Pendahuluan
Sebagai sebuah disiplin baru, ekonomi Islam hingga saat ini masih dalam
suatu proses pencarian body of science-nya. Berbagai upaya telah
dilakukan dalam rangka pencarian tersebut, salah satunya adalah dengan mengkaji
ulang sejarah perekonomian dan umat Islam masa lalu, merekonstruksi pemikiran
para tokoh (ekonomi) Islam dan kemudian memberikan interpretasi-interpretasi
kritis terhadap sejarah dan pemikiran tersebut.
Proses interpretasi sejarah dan pemikiran ekonomi Islam di Indonesia
mengalami pergumulan yang cukup dinamis, dimana muncul pro dan kontra terhadap
terminologi ekonomi Islam itu sendiri, instrumen-instrumen teoritisnya maupun
perdebatan yang bersifat metodologis. Perdebatan-perdebatan itu juga melahirkan
berbagai macam corak pemikiran di bidang ekonomi Islam, dari yang bersifat
liberal hingga radikal.
Disisi lain, Max
Weber dalam karyanya, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism
(1904-5) menggambarkan hubungan erat antara (ajaran-ajaran) agama dan etika
kerja, atau antara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi.1
Demikian halnya dalam ekonomi Islam etika agama kuat sekali melandasi
hukum-hukumnya. Namun yang membedakan
Islam dengan kapitalisme dan materialisme ialah bahwa Islam tidak pernah
memisahkan ekonomi dengan etika, sebagaimana tidak pernah memisahkan ilmu dengan etika, politik dengan etika, perang dengan etika dan aktivitas
mu’amalah lainnya dengan etika. Islam adalah risalah
yang diturunkan Allah swt melalui Rasulullah untuk membenahi etika manusia.
Nabi saw bersabda yang artinya, “Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak mulia”.
Dalam sebuah tatanan sistem ekonomi kapitalisme, perilaku ekonomi kaum
telah terasingkan dari karakter etik dan nilai-nilai yang dianggap benar. Etika
(moral) yang dikembangkan dalam berbisnis hanya didasari oleh pertimbangan
materi semata. Asas manfaat menjadi tolok ukur dalam perilaku ekonomi.
Kejujuran, amanah, baik hati dan sebagainya hanya dilakukaan saat terdapat
manfaat materi di dalamnya. Ekonom kapitalis yang jujur hanya dilatarbelakangi
oleh kepentingan meraup keuntungan materi. Mereka bersikap profesional juga
karena manfaat materi. Mereka tidak melakukan penipuan karena takut kehilangan
pelanggan yang merasa tertipu.
Kenyataannya etik (moral) memang bersifat universal. Pembeli akan merasa
kecewa jika tertipu atau majikan akan merasa sakit hati jika pekerja malas
bekerja dan sebagainya. Secara universal, siapapun tidak akan senang jika
diperlakukan secara a-moral. Namun demikian, etika atau moral yang universal
semacam ini adalah semu dan sementara. Moral akan dijunjung tinggi saat
mendatangkan manfaat dan keuntungan materi. Sebaliknya, ketika dirasakan tidak
perlu lagi, maka moral akan ditinggalkan. Moral akan berubah menjadi karakter
menghalalkan segala cara (machiavelisme) dalam berperilaku ekonomi.2
Tidak ada lagi tempat, bahwa kebahagian individu harus mencakup aspek
kebahagiaan diri sendiri sekaligus kesejahteraan orang lain, khususnya orang
miskin dan anak terlantar, yang memiliki hak atas sebagian harta orang kaya.
Meskipun Max
Weber menyangsikan eksistensi ekonomi Islam, dengan menyimpulkan bahwa
nilai-nilai Islam merupakan hambatan bagi kemajuan. Akan tetapi kesimpulan ini
tidak terbukti benar dan kesimpulan Max Weber ini terbantahkan oleh Chapra,
dengan menyatakan bahwa “Hanya karena faktor Islam-lah yang mampu menjawab
permasalahan mengapa masyarakat Badui mampu membangun peradaban begitu cepat”.3
Mungkin fakta bahwa negara-negara yang berpenduduk Muslim menunjukkan
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang rendah, namun dibalik itu kita
mungkin tidak serta merta melupakan kejayaan kaum Muslimin beberapa abad yang
lalu, sejumlah sarjana seperti Toynbee (1957), Hitti (1958), Hodgson (1977),
Baeck (1994) dan Lewis (1995) menunjukkan bahwa Islam memegang peran yang
positif dalam pembangunan masyarakat Muslim. Sehingga sangat wajar jika Chapra
mengeluarkan statemen menamfik apa yang disimpulkan oleh Weber tersebut.4
Maka, tidak berlebihan mungkin ketika disebutkan bahwa sistem ekonomi Islam
adalah satu-satunya golden ways untuk menuju masyarakat humanis yang
maju dan berkeadilan dalam bidang ekonomi.
