Firman Allah, “Seseorang tidak bisa memastikan berapa keuntungannya besok”,(Ar-Rum: 41). Padahal setiap usaha mengandung tiga kemungkinan, yaitu untung, impas atau rugi. Lebih dari itu, tingkat keuntungan itupun bisa berbeda-beda, bisa besar, sedang atau  kecil. Jadi, konsep bunga benar-benar tidak sesuai dengan syariah, karena bertentangan dengan prinsip tauhid.
Kedua, Allah menyediakan sumber daya alam sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia yang berperan sebagai khalifah,  dapat  memanfaatkan sumber daya yang banyak itu untuk kebutuhan hidupnya. Dalam perspektif teologi Islam, semua sumber daya yang ada, merupakan nikmat Allah yang tak terhitung ( tak terbatas ) banyaknya, sebagaimana dalam firmannya “ Dan jika kamu menghitung – hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak bisa menghitungnya”. ( QS. 14: 34 )
Berbeda dengan pandangan di atas, para ahli ekonomi konvensional selalu mengemukakan jargon bahwa sumber daya alam terbatas ( limited ). Karena itu menurut ekonomi Islam, krisis ekonomi yang dialami suatu negara, bukan karena terbatasnya sumber daya alam, melainkan karena tidak meratanya distribusi (maldistribution), sehingga terwujud ketidakadilan sumber daya ( ekonomi ).
Selanjutnya konsep tauhid ini mengajarkan bahwa segala sesuatu bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, termasuk dalam menggunakan sarana dan sumber daya harus disesuaikan dengan syariat Allah. Aktivitas ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi, ekspor – impor idealnya harus bertitik tolak dari tauhid (keilahian) dan berjalan dalam koridor syariah yang bertujuan untuk menciptakan falah dan ridha Allah.
Seorang muslim yang bekerja dalam bidang produksi misalnya, maka itu tidak lain diniatkan untuk memenuhi perintah Allah. “Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya dan hanya kepada-Nya kami dikembalikan”. (QS. Al-Mulk: 15).

Demikian pula ketika berdagang, bekerja di pabrik atau perusahaan. Semuanya dalam bingkai ibadah kepada Allah. Makin tekun seseorang bekerja, makin tinggi nilai ibadah dan takwanya kepada Allah.  Demikian gambaran seorang muslim yang menganggap bahwa pekerjaannya itu adalah ibadah kepada Allah.

Aspek tauhid dalam produksi akan tercermin dari output yang dihasilkan. Seseorang yang berproduksi dengan nama Allah, maka barang yang diproduksi akan terjaga kebaikan dan kehalalannya. Sehingga mereka tidak akan memproduksi barang-barang yang membawa mudharat seperti rokok, miras apalagi narkoba serta barang-barang haram lainnya. Termasuk juga dalam proses produksi barang-barang halal.
Tidak hanya dalam aspek produksi, aspek tauhid pun idealnya dimiliki seorang muslim yang hendak membeli, menjual, dan meminjam. Ia selalu tunduk pada aturan-aturan syariah. Ia tidak membeli atau menjual produk dan jasa-jasa haram, memakan uang haram (riba), memonopoli milik rakyat, korupsi, ataupun melakukan suap menyuap.
Ketika seorang muslim memiliki harta dan ingin menginvestasikannya agar produktif, ia tidak akan menginvestasikannya secara ribawi di lembaga-lembaga finansial yang berbasis bunga. Ia juga tidak akan menggunakannya untuk bisnis spekulasi di pasar modal atau pasar uang (money changer dan bank devisa). Seorang muslim akan menginvestasikannya berdasarkan prinsip-prinsip syariah seperti skim mudhabarah,   musyarakah, dan bentuk investasi syariah lainnya.
Prinsip konsumsi yang sesuai syariah salah satunya adalah tidak berlebih-lebihan, menjauhi  israf (mubazzir). Perilaku  tersebut dilarang dalam agama Islam. (QS.17:36) Meskipun sumber daya yang tersedia cukup banyak, manusia sebagai khalifah Allah tidak boleh boros dan serakah dalam menggunakannya. Boros adalah perbuatan setan ( QS.17:27 ) dan serakah adalah perilaku binatang. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya haruslah dilakukan secara efisien dan memikirkan kepentingan generasi mendatang serta memperhatikan lingkungan.
Seorang muslim sejati, meskipun memiliki sejumlah harta, ia tidak akan  memanfaatkannya sendiri, karena dalam Islam setiap muslim yang mendapat harta  diwajibkan untuk mendistribusikan kekayaan pribadinya itu kepada masyarakat sesuai dengan aturan syariah. Masyarakat berhak untuk menerima distribusi itu.
Kekayaan moral (akhlak) ekonomi Islam dalam kegiatan ekonomi sebagaimana yang digambarkan di atas tidak muncul dalam sistem ekonomi kapitalis yang berdasarkan mekanisme pasar. Karena menurut faham ini, ekonomi merupakan ranah yang bebas dari nilai-nilai, termasuk moral dan agama.
Prinsip Tauhid sebagaimana dijelaskan pada bagian ini memiliki hubungan yang kuat dengan prinsip-prnsip  ekonomi Islam yang lain, seperti keadilan, persamaan, distribusi dan hak milik sebagaimana dijelaskan pada bagian selanjutnya.
2. Maslahah
Prinsip kedua dalam ekonomi Islam adalah maslahah. Penempatan prinsip ini diurutan kedua karena mashlahah merupakan konsep yang paling penting dalam syariah, sesudah tawhid. Mashlahah adalah tujuan syariah Islam dan menjadi inti utama syariah Islam itu sendiri.
Secara umum, maslahah diartikan sebagai kebaikan (kesejahtraan) dunia dan akhirat. Para ahli ushul fiqh mendefinisikannya sebagai segala sesuatu yang mengandung manfaat, kegunaan, kebaikan dan menghindarkan mudharat, kerusakan dan mafsadah. (jalb al-naf’y wa daf’ al-dharar). Imam Al-Ghazali menyimpukan, maslahah adalah upaya mewujudkan dan memelihara lima kebutuhan dasar, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Al mashlahah sebagai salah satu model pendekatan dalam ijtihad menjadi sangat vital dalam pengembangan ekonomi Islam dan siyasah iqtishadiyah (kebijakan ekonomi). Mashlahah adalah tujuan yang ingin diwujudkan oleh syariat. Mashlahah merupakan esensi dari kebijakan-kebijakan syariah (siyasah syar`iyyah) dalam merespon dinamika sosial, politik, dan ekonomi. Maslahah `ammah (kemaslahatan umum) merupakan landasan muamalah, yaitu kemaslahatan yang dibingkai secara syar’i, bukan semata-mata profit motive dan material rentability sebagaimana dalam ekonomi konvensional.
Pengembangan ekonomi Islam dalam menghadapi perubahan dan kemajuan sains teknologi  yang pesat haruslah didasarkan kepada maslahah. Para ulama menyatakan ”di mana ada maslahah, maka  di situ ada syariah Allah ”. Ini berarti bahwa segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan, maka di sana ada  syariah Allah. Dengan demikian maslahah adalah konsep paling utama dalam syariat Islam.