Dan kajian menyangkut masalah keadilan distributif dalam tiga dekade
belakangan ini menunjukan peningkatan dan perkembangan yang luar biasa. Masalah
keadilan distributif menjadi penting karena dalam kesehariannya masyarakat
lebih banyak dihadapkan pada persoalan ketidakadilan. Di pihak lain keadilan
distributif juga merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan suatu pembangunan
di samping tolok ukur lainnya seperti kelestarian lingkungan, kualitas
kehidupan, pemerataan dan produk domestik bruto.5
Keadilan distribusi menempati posisi penting dari teori ekonomi mikro
baik dalam sistem ekonomi Islam maupun Kapitalis, Sosialisme dan Marxisme
karena pembahasan menyangkut keadilan distribusi ini tidak hanya berkaitan
dengan aspek ekonomi belaka tetapi juga aspek sosial dan politik sehingga
menjadi perhatian bagi aliran pemikir ekonomi Islam dan aliran pemikiran system
ekonomi lainnya hingga saat ini.
Saat ini realita menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakadilan dan
ketimpangan dalam pendistribusian pendapatan dan kekayaan baik di negara maju
maupun di negara-negara berkembang sehingga menciptakan kemiskinan dimana-mana.
Menanggapi kenyataan tersebut Islam dalam system ekonominya dan diyakini
memiliki klaim universal diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut
dan sekaligus dapat menjadi sistem perekonomian dalam suatu negara. Dalam paper
ini fokus pembahasan pada bagaimana keadilan distributif (distribusi pendapatan
dan kekayaan) dalam ekonomi Islam (sebagai sebuah kritik terhadap sistem ekonomi
kapitalis, sosialisme dan marxisme). Dengan mempergunakan pendekatan filsafat
ekonomi Islam agar mendapat gambaran yang jelas tentang keunggulan sistem
ekonomi Islam, dibandingkan dengan ketiga sistem yang menjadi sasaran kritik.
Pembahasan
1.
Keadilan Distributif
Beberapa ahli memberikan definisi keadilan distribusi secara
berbeda-beda sesuai dengan bidangnya. Filosof Aristoteles berpendapat bahwa
keadilan distributif berkaitan dengan distribusi berdasarkan peran dan fungsi
masing-masing dalam masyarakat.6
Deustch mendefinisikan keadilan distributif sebagai keadilan atas apa yang
telah diterima sebagai hasil dari suatu keputusan atau ketetapan pembagian.7
Sedangkan Adam Smith lebih menekankan pada kerangka teori pertukaran
untuk mengevaluasi keadilan. Menurutnya, orang tidak melulu hanya melihat
besarnya hasil yang diterima tetapi lebih menekankan pada apakah yang diterima
tersebut sudah dirasakan adil. Cara untuk menentukannya adalah dengan
membandingkan antara kontribusi atau input yang telah diberikan dengan
hasil atau output yang diterimanya dan kemudian dibandingkan dengan
kontribusi dan hasil yang diterima orang lain Pendapat ini sejalan dengan apa
yang disampaikan oleh Messicck dan Sentis (1983), bahwa suatu hasil dikatakan
adil dan memuaskan ketika hasil tersebut sama dengan yang diterima oleh orang
lain.8
Pentingnya perbandingan dengan orang lain dan proporsi input atau
output dalam keadilan distribusi tercermin pula dalam definisi yang
disampaikan oleh Bartol yang menyatakan bahwa keadilan distribusi adalah
penilaian keadilan pada proporsi antara hasil (outcomes) yang diterima
oleh individu dengan input yang diberikan dibandingkan dengan proporsi input
dan hasil yang diterima orang lain. Definisi tersebut mengindikasikan pada
sistem proporsional (equity) yang memang sangat populer di negara–negara
barat dan yang menjadi konsep awal dari keadilan distribusi.9
Dari beberapa definisi tersebut di atas, yang menarik adalah apa yang
diungkapkan dari pandangan Aristoteles yang menyatakan bahwa keadilan mesti
dipahami dalam pengertian kesamaan. Walaupun Aristoteles membuat pembedaan
penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik
mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Dan inilah yang sekarang biasa
kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan
bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi
tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan
sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan
perdebatan seputar keadilan.10
Lebih lanjut, Aristoteles membedakan keadilan menjadi jenis keadilan
distributif dan keadilan korektif. Kedailan distributif dan korektif sama-sama
rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam
kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa
imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang
kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh,
misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.11
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi,
honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam
masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa
yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain
berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh
jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya
bagi masyarakat.12
Sedangkan John Rawls menyatakan bahwa perbedaan sosial dan ekonomis
harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling
kurang beruntung. Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan
menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok
kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair
equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang
mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas.
Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus.13
Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama
sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume,
Bentham dan Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut
prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula
bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat
bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh
masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi
tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari
orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat.14
Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang
sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling
lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi
ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah.
Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung
yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil.
Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan jabatan yang terbuka bagi semua orang.
Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam
hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras,
kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.15
Dengan demikian prinsip keadilan distributif merupakan prinsip normatif
yang di desain untuk mengalokasikan sejumlah sumber daya yang relatif terbatas
terhadap permintaan atau tuntutan. Prinsip ini bervariasi dalam berbagai hal
diantaranya adalah tergantung barang apa yang akan didistribusikan seperti
pendapatan, kesejahteraan atau kesempatan. Juga berdasar pada sifat dari subjek
distribusi seperti individu atau kelompok serta yang terakhir berdasar pada tata
cara pendistribusian, misalnya dengan apakah menggunakan prinsip persamaan (equality),
proporsionalitas (equity), kebutuhan (need) atau berdasar
karakter individunya. Deutcsh menambahkan bahwa keadilan dan ketidakadilan
distributif dapat dilihat pada tingkatan, yaitu nilai-nilai, peraturan dan
impelementasi peraturan.16
Dari berbagai pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa keadilan
distribusi adalah persepsi keadilan terhadap besarnya hasil pembagian,
pemberian dan pertukaran sumber daya yang diterima oleh individu dari orang
lain atau kelompoknya. Dan prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar
masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama
kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang
yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan
untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi
ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi
sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus
memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk
mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
Sedangkan Gagasan Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang
keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk
menegakkan keadilan dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya
manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu (Allah). Pada
optik inilah perbedaan-perbedaan teologis di kalangan cendekiawan Islam muncul.
Perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi yang bertentangan
mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan keadilan ilahiah, dan
perdebatan tentang hal itu melahirkan dua mazhab utama teologi dialektika Islam
yaitu: mu` tazilah dan asy` ariyah.
Kedua pendirian teologis tersebut berdasarkan pada penafsiran ayatayat
al-Quran, yang mempunyai pandangan kompleks tentang peranan tanggung jawab
manusia dalam mewujudkan kehendah ilahiah di muka bumi. Di satu pihak, al-Quran
berisikan ayat-ayat yang mendukung penekanan Mu`tzilah pada tanggung jawab
penuh manusia dalam menjawab panggilan bimbingan alamiah maupun wahyu. Di lain
pihak, juga memiliki ayat-ayat yang dapat mendukung pandangan Asy` ariah
tentang kemahakuasaan Allah yang tak memberi manusia peranan dalam menjawab
bimbingan ilahiah. Betapapun, al-Quran mempertimbangkan keputusan dan
kemahakuasaan ilahiah dalam masalah bimbingan.17
Sesungguhnya, konsep bimbingan natural atau universal mempunyai
implikasi-implikasi yang lebih luas daripada mempertunjukkan eksistensi
kapasitas kemauan dalam jiwa manusia11, dan membuktikan tanggung
jawab manusia dalam mengembangkan pengertian tajam persepsi moral dan spiritual
serta motivasi, yang akan membawa kepada penegakan keadilan di muka bumi.
Nampak bahwa al-Quran menganggap manusia seluruhnya sebagai satu bangsa
berhubung dengan bimbingan unuversal sebelum bimbingan khusus melalui para Nabi
diturunkan, dan dengan demikian menganggap mereka semua secara bersama-sama
bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan.18
Berdasarkan bimbingan universal, maka dapat dibicarakan tentang
dasar-dasar natural-moral tingkah laku manusia di dalam al-Quran. Ayat-ayat
tersebut menunjuk kepada watak moral yang universal dan obyektif yang membuat
semua manusia diperlakukan secara sama dan sama-sama bertanggung jawab kepada
Allah. Dengan kata lain, perintah-perintah moral tertentu jelaslah didasarkan
pada watak umum manusia dan dianggap sebagai terlepas dari keyakinan-keyakinan
spiritual tertentu, meskipun semua bimbingan praktis pada akhirnya berasal dari
sumber yang sama, yaitu, dari Allah. Karena itu, penting untuk menekankan dalam
konteks al-Quran, bahwa gagasan keadilan teistis menjadi relevan dengan
mapannya tatanan sosial, karena secara logis membangkitkan keadilan obyektif
universal yang mendarah daging dalam jiwa manusia. Dalam satu ayat yang sangat
penting artinya, AlQuran mengakui watak obyektif dan universalitas keadilan
yang disamakan dengan perbuatan-perbuatan baik (kebajikan-kebajikan moral), yang
mengatasi masyarakat-masyrakat agama yang berlainan dan memperingatkan umat
manusia untuk “tampil dengan perbuatan-perbuatan baik”19
Jelaslah, disini kita mempunyai dasar yang jelas untuk membedakan antara
keadilan obyektif dan teistis, dimana keadilan obyektif diperkuat lagi oleh
tindakan-religius kepatuhan kepada Allah. Dalam bidang keadilan obyektif
universal, manusia di perlakukan secara sama dan memikul tanggung jawab yang sama
untuk menjawab bimbingan universal. Lagi pula, tanggung jawab moral asasiah
semua manusia pada tingkat bimbingan universal inilah yang membuatnya masuk
akal untuk mengatakan bahwa al-Quran menunjukkan sesuatu yang sama dengan
pemikiran barat tentang hukum natural, yang merupakan sumber keadilan dalam
masyarakat yang berdasarkan persetujuan yang tak di ucapkan atau oleh tindakan
resmi.
2.