3. Adil

Prinsip adil merupakan pilar penting dalam ekonomi Islam. Penegakkan keadilan telah ditekankan oleh Al quran sebagai misi utama para Nabi yang diutus  Allah (QS.57:25). Penegakan keadilan ini termasuk keadilan ekonomi dan penghapusan kesenjangan pendapatan. Allah yang menurunkan Islam sebagai sistem kehidupan bagi seluruh umat manusia, menekankan pentingnya adanya keadilan dalam setiap sektor, baik ekonomi, politik maupun sosial.
Komitmen Al quran tentang penegakan keadilan terlihat dari penyebutan kata keadilan di dalamnya yang mencapai lebih dari seribu kali[1], yang berarti ; kata urutan ketiga yang banyak disebut Al quran setelah kata Allah dan ‘Ilm. Bahkan, menurut Ali Syariati dua pertiga ayat-ayat Al quran berisi tentang keharusan menegakkan keadilan dan membenci kezhaliman, dengan ungkapan kata zhulm, itsm, dhalal, dll (Kahduri, The Islamic Conception of Justice (1984):10).
Tujuan keadilan sosio ekonomi dan pemerataan pendapatan / kesejahteraan, dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari filsafat moral Islam. Demikian kuatnya penekanan Islam pada penegakan keadilan sosio ekonomi. Maka, adalah sesuatu yang keliru, klaim kapitalis maupun sosialis yang menyatakan bahwa hanya mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.
Harus kita bedakan bahwa konsep kapitalis tentang keadilan sosio ekonomi dan pemerataan pendapatan, tidak didasarkan pada komitmen spiritual dan persaudaraan (ukhuwah) sesama manusia. Komitmen penegakkan keadilan sosio ekonomi lebih merupakan akibat adanya  tekanan dari kelompok.
Secara konkrit, misalnya  sistem kapitalisme yang berkaitan dengan uang dan perbankan, tidak dimaksudkan untuk mencapai tujuan–tujuan keadilan sosio ekonomi yang berdasarkan nilai spritual dan persaudaraan  universal. Sehingga, tidak aneh, apabila uang masyarakat yang ditarik oleh bank konvensional (kapitalis) dominan hanya digunakan oleh para pengusaha besar (konglomerat).
Kemanfaatan dari lembaga perbankan tidak dinikmati oleh rakyat kecil yang menjadi mayoritas penduduk sebuah negara. Fenomena ini terlihat sangat jelas terjadi di Indonesia. Akibatnya yang kaya semakin kaya dan miskin makin miskin. Ketidakadilan pun semakin lebar. Sebagaimana disebut di atas, konversi ekonomi Barat (terutama kapitalisme) kepada penegakan keadilan sosio ekonomi, merupakan tekanan-tekanan kelompok masyarakat dan tekanan-tekanan politik. Maka, untuk mewujudkan keadilan sosio-ekonomi itu mereka mengambil beberapa langkah, terutama melalui pajak dan transfer payment.
Meskipun ada usaha melalui instrumen pajak, namun langkah-langkah ini menurut Milton Friedman, terbukti tidak cukup efektif untuk mengatasi ketidakadilan, karena nyatanya pajak selalu menguntungkan pengusaha, dan para penjabat pajak bersama kelompok-kelompoknya. (Lihat, “Capitalisme and Freedom”, Chicago, The University of Chicago Press, 1962, p.172).
Konsep sosio ekonomi dalam Islam berbeda secara mendasar dengan konsep keadilan dalam kapitalisme dan sosialisme. Keadilan sosio ekonomi dalam Islam, selain didasarkan pada komitmen spritual, juga didasarkan atas konsep persaudaraan universal sesama manusia.
Al quran secara eksplisit menekankan pentingnya keadilan dan persaudaraan tersebut. Menurut M. Umer Chapra, sebuah masyarakat Islam yang ideal mesti mengaktualisasikan keduanya secara bersamaan, karena keduanya merupakan dua sisi yang tak bisa dipisahkan. Dengan demikian, kedua tujuan ini terintegrasi sangat kuat ke dalam ajaran Islam sehingga realisasinya menjadi komitmen spritual (ibadah) bagi masyarakat Islam.
Komitmen Islam yang besar pada persaudaraan dan keadilan, menuntut agar semua sumber daya yang menjadi amanat suci Tuhan, digunakan untuk mewujudkan maqashid syari’ah, yakni pemenuhan kebutuhan hidup manusia, terutama kebutuhan dasar (primer), seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Persaudaraan dan keadilan juga menuntut agar sumberdaya didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat melalui kebijakan yang adil dan instrumen zakat, infaq, sedekah, pajak, kharaj, jizyah, cukai ekspor-impor dan sebagainya.
Aspek Tauhid yang menjadi fondasi utama ekonomi Islam, mempunyai hubungan kuat dengan konsep keadilan sosio-ekonomi dan persaudaraan. Ekonomi Tauhid yang mengajarkan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak dan manusia hanyalah sebagai pemegang amanah, mempunyai konsekuensi, bahwa di dalam harta yang dimiliki setiap individu terdapat hak-hak orang lain yang harus dikeluarkan sesuai dengan perintah Allah, berupa zakat, infaq dan sedekah dan cara-cara lain guna melaksanakan pendistribusian pendapatan yang sesuai dengan konsep persaudaraan umat manusia.           Sistem keuangan dan perbankan serta kebijakan moneter, misalnya, dirancang semuanya secara organis dan terkait satu sama lain untuk memberikan sumbangan yang positif bagi pengurangan ketidakadilan dalam ekonomi dalam bentuk pengucuran pembiayaan (kredit) bagi masyarakat dan memberikan pinjaman lunak bagi masyarakat ekonomi lemah melalui produk qardhul hasan.
Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan sosial ekonomi, Islam secara tegas mengecam konsentrasi asset kekayaan pada sekelompok tertentu dan menawarkan konsep zakat, infaq, sedeqah, waqaf dan institusi lainnya, seperti pajak, jizyah, dharibah, dan sebagainya.
Al-Quran dengan tegas mengatakan, “Supaya harta itu tidak beredar di kalangan orang kaya saja di antara kamu” (QS. 59:7), “Di antara harta mereka terdapat hak fakir miskin, baik peminta-minta maupun yang orang miskin malu meminta-minta” (QS. 70:24).
Berdasarkan prinsip ini, maka konsep pertumbuhan ekonomi dalam Islam berbeda dengan konsep pertumbuhan ekonomi kepitalisme yang selalu menggunakan indikator PDB (Produk Dosmetik Bruto) dan per kapita. Dalam Islam, pertumbuhan harus seiring dengan pemerataan. Tujuan kegiatan ekonomi, bukanlah meningkatkan pertumbuhan menurut konsep ekonomi kapitalisme. Tujuan ekonomi Islam lebih memprioritaskan pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran.
Islam dan ajarannya menekankan keseimbangan antara petumbuhan dan pemerataan. Pertumbuhan an sich bukan menjadi tujuan utama, kecuali dibarengi dengan pemerataan. Dalam konsep Islam, pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua sisi yang tak terpisahkan,. Berdasarkan prinsip ini, maka paradigma tricle down effect, yang dikembangkan pihak Barat  dan pernah diterapkan di Indonesia selama rezim orde baru, bertentangan dengan konsep keadilan ekonomi menurut Islam.Selanjutnya, sistem ekonomi kapitalis dicirikan oleh menonjolnya peran perusahaan swasta (private ownership) dengan motivasi mencari keuntungan maksimum, harga pasar akan mengatur alokasi sumber daya, dan efisiensi. Sistem ini pun selalu gagal dalam membuat pertumbuhan dan pemerataan berjalan seiring.
Sistem ekonomi kapitalis yang bebas nilai pada akhirnya menghasilkan manusia yang tamak, boros dan angkuh. Sistem kapitalis juga telah melahirkan sejumlah bankir hebat, beberapa industriawan yang kaya raya, sejumlah pengusaha yang sukses. Di balik keberhasilannya, sistem ekonomi ini telah mengakibatkan banyak konsumen yang tidak mampu memenuhi kebutuhan minimumnya. Kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin terjadi terjadi secara tajam. Perusahaan-perusahaan yang lemah akan tersingkir dan tersungkur. Perlu ditegaskan, bahwa melekatnya hak orang lain pada harta seseorang (QS. 70:24), bukanlah dimaksudkan untuk mematahkan semangat karya pada setiap individu atau menimbulkan rasa malas bagi sebagian orang. Juga tidak dimaksudkan untuk menciptakan kerataan pemilikan kekayaan secara kaku.
Dalam perspektif ekonomi Islam, proporsi pemerataan yang betul-betul sama rata, sebagaimana dalam sosialisme, bukanlah keadilan, malah justru dipandang sebagai ketidakadilan. Hal ini menggambarkan bahwa Islam menghargai prestasi, etos kerja dan kemampuan seseorang dibanding orang yang malas.
Dasar dari sikap yang koperatif ini tidak terlepas dari prinsip Islam yang menilai perbedaan pendapatan sebagai sebuah sunnatullah. Landasannya, antara lain bahwa etos kerja dan kemampuan seseorang harus dihargai dibanding seorang pemalas atau yang tidak mampu berusaha.
Bentuk penghargaannya adalah sikap Islam yang memperkenankan pendapatan seseorang berbeda dengan orang lain, karena usaha dan ikhtiarnya. Firman Allah, “Sesungguhnya Allah melebihkan rezeki sebagian kamu atas sebagian lain”. (QS. 16:71). Namun, orang yang diberi kelebihan rezeki, harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu (dhu’afa). Sehingga seluruh masyarakat terlepas dari kemisikinan.
Konsep keadilan sosio-ekonomi yang diajarkan Islam menginginkan adanya pemerataan pendapatan secara proporsional. Dalam tataran ini, dapat pula dikatakan bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi yang dilandaskan pada kebersamaan.  Sehingga timbul anggapan disebagian masyarakat yang menyatakan bahwa prinsip keadilan sosio-ekonomi Islam mempunyai kemiripan dengan sistem sosialisme. Bahkan pernah ada pendapat yang menyatakan bahwa sistem sosialisme itu jika ditambahkan dan dimasukkan unsur-unsur Islam ke dalamnya, maka ia menjadi Islami.
Pendapat dan pandangan yang menyatakan kemiripan  sistem keadilan sosio Islam dengan sosialisme tidak sepenuhnya benar, malah lebih banyak keliruannya. Prinsip ekonomi sosialisme, yang menolak kepemilikan individu dan menginginkan pemerataan pendapatan, jelas berbeda dengan prinsip ekonomi Islam. Sosialisme sama sekali tidak mengakui hak milik individu.
Reaksi marxisme dibungkus secara politis revolusioner dalam paham komunis yang intinya mengajarkan bahwa seluruh unit ekonomi dikuasakan kepada negara yang selanjutnya didistribusikan kepada seluruh masyarakat secara merata. Hal ini didasarkan semangat pertentangan terhadap pemilikan individu. Sedangkan dalam ekonomi Islam, penegakkan keadilan sosio-ekonomi dilandasi oleh rasa persaudaraan (ukhuwah), saling mencintai (mahabbah), bahu membahu (takaful) dan saling tolong menolong (ta’awun), baik antara si kaya dan si miskin maupun antara penguasa dan rakyat.