Keadilan Sosial Ekonomi
Beberapa ahli (semisal Miceli, M.P., Jung, I., Near, J.P. &
Greenberg, D.B) mengemukakan bahwa keadilan harus diformulasikan pada tiga tingkatan, yaitu
outcome, prosedur, dan sistem. Penilaian keadilan tidak hanya tergantung pada
besar kecilnya sesuatu yang didapat (outcome), tetapi juga pada cara
menentukannya dan sistem atau kebijakan di balik itu. Keadilan yang berkaitan dengan outcome inilah yang sering disebut sebagai keadilan distributif, namun
sesungguhnya kedua hal tersebut tidak sama. Kajian psikologi tentang keadilan
pemberian upah hampir selalu memasukkannya dalam lingkup keadilan distributif.
Bila dicermati, pemberian upah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu distribusi
dan pertukaran. Karenanya, para ahli ekonomi menilainya sebagai keadilan
pertukaran (komutatif). Bahkan, ekonom terkenal Adam Smith menyatakan bahwa
hakikat keadilan adalah keadilan komutatif.20
Antara keadilan distributif dan keadilan komutatif terdapat perbedaan dan
persamaan. Di dalam proses distribusi akan tampak ada dua pihak, yaitu pembagi
dan penerima. Di sini posisi pembagi kelihatan lebih tinggi dibandingkan dengan
penerima. Sementara itu dalam proses pertukaran kedua pihak seharusnya berada
pada posisi yang sama. Ditinjau dari sudut pertukaran, pekerja menukarkan
tenaganya dengan uang. Analogi pertukaran jasa dengan uang ini mirip dengan
proses jual beli barang. Pihak pertama memiliki barang atau jasa dan pihak lain
memiliki uang. Persamaan prinsip keadilan distributif dengan keadilan komutatif
akan menjadi sangat jelas bila kaidah distribusi yang digunakan adalah ekuitas
pada hubungan dua pihak (diadic), terutama bila masukan (input)
keduanya setara. Permasalahannya, bila masukan kedua pihak berbeda sangat jauh,
kesetaraan antara kedua pihak itu juga akan sulit tercapai. Meskipun demikian
perbedaan yang besar itu masih dapat dilihat persamaan prinsipnya bila pada
keadilan komutatif menekankan aturan no harm dan no intervention.21
Artinya, pertukaran akan mirip distribusi karena pihak yang kuat (input besar)
tidak berusaha mempengaruhi, merusak, maupun mencaplok pihak yang lemah.
Pada dasarnya, ada tiga hal yang dapat mempengaruhi sistem ekonomi:22 (1) Peraturan
pelaksanaan dan permintaan sosial, yang berfungsi untuk menyediakan alat dimana
individu dapat meneyelesaikan masalah yang dimunculkan dari keengganan atas
fakta-fakta tertentu yang harus ada untuk menentukan keadilan umum dalam
permintaan sosial. (2) Mekanisme penguatan. Karakteristik penguatan adalah
setiap individu diharapkan bertanggung jawab untuk tahu teori-teori bagi diri
mereka sendiri dan juga memastikan bahwa orang lain juga mengetahuinya. Dan
mekanisme pengutana menjelma dalam seluruh aspek sosial. (3) Kontrak dan
Ideologi, ini tidak hanya individual sebagai anggota masyarakat, melakukan
pilihan atas diri mereka sendiri, tetapi mereka juga berinteraksi dengan
anggota lain dari masyarakat melalui transaksi yang difasilitasi oleh kontrak
eksplisit dan implisit.
Dengan ini, persoalan sosio-ekonomi tentunya tidak terlepas dari refleksi
etika atau moral, karena individu akan terkait dengan individu yang lain.
Menurut Keraf, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri
seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti
etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup
yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke
orang lain atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pengertian
yang luas, Keraf mengatakan bahwa etika…. dapat dirumuskan sebagai refleksi
krisis dan rasional mengenai: (a) nilai dan norma yang menyangkut bagaimana
manusia harus hidup baik sebagai manusia; dan mengenai (b) masalah-masalah
kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma moral yang
umum diterima.23
Menurut Keraf, prinsip dasar keadilan distributif adalah distribusi ekonomi
yang merata atau yang dianggap adil bagi semua warga negara. Dengan kata lain,
keadilan distributif menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau hasil-hasil pembangunan.24
Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa etika ekonomi sebenarnya adalah bicara mengenai
keadilan distributif. Menurut Bertens, berdasarkan keadilan ini negara atau
pemerintah harus membagi segalanya dengan cara yang sama kepada para anggota
masyarakat. Konkritnya dalam aspek sosial ekonomi adalah memberikan kesempatan
yang sama bagi semua warga untuk mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan
dengan pendapatan yang baik atau kehidupan layak. Bertens menyebutnya “keadilan
membagi”.25
Salah satu konsep penting dan fundamental yang menjadi pokok bahasan
dalam filasafat ekonomi Islam adalah konsep maqasid at-tasyri' atau maqasid
al-syariah yang menegaskan bahwa kesejahteraan dalam ekonomi Islam
disyari'atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Konsep ini
telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu
kaidah yang cukup populer,"Di mana ada maslahat, di sana terdapat hukum
Allah." Teori maslahat di sini menurut Masdar F. Masudi sama dengan teori
keadilan sosial dalam istilah filsafat hukum.26
Adapun inti dari konsep maqasid al-syariah adalah untuk
mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan
menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari maqasid al-syari'ah
tersebut adalah maslahat, karena penetapan kesejahteraan dalam pembangunan
ekonomi dalam Islam harus bermuara kepada maslahat. Untuk memahami hakikat dan
peranan maqasid al-syari'ah.
Konsep maslahah dalam bingkai terwujudnya tujuan maqashid al-syariah27 merupakan suatu konsep yang sangat penting dalam
menilai kinerja pembangunan. Dalam konteks kontemporer konsep ini menjadi
sangat penting manakala pengukuran kinerja pembangunan manusia hanya dilihat
pada aspek material belaka.
Sebagai sumber utama agama Islam, al-Qur’an dan Sunnah mengandung
berbagi ajaran. Namun demikian al-Qur’an tidak memuat berbagai aturan yang
terperinci tentang ibadah dan muamalah. Ia hanya mengandung dasar-dasar dan
prinsip-prinsip bagi berbagai masalah hukum dalam Islam. Dari titik inilah,
Rasulullas saw menjelasakan dari berbagai hadistnya, bahwa kedua sumber inilah
(al-Qur’an dan Hadis) yang dijadikan pijakan utama dalam pengembangan hukum
Islam, terutama dalam hal muamalah28
dalam kerangka inilah para ulama mengemukakan konsep maqashid al-Syar’iyah.
Dengan demikian, prinsip-prinsip dan kewajiban-kewajiban dalam syariah
menyangkut perlindungan maqashid al-Syar’iyah yang pada gilirannya
bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Kemaslahatan, dalam hal ini
diartiakan sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan
penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas
emosional dan intelektual dalam pengertian yang mutlak.
Imam al Haramain al Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli teori (ulama
usul al fiqh) pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid al
syari'ah dalam menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan bahwa
seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia
memahami benar tujuan Allah mengeluarkan perintah perintah dan larangan
larangan Nya.29
Kemudian al Juwaini mengelaborasi lebih jauh maqasid al syari'ah
itu dalam hubungannya dengan illat, asl dapat dibedakan menjadi lima bagian,
yaitu: asl yang masuk kategori daruriyat (primer), al hajat al
ammah (sekunder), makramat (tersier), sesuatu yang tidak masuk
kelompok daruriyat dan hajiyat, dan sesuatu yang tidak termasuk
ketiga kelompok sebelumnya. Dengan demikian pada prinsipnya al Juwaini membagi asl
atau tujuan tasyri' itu menjadi tiga macam, yaitu daruriyat, hajiyat
dan makramat (tahsiniyah).30
Pemikiran al Juwaini tersebut dikembangkan oleh muridnya, al Gazali. Al
Gazali menjelaskan maksud syari'at dalam kaitannya dengan pembahasan al
munasabat al maslahiyat dalam qiyas yang dalam pembahasannya yang lain, ia menerangkan
dalam tema istislah. Maslahat menurut al Gazali adalah memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Kelima macam maslahat di atas bagi al Gazali berada
pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi tujuannya,
yaitu peringkat primer, sekunder dan tersier. Dari keterangan ini jelaslah
bahwa teori maqasid al syari'ah sudah mulai tampak bentuknya.31
Selanjutnya, barulah pembahasan tentang maqasid al syari'ah
secara lebih khusus, sistematis dan jelas dilakukan oleh al Syatibi32
dari kalangan Malikiyah. Dalam kitabnya al Muwafaqat yang sangat
terkenal itu, ia menghabiskan lebih kurang sepertiga pembahasannya mengenai maqasid
al syari'ah. Sudah tentu, pembahasan tentang maslahat pun menjadi bagian
yang sangat penting dalam tulisannya. Ia secara tegas mengatakan bahwa tujuan
utama Allah menetapkan hukum hukum Nya adalah untuk terwujudnya maslahat hidup
manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklif dalam bidang hukum
harus mengarah pada dan merealisasikan terwujudnya tujuan hukum tersebut.
Seperti halnya ulama sebelumnya, ia juga membagi urutan dan skala prioritas maslahat
menjadi tiga urutan peringkat, yaitu daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.
Yang dimaksud maslahat menurutnya seperti halnya konsep al Gazali, yaitu
memelihara lima hal pokok, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
3.
Telaah Perbandingan
Terdapat tiga sistem ekonomi yang saat ini berkembang yakni Kapitalis,
Sosialis dan Mix Economic. Sistem ekonomi tersebut merupakan sistem ekonomi
yang berkembang berdasarkan pemikiran barat. Selain itu, tidak ada diantara
sistem ekonomi yang ada secara penuh berhasil diterapkan dalam perekonomian di
banyak negara. Sistem ekonomi sosialis atau komando hancur dengan bubarnya Uni
Soviet. Dengan hancurnya komunisme dan sistem ekonomi sosialis pada awal tahun
90-an membuat sistem kapitalisme disanjung sebagai satu-satunya sistem ekonomi
yang sahih. Tetapi ternyata, sistem ekonomi kapitalis membawa akibat negatif
dan lebih buruk, karena banyak negara miskin bertambah miskin dan negara kaya
yang jumlahnya relatif sedikit semakin kaya.33
Di antara perbedaan yang mendasar menyangkut paradigma, dasar dan
filosofi ke tiga sistem ekonomi tersebut. Dalam ekonomi sosialis, paradigma
yang digunakan adalah Marxis yang tidak mengakui pemilikan secara individual.