4. Khilafah
Dalam doktrin Islam, manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah (wakil Allah) di muka bumi (QS.2;30, 6:165), 35:39). Manusia telah diberkahi dengan semua kelengkapan akal, spiritual,  dan material yang memungkinkannya  untuk mengemban misinya dengan efektif. Fungsi kekhalifahan manusia adalah uttuk mengelola alam dan memakmurkan  bumi sesuai dengan ketentuan dan syariah Allah. Dalam mengemban tugasnya sebagai khalifah ia diberi kebebasan dan juga dapat berfikir serta menalar untuk memilih antara yang benar dan yang salah, fair dan tidak fair dan mengubah kondisi hidupnya ke arah yang lebih baik (Ar-Ra’d : 11).
Berbeda dengan paradigma kapitalisme, konsep khilafah mengangkat manusia ke status terhormat di dalam alam semesta (QS.17:70). Serta memberikan arti dan misi bagi kehidupan, baik laki-laki maupun wanita. Arti  ini diberikan oleh keyakinan bahwa mereka tidak diciptakan dengan sia-sia (QS.3:192, 23:115)., tetapi untuk mengemban sebuah misi. Khalifah berbuat sesuai ajaran Tuhan dan berfungsi sebagai wakil wakil Tuhan di muka bumi
Manusia bebas memilih berbagai alternatif penggunaan sumber-sumber ini. Namun, karena ia bukan satu-satunya khalifah, tetapi  masih banyak milyaran lagi  khlaifah dan saudara-saudranya, maka mereka harus memanfaatkan sumber-sumber daya itu secara adil dan efisien sehingga terwujud kesejahteraan (falah) yang menjadi tujuan kegiatan ekonomi Islam. Tujuan ini hanya tercapai jika sumber-sumber daya itu digunakan dengan rasa tanggung jawab dan dalam batas-batas yang digariskan syariah dalam simpul maqashid.
Konsep khilafah juga meniscayakan peranan negara dalam perekonomian. Peran penting tersebut antara lain memberikan jaminan sosial kepada masyarakat, jaminan pelaksanaan ekonomi Islam, serta kontrol pasar dan memastikan tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dalam kegiatan bisnis melalui lembaga hisbah. Peran negara dalam perekonomian tidak berarti bahwa Islam menolak mekanisme pasar sepenuhnya.
Islam tidak akan intervensi pasar untuk regulasi harga, kecualai jika terjadi distorsi pasar. Intervensi negara pada harga didasarkan kan pada prinsip maslahah, yaitu untuk tujuan-tujuan kebaikan dan keadilan secara menyeluruh. Ibnu Khaldun dan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa negara memegang peranan penting untuk tegaknya keadilan dalam ekonomi.