Semua kegiatan, baik produksi maupun yang lainnya ditentukan oleh negara dan
didistribusikan secara merata menurut kepentingan negara. Dasar yang digunakan
dalam ekonomi sosialis yaitu bahwa, pemilikan faktor produksi pribadi tidak
diakui. Sedangkan filosofinya semua anggota masyarakat merupakan satu kesatuan
yang mempunyai kesamaan hak, kesamaan tanggungjawab dan kesamaan lainnya, maka
semua orang harus sama tidak boleh ada perbedaan.
Sosialisme berpandangan bahwa manusia, alam semesta dan kehidupan
kesemuanya berasal dari materi. Tidak ada satu Dzat pun yang menciptakan-Nya.
Demikian pula pandangannya terhadap kehidupan manusia di dunia. Manusia
dibaratkan seperti jeruji yang berputar mengikuti roda. Artinya kehidupan
manusia berkembang sejalan dengan perkembangan materi. Selanjutnya akan
melahirkan nilai-nilai dan aturan semisal aturan saat era pertanian akan
berganti ketika manusia memasuki era industrialisasi dan terus berganti dari
waktu ke waktu. Pada akhirnya, setelah manusia mati akan kembali menjadi
materi.
Dengan demikian falsafah sosialisme berdiri di atas bangunan meteri
(benda) dan dialektika materialisme tentulah tidak masuk akal dan bertentangan
dengan fakta. Materi tidaklah azali (tidak berawal dan tidak berakhir)
dan tidak mungkin pula berevolusi untuk menghasilkan aturan yang tertentu.
Sosialisme juga termasuk ideologi yang mengekang fitrah manusia. Naluri
beragama tidak diakui bahkan agama dianggap sebagai candu. Padahal, tidak ada
seorang manusia pun yang mampu membunuh naluri beragama.34
Sedangkan sistem ekonomi kapitalis merupakan sistem ekonomi memiliki
paradigma bahwa kegiatan ekonomi ditentukan oleh mekanisme pasar. Dasar
pemikiran yang digunakan bahwa semua orang merupakan makhluk ekonomi yang
berusaha untuk memenuhi kebutuhannya dengan tidak terbatas dan terus menerus
dilakukan sesuai kemampuannya. Maka lahirlah filosofi individualisme, sehingga
beranggapan bahwa semua orang berhak untuk memenuhi kebutuhannya
sebanyakbanyaknya dan berhak atas kekayaan yang dimilikinya secara penuh.
Faktor-faktor produksi dapat dikuasai secara individu dan digunakan oleh yang
bersangkutan sesuai dengan keinginannya tanpa dibatasi sepanjang sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Dasar filosofis
pemikiran ekonomi Kapitalis bersumber dari tulisan Adam Smith pada tahun 1776
dalam bukunya yang berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the
Wealth of Nations. Pada dasarnya isi buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran tingkah laku ekonomi
masyarakat. Dari dasar filosofi tersebut kemudian menjadi sistem ekonomi dan
pada akhirnya mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu gaya hidup (way
of life).35
Landasan atau sistem nilai (value based) yang membentuk
kapitalisme adalah sekulerisme dan materialisme, yang mana sekulerisme berusaha
untuk memisakan ilmu pengetahuan dari agama dan bahkan mengabaikan dimensi
normatif atau moral yang berdampak kepada hilangnya kesakralan koektif (yang
diperankan oleh agama) yang dapat digunakan untuk menjamin penerimaan keputusan
ekonomi social. Sedangkan paham materialisme cendrung mendorong orang untuk
memiliki pemahaman yang parsial tentang kehidupan dengan menganggap materi
adalah segalahnya baginya.36
Kapitalisme juga berpandangan bahwa kehidupannya manusia di dunia adalah
untuk mengejar kebahagiaan duniawi, yakni mencari kepuasan jasmani yang
sebesar-besarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa di tengah-tengah mereka
berkembang paham hedonisme, pragmatisme, dan utilitarianisme. Dan semua sarana
pemuasan tersebut dianggap tidak perlu diperoleh berdasarkan aturan agama.
Cukup diperoleh dengan aturan yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Bahkan
untuk kehidupan umum mereka bersikeras harus steril dari pengaruh aturan agama.
Setelah kehidupannya, manusia akan dibangkitkan lagi pada hari kiamat, hanya
saja kapitalisme tidak mengakui adanya perhitungan amal.
Kapitalisme tidak akan memuaskan akal karena bersifat kompromistis
dengan mencampurkan nilai yang haq (agama) dan batil. Adalah tidak mungkin
Tuhan sebagai Dzat yang mencipta dan mengatur manusia tidak diberikan kekuasaan
untuk itu. Kapitalisme juga tidak sesuai dengan fitrah manusia. Tabiat manusia
yang lemah dan terbatas seakan dipaksakan untuk membuat aturan sendiri. Oleh
karenanya tidaklah mungkin manusia mampu menciptakan aturan yang benar, dan ini
tampak dari sifat aturan kapitalisme yang tambal sulam.