5. Persaudaraan (ukhuwah)
Al-Quran  mengajarkan persaudaraan (ukhuwah) sesama manusia, termasuk dan terutama ukhuwah dalam perekonomian.[2] Al-Quran mengatakan, ”Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”.(QS.49:13). ”Kami menjadikan kamu dari diri yang satu” (QS.4:1)
Ayat-ayat ini menjelaskan persamaan martabat sosial semua umat manusia di dunia. Kedudukan manusia adalah sama di hadapan Allah, sebagaimana sabda  Nabi Muhammad , ”Semua manusia adalah ham-hamba Tuhan dan yang paling dicintai disisinya adalah mereka yang berbuat baik kepada hamba-hambanya”.
Kriteria untuk menilai seseorang bukanlah bangsa, ras, warna kulit, tetapi tingkat pengabdian dan ketaqwaanya kepada Allah secara vertikal dan kemanusiaan secara horizontal. Nabi Muhamd Saw mengatakan ”Sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain”.
Ajaran Islam sangat kuat menekankan altruism, yaitu sikap mementingkan orang lain. Dalam Al-Quran altruisme diistilahkan dengan itstar yang termaktub dalam firman Allah, ”Mereka lebih mementingkan orang lain dari diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam keadaan kesulitan”. Ajaran ini jelas tidak terdapat  dalam ekonomi kapitalisme.
Dalam ayat lain Allah menggambarkan potret muslim sejati adalah mereka yang rela memberikan makanan yang memang ia butuhkan kepada orang lain yang lebih membutuhkan.[3] Dalam ayat lain  Allah berfirman, ”Orang bertaqwa itu memberikan harta yang ia cintai kepada karib-kerabat, anak yatim dan orang-orang miskin”.
Sebagaimana disebut di atas bahwa Islam mengajarkan konsep al-musawat (persamaan) di antara sesama manusia. Semua sumber daya alam, flora dan fauna ditundukan oleh Allah bagi manusia manapun sebagai sumber manfaat ekonomis ( QS. 6 : 142 – 145 ), 16 : 10 – 16. Di sini tampak jelas konsep persamaan manusia dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya.
Konsep persamaan manusia, menunjukan bahwa Islam menolak pengklasifikasian manusia yang berdasarkan atas kelas – kelas. Implikasi dari doktrin ini ialah bahwa antara manusia terjalin rasa persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, saling membantu dan bekerjasama dalam ekonomi, yakni syirkah, qiradh dan mudharabah ( profit and lost sharing ). Inilah yang diterapkan di dalam aktivitas ekonomi mikro di lembaga-lembaga keuangan Islam saat ini, seperti bank syari’ah, asuransi syari’ah, obligasi syari’ah, pasar modal syariah, Baitul Mal wat Tamwil.(BMT).  Dalam konteks ekonomi makro praktik bagi hasil ini diterapkan dalam pinjaman luar negeri, dalam instrumen moneter pemerintah sehingga sistem riba benar-benar dihapuskan dalam seluruh aktivitas ekonomi baik mikro maupun makro.
Sikap egalitarian yang dibangun dalam aktifitas ekonomi yang islami,  berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang individualistis. Sistem ekonomi kapitalis dibangun atas dasar sebuah konsep yang hanya memberi kemanfaatan kepada pemilik modal, baik itu dengan sistem bunga, ataupun proses mendapatkan keuntungan yang menghalalkan segala cara.
Konsekuensi prinsip ukhuwah adalah niscayanya kerjasama (cooperaion) dalam bisnis. Cooperation merupakan idealisme interaksi ekonomi.  Namun, dalam praktiknya cooperation hanya sebatas konsep dan wacana para pemikir ekonomi Islam ataupun berada di dunia ide Plato yang belum hadir dalam tindakan praktik aktual.   Secara fakta sering terjadi para pebisnis menggunakan idiom cooperation, akan tetapi yang diterapkan  di lapangan adalah competition.
Salah satu contoh yang sederhana adalah dalam penentuan harga. Industri besar yang manajemennya sudah berhasil menekan ongkos produksi, dengan alasan harga pasar melumat lawan-lawannya.  Akhirnya, tidak ada pilihan lain bagi industri kecil kecuali gulung tikar atau diakuisisi  industri yang lebih besar.
Dalam kerangka konsep persaudaraan ini, sikap yang baik kepada orang lain bukanlah sebagaimana yang diajarkan ekonomi kapitalisme. Sebuah perjuangan hidup tidak hanya untuk memenuhi kepentingan dan kepuasaan individu semata, tetapi juga saling berkorban dan bekerjasama  untuk memenuhi kebutuhan primer saudara seiman yang fakir ataupun miskin. Bagaimanapun para ulama fiqh sepakat, bahwa memperhatikan kebutuhan pokok orang miskin adalah kewajiban bersama (fardhu kifayah) masyarakat muslim.
Implikasi logis dari prinsip ukhuwah adalah bahwa seluruh sumberdaya yang disediakan Allah harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok semua individu dan untuk menjamin  standar hidup yang wajar dan terhormat bagi setiap orang. Nabi bersabda, ”Tidaklah beriman seseorang kamu, jika ia makan kenyang sementara tetanggnya kelaparan”. Karena sumber daya yang bisa dikuasai manusias terbatas, maka untuk mewujudkan filantropi tersebut, seorang muslim haruslah sederhana dalam mengkonsumsi sumber daya yang tersedia. Pemenuhuan kebutuhan individu harus dilakukan dalam kerangka hidup sederhana, tidak boleh ada pemborosan, mubazzir atau israf. Sesuatu yang sangat disayangkan adalah  praktek pemborosan  yang telah merajalela di negara muslim sebagaimana di negara-negara kapitalis.[4]
Konsep ukhuwah juga berimplikasi pada akhlak dalam bersaing dalam suatu bisnis.  Ukhuwah atau brotherhood amat relevan untuk menjadi therapy bagi atmosphere interaksi bisnis yang tercerabut dari persaudaraan dan rentan terhadap ancaman homo homini lopus dan homo economicus.
Untuk itulah ekonomi Islam mengajarkan persaingan yang sehat, ”Fastabiwul khairat”, dengan cara meningkatkan efisiensi, kompetensi, dan bentuk-bentuk kompetisi sehat lainnya. Dalam kaiatan inilah  Islam melarang menjelekkan bisnis orang lain untuk memenangkan bisnisnya, demikian pula Islam melarang bai’ ’ala bai akhihi (membeli apa yanag sudah ditawar saudaranya).
Untuk mewujudkan konsep ukhuwah dalam perekonomian, Islam juga mengajarkan dua instrumen utama. Pertama, menggalakkan ZISWAF. Kedua, eliminasi riba dalam segala bentuk dan manifestasinya. Dalam Islam zakat bukanlah charity (bentuk bekas kasihan), tetapi kewajiban mutlak yang melakat pada setiap pemilik harta. Zakat infak, sedeqah dan hasil wakaf yang diberikan kepada fakir miskin tidak saja sebagai manifestasi tauhid tetapi juga manifestasi dari persaudaraaan yang diajarkan Islam.
Sebagai salah satu contoh pelanggaran terhadap konsep ukhuwah adalah sebagai berikut. ”Ketika tingkat bunga menaik, maka investasi menurun. Untuk menjaga tingkat laba tertentu, maka kapitalis menurunkan tingkat upah pekerja, akibatnya terjadilah pengangguran. Ketika upah diturunkan, terjadilah eksploitasi atas buruh (perkerja). Pada tataran ini prinsip persaudaraan telah dilanggar”.

6. Kerja  dan Produktifitas
Dalam Islam  bekerja dinilai sebagai suatu kebaikan, dan sebaliknya kemalasan dinilai sebagai keburukan.  Dalam kepustakaan Islam, cukup banyak buku-buku yang menjelaskan secara rinci tentang etos kerja dalam Islam.
Dalam pandangan Islam bekerja dipandang sebagai ibadah. Sebuah hadits menyebutkan bahwa bekerja adalah jihad fi sabilillah.
من كد على  عياله  كان  المجاهد  في سبيل الله  عز و جل

Sabda Nabi Saw, “Siapa yang bekerja keras untuk mencari nafkah keluarganya, maka ia adalah mujahid fi Sabillah”(Ahmad)
Dalam hadits Riwayat Thabrani Rasulullah Saw bersabda :
Sesungguhnya, di antara perbuatan dosa, ada yang tidak bisa terhapus oleh (pahala) shalat, Sedeqah ataupun haji, namun hanya dapat ditebus dengan kesungguhan dalam mencari Nafkah penghidupan(H.R.Thabrani)
Dalam  hadits ini Nabi Saw ingin menunjukkan betapa tingginya kedudukan bekerja dalam Islam, sehingga hanya dengan bekerja keras (sunguh-sungguh) suatu dosa bisa dihapuskan oleh Allah.
Selanjutnya dalam hadits yang lain, Nabi bersabda :
Sesungguhnya Allah mewajibkan kamu berusaha/bekerja, Maka berusahalah kamu !
إن الله  تعالى يحب ان يرى عبده يسعى فى طلب الحلال