Dengan demikian, segala aturan kehidupan masyarakat, termasuk di bidang
ekonomi, tidaklah diambil dari agama tetapi sepenuhnya diserahkan kepada
manusia, apa yang dipandang memberikan manfaat. Dengan azas manfaat (naf’iyyah)
ini, yang baik adalah yang memberikan kemanfaatan material sebesar-besarnya
kepada manusia dan yang buruk adalah yang sebaliknya. Sehingga kebahagiaan di
dunia ini tidak lain adalah terpenuhinya segala kebutuhan yang bersifat materi,
baik itu materi yang dapat diindera dan dirasakan (barang) maupun yang tidak
dapat diindera tetapi dapat dirasakan (jasa).
Berkaitan dengan masalah distribusi, system kapitalisme menggunakan asas
bahwa penyelesaian kemiskinan dan kekurangan dalam suatu negara dengan cara
meningkatkan produksi dalam negeri dan memberikan kebebasan bagi penduduk untuk
mengambil hasil produksi (kekayaan) sebanyak yang mereka produksi untuk negara.
Dengan terpecahkannya kemiskinan dalam negeri, maka terpecah pula masalah
kemiskinan individu sebab perhatian mereka pada produksi yang dapat memecah
masalah kemiskinan pada mereka. Maka solusi yang terbaik untuk menyelesaikan
permasalahan masyarakat adalah dengan meningkatkan produksi.37
Dengan demikian ekonomi hanya difokuskan pada penyediaan alat yang
memuaskan kebutuhan masyarakat secara makro dengan cara menaikkan tingkat
produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income), sebab
dengan banyaknya pendapatan nasional maka seketika itu terjadilah
pendistribusian pendapatan dengan cara membertikan kebebasan memiliki
dan kebebasan berusaha bagi semua individu masyarakat sehingga setiap
individu dibiarkan bebas memperoleh kekayaan sejumlah yang dia mampu sesuai
dengan faktor-faktor produksi yang dimilikinya dan memberikan kekayaannya kepada para ahli waris
secara mutlak apabila mereka meninggal dunia. Asas distribusi yang diterapkan oleh sistem
kapitalis ini pada akhirnya berdampak pada realita bahwa yang menjadi penguasa
sebenarnya adalah para kapitalis (pemilik modal dan konglomerat), oleh
karena itu hal yang wajar kalau kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah selalu berpihak kepada para pemilik modal atau konglomerat dan
selalu mengorbankan kepentingan rakyat sehingga terjadilah ketimpangan (ketidakadilan)
pendistribusian pendapatan dan kakayaan.38
4.
Keadilan Distributif Dalam
Ekonomi Islam
Berbeda dengan ilmu ekonomi kapitalis dan sosialis, sistem ekonomi syariah memiliki
paradigma syariah, yang berarti tidak lagi berorientasi kepada Marxis dan
pasar, melainkan berorientasi syariah (hukum) yang bersumber dari al-Quran dan
Hadis. Kemudian dilihat dari dasar dan filosofinya, tidak lagi sekedar
memperbincangkan antara kebersamaan dan individu, melainkan bersifat
menyeluruh, bahkan berorientasi kepentingan dunia dan akhirat, karena filosofi
Tauhid akan menaungi seluruh aktivitas hidup, bukan hanya sebatas ektivitas
ekonomi melainkan akan terintegrasi kepada semua aspek kehidupan, baik sosial,
ekonomi, budaya, politik, hukum, ilmu pengetahuan, teknologi, bahkan tataran
spiritual sekalipun.39
Disamping itu ilmu ekonomi syariah juga merupakan ilmu pengetahuan sosial
yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai
Islam. Muhammad bin Abdullah al-Arabi mendefinisikan ekonomi syariah sebagai
kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang kita ambil dari al-Qur’an,
sunnah dan pondasi ekonomi yang kita bangun atas dasar pokok-pokok itu dengan
mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu.40
Jadi sangat jelas bahwa ekonomi syariah terkait dan mempunya hubungan yang erat
dengan agama yang membedakannya dari sistem ekonomi kapitalis.
Ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu
interdisipliner yang menjadi bahan kajian para fuqaha, mufassir, sosiolog dan
politikus, diantaranya Abu Yusuf, Yahya bin Umar, Ibnu Khaldun41
dan lainnya. Konsep ekonomi para cendikiawan muslim tersebut berakar pada hukum
Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits sehingga ia sebagai hasil
interpretasi dari berbagai ajaran Islam yang bersifat abadi dan universal,
mengandung sejumlah perintah serta mendorong umatnya untuk mempergunakan
kekuatan akal pikirannya.42
Islam memandang pemahaman
bahwa materi adalah segalahnya bagi kehidupan sebagaimana menurut kaum
kapitalisme dan sosialisme yakni merupakan pemahaman yang salah, sebab manusia
selain memiliki dimensi material juga memiliki dimensi non material
(spiritual). Dalam realitanya tampak sekali bahwa paham materialisme membawa
kehidupan manusia kepada kekayaan, kesenangan dan kenikmatan fisik belaka
dengan mengabaikan dimensi non materi.