Sesungguhnya Allah Swt senang  melihat hambanya yang berusaha )bekerja) mencari rezeki yang halal.
Berniat  untuk bekerja  dengan cara-cara yang sah dan halal menuju ridha Allah adalah visi dan misi setiap muslim. Berpangku tangan merupakan perbuatan tercela dalam agama Islam. Umar bin Khatttab pernah menegur seseorang yang sering duduk berdo’a di mesjid  tanpa mau bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya.
Umar berkata, Janganlah salah seorang kamu  duduk di mesjid dan bedoa, Ya Allah berilah aku rezeki”. Sedangkan ia tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan hujan perak. Maksud perkataaan Umar ini adalah bahwa seseorang itu harus bekerja dan berusaha, bukan hanya bedoa saja dengan mengharapkan bantuan orang lain.[5]
Buruh yang bekerja secara manual sangat dipuji dan dihargai Nabi Muhammad Saw meskipun telapak tangannya kasar. Dalam sebuah riwayat, Nabi Saw pernah mencium tangan orang yang bekerja mencari kayu, yaitu tangan Sa’ad bin Mu’az tatkala melihat tangannya kasar akibat bekerja keras. Nabi  seraya berkata :
“Inilah dua telapak tangan yang dicintai Allah

Dalam sebuah hadits Rasul saw bersabda
من بات  كالا من طلب الحلال  بات مغفورا له
(رواه احمد و إبن عساكر)
“Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni Allah”
(Hadits Riwayat Ahmad & Ibnu Asakir )

اذا  صليتم الفجر  فلا  تناموا  عن طلب الرزق
Apabila kamu telah selesai shalat subuh, maka janganlah kamu tidur

Hadits ini memerintahkan agar manusiamenyegerakan bekerja sejak pagi-pagi sekali, agar ia menjadi produktif. Bahkan Nabi SAW secara khusus mendoakan orang yang bekerja sejak  pagi sekali

اللهم بارك للأمتي في بكورها
“Ya Allah, berkatilah ummatku  yang bekerja pada pagi-pagi sekali”.

Malas adalah watak yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itu Nabi pernah berdo’a kepada Allah agar dilindungi dari sifat lemah dan malas.

اللهم اني أعوذ بك من العجز والكسل

“Ya Allah, Sesungguhnya Aku berlindung dengan-Mu dari sifat  lemah dan malas”
Al-quran  mengemukakan kepada Nabi Saw dengan mengatakan, “Katakanlah (Hai Muhammad, kepada ummatmu) : “Bekerjalah !”.
Nabi juga diriwayatkan telah melarang pengemisan kecuali dalam keadaan kelaparan.
Monastisisme dan asketisisme dilarang dalam Islam. Monastisisme  adalah pandangan atau sikap hidup menyendiri  di suatu tempat dengan menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat. Tujuannya hanya untuk bertapa tanpa niat untuk melakukan perubahan dan perbaikan masyarakat. Sedangkan asketisme  adalah pandangan atau sikap hidup keagamaan yang  menganggap pantang  segala kenikmatan dunia atau dengan penyiksaan diri dalam rangka beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Nabi Muhammad saw pernah bersabda,  bahwa orang-orang yang menyediakan makanan dan kebutuhan lain untuk dirinya dan keluarganya lebih baik daripada orang yang menghabiskan waktunya untuk beribadat, tanpa mencoba berusaha mendapat penghasilan untuk dirinya sendiri. Bekerja adalah hak setiap seorang dan sekaligus sebagai kewajiban.
Dalam bahasa Arab, terdapat  dua istilah/pengertian kata haq. Pertama, Haaqun lahu ((حق له yang artinya hak      dan kedua Haqqun ‘alaih (حق عليه) yang artinya kewajiban. Menangkap pesan qurani dan Nabawi mengenai kerja (amal), ini pengertian wajib lebih mengemuka daripada pengertian hak. Sebab hak boleh dilakukan boleh tidak. Namun, jika dikaitkan dengan tanggung jawab Imam (penguasa), pengertian kewajiban sangat relevan. Karena pemerintah (negara) berkewajiban menyediakan kesempatan kerja kepada para individu.
Dalam ekonomi Islam, perspektif kerja dan produktifitas adalah untuk mencapai tiga sasaran, yaitu :Mencukupi kebutuhan hidup (الاشباع   ), meraih laba yang wajar (الارباح ) dan menciptakan kemakmuran lingkungan sosial maupun alamiyah ( الاعمار )
Ketiga sasaran tersebut harus terwujud secara harmonis. Apabila  terjadi sengketa antara pekerja dan pemodal (majikan). Islam menyelesaikannya dengan cara yang baik, yakni ada posisi tawar-menawar antara pekerja yang meminta upah yang cukup untuk hidup keluarganya dan tingkat laba bagi pemodal (majikan) un\tuk melanjutkan produksinya.

7. Kepemilikan
Dalam kapitalisme yang menganut asas laisssez faire, hak pemilikan perorangan adalah absolut, tanpa batas. Terjaminnya kebebasan memasuki segala macam kegiatan ekonomi dan transaksi menurut persaingan bebas. Sedangkan dalam marxisme, hak memiliki hanya untuk kaum proleter yang diwakili oleh kepemimpinan diktator. Distribusi faktor-faktor produksi dan apa yang harus diproduksi, ditetapkan oleh negara. Pendapatan kolektif dan distribusi yang kolektif adalah ajaran utama, sedangkan hubungan-hubungan ekonomi dalam transaksi secara perorangan sangat dibatasi.
Berbeda dengan kapitalisme dan sosialisme, dalam ekonomi Islam, pemilikan hakiki hanya pada Allah. (QS. 24:33). Allah adalah pemilik mutlak (absolut), sedangkan manusia memegang hak milik relatif, artinya manusia hanyalah sebagai penerima titipan, trustee (pemegang amanat) yang harus mempertanggungjawabkannya kepada Allah. Jadi,  menurut ekonomi Islam, penguasaan manusia terhadap sumberdaya, faktor produksi atau asset produktif hanyalah  bersifat titipan dari Allah. Pemilikan manusia atas harta secara absolut bertentangan dengan tauhid , karena pemilikan sebenar  hanya ada pada Allah semata.
Pandangan ini sangat bertolak belakang dengan paham kapitalisme yang menganggap harta adalah milik manusia itu sendiri, karena manusia yang mengusahakannya sendiri. Untuk itu, menurut paham ini, manusia bebas menentukan cara mendapatkan dan bebas pula memanfaatkannya, tanpa perlu melihat halal haramnya.
Jika semua sumberdaya di alam semesta ini sebagai milik Tuhan, maka konsekuensinya adalah  setiap individu mempunyai akses yang sama terhadap milik Allah, karena seluruh alam ini ditundukkan untuk kemaslahatan seluruh manusia. Sedangkan menurut ekonomi konvensional, usaha mendapatkan kekayaan, pemanfaatannya dan penyalurannya, tunduk pada wants manusia itu sendiri, tidak  tunduk pada ketentuan syari’at dan qaidah-qaidah  yang ditetapkan Allah.
Pandangan Islam tentang harta (sumberdaya) juga berbeda dengan sosialisme yang tidak mengakui pemilikan individu. Semua adalah milik negara. Individu hanya diberikan sebatas yang diperlukan dan bekerja sebatas yang dia bisa.
Ekonomi Islam membagi tiga jenis kepemilikan yang harus dibedakan, yakni pemilikan individu, pemilikan umum dan pemilikan negara. Pemilikan individu diperoleh dari bekerja, warisan, pemberian, hibah, hadiah, wasiat, mahar barang temuan dan jual beli. Islam melarang memperoleh harta melalui cara yang tidak diridhoi Allah dan merugikan pihak lain, seperti riba, menipu, jasa pelacuran, perdagangan gelap, produksi dan penjualan alkohol/miras, narkoba, judi, spekulasi valuta asing, spekulasi di pasar modal,  money game, korupsi, curang dalam takaran dan timbangan, ihtikar, dan sebagainya. Oleh karena itu tidak seorang pun dapat dibenarkan memperoleh pendapatan dari aktivitas yang telah disebutkan di atas.
Sedangkan pemilikan umum adalah barang-barang yang mutlak dibutuhkan manusia dalam kehidupan sehari-hari dan juga yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti air, api (bahan bakar, listrik, gas, padang rumput (hasil hutan), minyak, sumber mas dan perak, barang yang tak mungkin dimilik individu, seperti sungai, danau, jalan, lautan, udara, dan sinar matahari.
Pengelolaan milik umum hanya dimungkinkan dilakukan oleh negara untuk seluruh rakyat, dengan cara diberikan cuma-cuma atau harga relatif murah dan terjangkau. Dengan cara ini, rakyat dapat memperoleh beberapa kebutuhan pokoknya dengan cara yang murah yang akhirnya akan membawa dampak pada kesejahteran rakyat Jalan tol seharusnya semakin murah dan akhirnya bisa gratis setelah biaya investor dikembalikan dalam jangka waktu tertentu. Jalan tol sesungguhnya tidak boleh dibisniskan, karena jalan milik umum. Di negara manapun di dunia ini tarif jalan tol semakin lama semakin murah. Padahal mereka tidak menganut ekonomi Islamsecara formal. Di Indonesia, kenyataan berbeda kontras. Hal ini jelas tidak seusia dengan prinsip kepemikian dalam Islam..
Hak milik umum yang telah dikelola oleh negara melalui lembaga atau suatu badan usaha, menjadi hak milik negara. Air, api, rumput, gas, minyak, yang mulanya merupakan hak milik umum, apabila dikelola negara (dinasionalisasi), maka statusnya menjadi hak milik negara. Tetapi pemanfatannya harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat secara menyeluruh, bukan hanya untuk segelintir para pejabat yang menguasai perusahaan BUMN/BUMD tersebut.
Baqir Al-Sadr berpendapat bahwa menurut ekonomi Islam, hak milik pribadi merupakan prinsip fundamental. Sedangkan hak milik umum merupakan prinsip tab’an (pengecualian). Artinya setiap manusia memiliki hak asasi secara pribadi terhadap segala  sumberdaya alam, kecuali sumberdaya tertentu, seperti sungai, lautan, udara, api, dsb. Pandangan ini juga sejalan dengan Sayyid Qutub. Menurutnya, hak milik pribadi merupakan pokok (ashal), sedangkan hak milik umum merupakan pengecualian. Sejalan dengan itu, Tahawi mengatakan, negara bisa memberikan batasan kepada hak milik perorangan, mengaturnya atau menyitanya sesudah memberikan ganti rugi yang layak.
Siddiqi selanjutnya menuturkan bahwa perorangan (individu), negara dan masyarakan, masing-masing mempunyai klaim (tuntutan) atas hak milik berdasarkan prinsip bahwa negara mempunyai yurisdiksi atas hak-hak peroranganYuridiksi ini walaupun bersifat fungsional, tetapi pelaksanaannya tergantung pada tata nilai dan tujuan-tujuan yang diajarkan Islam. Prinsip-prinsip ini membenarkan diadakannya nasionalisasi, pembatasan luas/jumlah, pengawasan harga barang tertentu dsb.
Berdasarkan prinsip di atas, maka peneyrahan perushaan minyakj, air tambang mas untykdikelola pihak asing sesungguhnya bertentangan dengan konsep kepemilikan dalam islam. Block Cepu misalnya seharusnya dikelola Pertamina. Jika di Peratmina banyak korupsi sehingga Bolk Cepu rugi, Solusinya bukan menyerahkan block Cepu ke tangan asing, tetapi praktek korupsi di Pertamina yang harus ditumpas. Jika ada tikus di lumbung padi, jangan lumbung padinya yang di bakar, tetapi tikusnya yang diusir dengan siasat dan strategi canggih.
Konsep kepemilikan ini membawa sejumlah implikasi yang sangat penting yang membawa perbedaan revolusioner dengan sistem ekonomi lain seperti kapitalisme dan sosialisme.
Pertama, bahwa sumber daya diperuntukkan bagi semua orang, bukan untuk sebagian kecil manusia ( QS. 2 : 29 ). Sumber – sumber daya itu harus digunakan untuk  kesejahteraan semua orang secara menyeluruh dan adil. Pemusatan kekayaan di negara-negara kaya secara mencolok adalah realita yang bertentangan dengan keadilan. Demikian pula penguasaan konglomerat atas jutaan hektar hutan atau ratusan ribu hektar perkebunan, sehingga terjadi penumpukan asset pada segelintir tertentu, bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam.
Kedua, setiap orang harus memperoleh sumber- sumber daya itu dengan cara yang sah dan halal, bukan cara- cara curang seperti suap dan cara-cara batil lainnya. Firman Allah, ”Hai orang-orag yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan cara batil, kecuali dengan perdagangan yang dilakukan  dengan suka rela di antar kamu (QS.4:29).
Ketiga, tidak seorangpun berwenang menghancurkan atau memboroskan sumber- sumber daya pemberian Tuhan. Tindakan ini oleh Al- Quran disamakan dengan fasad ( kerasukan, kejahatan dan ) yang dilarang Tuhan ( QS. 2 : 205 ). Karena itu ketika Abu Bakar, mengirm Yazid bin Sufyan dalam suatu peperangan, ia melarang Yazid membunuh dengan sembarangan atau merusak kehidupan tumbuh – tumbuhan atau binatang sekalipun di daerah musuh.
Jika hal ini tidak diizinkan, sekalipun dalam kondisi perang dan di daerah musuh, maka tidak ada alasan untuk mengizinkannya pada saat damai dan di negeri sendiri. Dengan demikian, maka benar- benar tidak dibolehkan menghancurkan dan memusnahkan barang-barang yang telah diproduksi, sebagai siasat agar harga barang itu tetap tinggi, baik dengan membakar atau membuangnya kelautan.

8. Kebebasan dan tanggung Jawab
Prinsip kebebasan dan tanggung jawab dalam ekonomi Islam pertama kali dirumuskan oleh An-Naqvi. Kedua prinsip tersebut, masing-masing dapat berdiri sendiri, tetapi doleh beliau kedua prinsip tersebut digabungkan menjadi satu. Penyatuan ini dilakukan karena kedua prinsip itu memiliki keterkaitan yang sangat kuat.
Penyatuan ini juga dimaksudkan agar pembaca dengan cepat menangkap pengertian kebebasan dalam kajian ini, sehingga tidak muncul tanda tanya dan kerancuan dalam pikiran tentang makna kebebasan dalam persepektif Islam[6].
Pengertian kebebasan dalam perekonomian Islam difahami dari dua perspektif, pertama perspektif teologi  dan kedua perspektif ushul fiqh/falsafah tasyri’.
Pengertian kebebasan dalam perspektif pertama berarti bahwa manusia bebas menentukan pilihan antara yang baik dan yang buruk dalam mengelola sumberdaya alam. Kebebasan untuk menentukan pilihan itu melekat pada diri manusia, karena manusia telah dianugerahi akal untuk memikirkan mana yang baik dan yang buruk, mana yang  maslahah dan mafsadah (mana yang manfaat dan mudharat).
Adanya kekebasan termasuk dalam mengamalkan ekonomi, implikasinya  manusia harus bertanggung jawab atas segala perilakunya. Manusia dengan potensi akalnya mengetahi  bahwa penebangan hutan secara liar akan menimbulkan dampak banjir dan longsor. Manusia juga tahu bahwa membuang limbah ke sungai yang airnya dibutuhkan masyarakat untuk mencuci dan mandi adalah suatu perbuatan salah yang mengandung mafsadah dan mudharat. Melakukan riba adalah suatu kezaliman besar. Namun ia melakukannya juga, karena ia harus mempertangung jawabkan perbuatannya i\tu di hadapan Allah, karena perbuatan itu dilakukannya atas pilihan bebasnya.
Seandainya manusia berkeyakinan bahwa ia melakukan perbuatan itu karena dikehendaki Allah secara jabari, maka tidak logis ia diminta pertanggung jawaban atas penyimpangan perilakunya. Jadi makna kebebasan dalam konteks ini bukanlah manusia bebas tanpa batas melakukan apa saja sebagaimana dalam faham liberalisme. Jadi, kebebasan dalam Islam bukan kebebasan mutlak[7], karena kekebasan seperti itu hanya akan mengarah kepada paradigma kapitalis laisssez faire dan kebebasan nilai (value free).
Kebebasan dalam pengertian Islam adalah kekebasan yang terkendali (al-hurriyah al-muqayyadah). Dengan demikian, konsep ekonomi pasar bebas, tidak sepenuhnya begitu saja diterima dalam ekonomi Islam. Alokasi dan distribusi sumber daya yang adil dan efisien, tidak secara  otomatis terwujud dengan sendirinya berdasarkan kekuatan pasar. Harus ada lembaga pengawas dari otoritas pemerintah -yang dalam Islam- disebut lembaga hisbah.
Kebebasan dalam konteks kajian prinsip ekonomi Islam dimaksudkan sebagai antitesis dari faham jabariyah (determenisme). Faham ini mengajarkan bahwa manusia bertindak dan berperilaku bukan atas dasar kebebasannya (pilihannya) sendiri, tetapi atas kehendak Tuhan. Dalam faham ini manusia ibarat wayang yang digerakkan oleh dalang. Determinisme seperti itu, tidak hanya merendahkan harkat manusia, tetapi juga menafikan tanggung jawab manusia. idak logis manusia diminta tanggung jawabnya, sementara ia melakukannya secara ijbari (terpaksa).
Pengertian kebebasan dalam perspektif ushul fiqh berati bahwa dalam muamalah Islam membuka pintu seluas-luasnya di mana manusia bebas melakukan apa saja sepajang tidak ada nash yang melarangnya. Aksioma ini didasarkan pada kaedah, pada dasarnya dalam muamalah segala sesuatu dibolehkan sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya.
Bila diterjemahkan arti kebebasan bertanggng jawab ini ke dalam dunia binsis, khususnya perusahaan, maka kita aan mendapatkan bahwa Islam benar-benar memacu ummatnya untuk melakaukan inovasi apa saja, termasuk pengembangan teknologi dan diversifikasi produk.
Pertanggungjawaban (masuliayah) yang harus dihadapi manusia di akhirat juga merupakan konsukensi fungsi kekhalifahan manusia sebagai kahlifah. Dalam kapasitasnya sebagai khalifah, manusia merupakan pemegang amanah (trustee), karena itu setap pemegang amanah harus bertanggung jawab atas amanah yang dipercayakan untuknya.
Pertanggung jawaban, accountability atau masuliyah ditekankan dengan  perintah dari Allah melalui istilah hisab atau perhitungan di hari pembalasan. Istilah hisab ditemukan 109 kali dalam Al-quran dari akar kata hisab (perhitungan), muhasib (penghitungan/akuntan) dan muhasabah sebagai pertanggungjawaban yang merupakan manifestasi dari perilaku kehidupan di dunia ini.
Kepercayaan pada hari kiamat memilki peranan penting dalam kehidupan seorang muslim yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Konsep pertanggungjawaban sudah diterapkan secara sunnatullah sangat ditekankan dalam Islam, bukan merupakan norma etika umum atau perundang-undangan negara. Konsep ini mestinya sudah tertanam di masing-masing indivisu muslim dan tercermin dalam kehidupan masyarakat dan sistem.  Tidak hanya terbatas pada para profesional, akademisi atau pengusaha saja.
Harus pula dipahami bahwa pertangggungjawaban tidak hanya terbatas dalam konsep eskatologis, tetapi juga mencakup proses praktis di dunia ini. Salah satu contohnya adalah kemampuan analisis dan sajian ilmiah dalam akuntansi, misalnya apa yang diperintahkan Allah dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 282, ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuslikannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan benar” (QS. 2;282).
9. Jaminan Sosial
Penjelasan sebelumnya telah menjelaskan bahwa Islam menuntut kepada setiap orang yang mampu untuk bekerja dan bersungguh-sungguh dalam kerjanya, sehingga ia dapat mencukupi dirinya dan keluarganya. Namun demikian, beberapa  anggota masyarakat ada yang tidak mampu bekerja, sehingga mereka tidak berpenghasilan. Ada juga yang mampu bekerja, tetapi tidak mendapatkan lapangan kerja sebagai sumber penghasilan mereka dan pemerintah sendiri tidak mampu untuk mempersiapkan lapangan kerja yang sesuai bagi mereka.
Ada pula yang sebenarnya sudah bekerja, hanya saja pemasukan mereka belum mencukupi standar yang layak, karena sedikitnya pemasukan (income) atau banyaknya keluarga yang ditanggung atau mahalnya harga barang atau karena sebab-sebab yang lain. Untuk mengatasi problem tersebut Islam mengajarkan takaful al-ijtima’iy (jaminan sosial), melalui isntrumen zakat, infak, sedeqah dan wakaf.
Secara hukum dan moral negara bertanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan pokok masyarakat. Negara pada dasarnya bertanggung jawab secara tidak langsung terhadap masyarakatnya dan kewajibannya adalah meringankan dan menghapus penderitaan rakyatnya. Dengan kata lain, negara hanya bertanggung jawab terhadap kebutuhan pokok masyarakat secara individu apabila individu itu tidak mampu memperoleh kebutuhan pokok tersebut dengan usahanya sendiri, tetapi dalam keadaan apapun, negara tidak memberikan ”ikan” sepenuhnya sehingga masyarakat menjadi tidak produktif.[8] Jelas bahwa sistem Islam tidak membiarkan mereka menjadi miskin dan terlantar, tetapi berupaya mewujudkan bagi mereka kehidupan yang layak.
10. Nubuwwah
Prinsip ekonomi Islam yang terakhir adalah nubuwwah yang berarti kenabian. Prinsip nubuwwah dalam ekonomi Islam merupakan landasan etis dalam ekonomi mikro. Prinsip nubuwwah mengajarkan bahwa fungsi kehadiran seorang Rasul/Nabi adalah untuk menjelaskan syariah Allah SWT kepada umat manusia.
Prinsip nubuwwah juga mengajarkan bahwa  Rasul  merupakan personifikasi kehidupan yang  yang baik dan benar. Untuk itu Allah mengutus Nabi Muhammad Saw sebagai Rasul terakhir yang bertugas untuk memberikan bimbingan dan sekaligus sebagai teladan kehidupan (Al-Ahzab : 21).  Sifat-sifat utama yang harus diteladani oleh semua manusia (pelaku bisnis, pemerintah dan segenap manusia) dari Nabi Muhammad Saw, setidaknya ada empat, yaitu shiddiq, amanah, tabligh dan fatanah.

a. Siddiq, berarti jujur dan benar. Prinsip ini harus melandasi seluruh perilaku ekonomi manusia, baik produksi, distribusi maupun konsumsi.
Pada zamannya, ia menjadi pelopor perdagangan berdasarkan prinsip kejujuran, transaksi bisnis yang fair, dan sehat, sehingga ia digelar sebagai al-amin. Ia tak segan-segan mensosialisasikannya dalam bentuk edukasi langsung dan statemen yang tegas kepada para pedagang. Pada saat beliau menjadi kepala negara, perangkat hukum beserta reward dan punishment benar-benar ditegakkan kepada para pelaku bisnis yang tidak jujur/benar.
shiddiq dapat dijadikan sebagai modal dasar untk menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas. Dua prinsip yang oleh Peter Drucker merupakan indikator kesuksesan sebuah perusahaan.
Dalam dunia perbankan, lembaga keuangan dan bisnis syariah  saat ini prinsip shiddiq, mestinya menjadi sesuatu yang membedakan LKS dan bisnis syariah dengan lembaga keuangan dan bisnis konvensional, dimana bisnis dalam syariah  dilakukan dengan moralitas yang menjunjung tinggi nilai kejujuran. Dengan ini pengelolaan harta dan dana masyarakat dilakukan dengan mengedepankan cara – cara yang halal serta menjauhi cara – cara yang meragukan ( syubhat ) terlebih lagi yang bersifat larangan ( haram ).
2. Amanah, berarti dapat dipercaya, profesinal, kredibiltas dan bertangunggung jawab.  Sifat amanah merupakan karakter utama seorang pelaku ekonomi syariah dan semua umat manusia. Sifat amanah menduduki posisi yang paling penting dalam ekonomi dan bisnis. Tanpa adanya amanah perjalanan dan kehidupan ekonomi dan bsinis pasti akan mengalami  kegalagan dan kehancuran. Dengan demikian setiap pelaku ekonomi Islam mestilah menjadi orang yang profesional dan bertanggug jawab, sehingga ia dipercaya oleh masyarakat dan seluruh pelanggan.
Dalam dunia perbankan dan LKS yang berkembang saat ini sifat amanah menjadi kunci sukses ekonomi syariah di masa depan. Jika pelaku ekonomi syariah saat ini menciderai gerakan ekonomi syariah dengan sifat dan praltek non-amanah (seperti tidak profesional, tidak bertanggung jawab dan tidak kredible, maka selueuh masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap lembaga yang bernama ”syariah” tersebut.

3. Tablig, adalah komunikatif, dan transparan, dana pemasaran yang kontiniu. Para pelaku ekonomi syarah harus memiliki kemampuan komunikasi yang handal dalam memasarkan ekonomi syariah. Dalam  mengelola perusahaan, para manajemen harus transparan. Demikian pula dalam melakukan pemasaran, sosialisasi dan edukasi harus berkesinambungan Dalam melakukan sosialisasi, sebaiknya tidak hanya mengedepankan pemenuhan prinsip syariah semata, tetapi juga harus mampu mengedukasi  masyarakat mengenai manfaat bagi pengguna jasa perbankan syariah. Tabligh juga berarti bahwa pengelolaan dana dan keuntungannya harus dilakukan secara transparan dalam batas – batas yang tidak mengganggu kerahasiaan bank.

4. Fathonah, berarti kecerdasan dan intelektualitas fathanah mengharuskan kegiatan ekonomi dan bisnis didasarkan dengan ilmu, skills, jujur,benar,kredible dan bertanggung jawab dalam berekonomi dan berbisnis. Para pelaku ekonomi harus cerdas dan kaya wawasan agar bisnis yang doijalankan efektif dan efisien dan bisa memenasngkan persaiangan dan tidak menjadi korban penipuan. Dalam dunia bisnis sifat fatanah memastikan bahwa pengelolaan bisnis, perbankan atau lembaga bisnis apa saja harus dilakukan secara smart dan kompetitif, sehingga menghasilkan keuntungan maksimum dalam tingkat risiko yang rendah.

Untuk mengakhiri topik ini, maka berikut akan disampaikan mengenai intisari dari perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi kapitalis:

PERBEDAAN EKONOMI ISLAM DAN EKONOMI KAPITALISME

Aspek
Islam
Kapitalisme
Sumber Ide /pemikiran
Allah
Manusia
Sumber
Alquran dan hadits
Daya Pikir Manusia
Motif
Ibadah
Rasional materialisme
Paradigma
Syariah
Pasar
Tujuan
Falah dan Maslahat
Utilitarian, individualisme
Filosofi Operasional
Keadilan, kebersamaan 
dan Tanggung Jawab
Liberalisme, Laisez Faire
Kepemilikan harta
Milik absolut pada Allah, manusia adalah penerima amanah, pemilik relatif
Hak milik absolut pada manusia
Sistem Investasi
PLS
Bunga
Sistem Distribusi
Mekanisme pasar dengan nilai2 ( termasuk Zakat, Infak, sedekah, wakaf)
Sistem Pasar
Prinsip Jual beli
Melarang gharar, maysir, riba dan barang-barang haram
Tidak ada larangan
Motif Konsumsi
Kebutuhan
Keinginan
Tujuan Konsumsi
Kemaslahatan
Memaksimalkan utility
Motif untuk Produksi
Kebutuhan dan kewajiban manusia
Ego dan rasionalisme
Hubungan antar pelaku bisnis sejenis
Ukhuwah
Persaingan
Perputaran Uang
Real based ekonomi
Monetary based ekonomi
Keterkaitan sektor riil dan moneter
Sangat terkait satu dan lainnya
Terpisah
Instrumen Moneter
Bagi hasil, jual beli, ijarah
Riba
Indikator keberhasilan ekonomi
Pertumbuhan dan pemerataan
Pertumbuhan ekonomi
Prinsip Pengeluaran
Berdasarkan 3 tingkatan mashlahah (dharuriah, Tahsiniyah dan Hajjiyah)
Tidak memperhatikan prioritas mashlahah
Sumber keuangan negara
Zakat, Infak, sedekah, usyr, dharibah, kharaj, pajak kondisional.
Pajak
Sasaran Penerima
Pada zakat ditentukan 8 ashnaf
Tanpa melihat ashnaf
Tujuan Pembangunan
Memprioritaskan pengentasan kemiskinan
Kemajuan semata
Dampak
Sarana menciptakan keadilan ekonomi
Kesenjangan

1 comments:

ZUL FADLI said...

ea sama-sama,, makasi juga telah mengunjungi blog saya.