Dalam ekonomi
yang berbasis Islam kedua dimensi tersebut (material dan non material)
tercakup didalamnya sebagaimana tercermin dari nilai dasar (value based)
yang dimilikinya, yaitu ketuhidan, keseimbangan, kebebasan kehendak dan
betanggung jawab.43
Ketauhidan berfungsi untuk membedakan sang khaliq dan makhluknya yang diikuti
dengan penyerahan tanpa syarat oleh setiap makhluk terhadap kehendak-Nya serta
memberikan suatu perspektif yang pasti yang menjamin proses pencarian kebenaran
oleh manusia yang pasti tercapai sepanjang menggunakan petunjuk Allah.
Keseimbangan merupakan dimensi horisontal dari Islam yang dalam perspektif yang
lebih praktis meliputi keseimbangan jasmani-ruhani, material-non material,
individu dan sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan kebebasan kehendak disini
adalah kebebasan yang dibingkai dengan tauhid, artinya manusia bebas
tidak sebebas-bebasnya tetapi terikat dengan batasan-batasan yang diberikan
oleh Allah. Dan tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari adanya
kebebasan yang tidak hanya mencakup seluruh perbuatan di dunia dan akhirat saja
tetapi juga terhadap lingkungan di sekitarnya.44
Etika dalam perilaku ekonomi sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah,
atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan
ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran
dan paham dalam ekonomi Barat menunjuk pada kitab Injil (Bible), dan etika
ekonomi Yahudi banyak menunjuk pada Taurat. Demikian pula etika ekonomi Islam
termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam al-Quran. Namun
jika etika agama Kristen-Protestan telah melahirkan semangat (spirit)
kapitalisme, maka etika agama Islam tidak mengarah pada Kapitalisme maupun
Sosialisme. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan
Sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus
yaitu: Kesatuan (Unity atau Tauhid), Keseimbangan atau
kesejajaran (Equilibrium atau Al-‘Adl wal Ihsan), Kebebasan (Free
will atau Ikhtiyar), Tanggungjawab (Responsibility atau Fardh).45
Sistem ekonomi Islam berbeda dari Kapitalisme, Sosialisme, maupun Negara
Kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari Kapitalisme karena Islam menentang
eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang
penumpukan kekayaan. "Kecelakaanlah bagi setiap . yang mengumpulkan harta
dan menghitung-hitung" (104-2). Orang miskin dalam Islam tidak dihujat
sebagai kelompok yang malas dan yang tidak suka menabung atau berinvestasi.
Ajaran Islam yang paling nyata menjunjung tinggi upaya pemerataan untuk mewujudkan
keadilan sosial, "jangan sampai kekayaan hanya beredar dikalangan
orang-orang kaya saja diantara kamu" (59:7). Disejajarkan dengan
Sosialisme, Islam berbeda dalam hal kekuasaan negara, yang dalam Sosialisme
sangat kuat dan menentukan. Kebebasan perorangan yang dinilai tinggi dalam
Islam jelas bertentangan dengan ajaran Sosialisme.
Akhirnya ajaran Ekonomi Kesejahteraan (Welfare State), yang
berada di tengah-tengah antara Kapitalisme dan Sosialisme, memang lebih dekat
ke ajaran Islam. Bedanya hanyalah bahwa dalam Islam etika benar-benar dijadikan
pedoman perilaku ekonomi sedangkan dalam Welfare State tidak
demikian, karena etika Welfare State adalah sekuler yang tidak mengarahkan pada "integrasi vertikal" antara aspirasi materi dan spiritual. Demikian dapat dinyatakan bahwa dalam Islam pemenuhan kebutuhan materiil dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya, dan pengaturan oleh negara, meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter.
demikian, karena etika Welfare State adalah sekuler yang tidak mengarahkan pada "integrasi vertikal" antara aspirasi materi dan spiritual. Demikian dapat dinyatakan bahwa dalam Islam pemenuhan kebutuhan materiil dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya, dan pengaturan oleh negara, meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter.
Manusia sebagai wakil (kalifah) Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik
karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia
adalah kepercayaannya di bumi. Dari sini, selanjutnya Naqvi merumuskan lima
sasaran kebijakan yang ia tarik dari postulat-postulat etika dasar Islam yakni
menyangkut kebebasan indiviudu, keadilan distributive, pertumbuhan ekonomi,
pendidikan universal (untuk umum) dan peluang kerja maksimum46
disinilah Naqvi membuktikan bahwa system ekonomi Islam dapat mengantarkan pada
pencapaian pertumbuhan dan keadilan distributive secara simultan sekaligus
menjamin kebebasan individu tanpa mengorbankan kebijakan sosial.47
Terkait dengan teori distribusi, dalam ekonomi kapitalis dilakukan
dengan cara memberikan kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua
individu masyarakat, sehingga setiap individu masyarakat bebas memperoleh
kekayaan sejumlah yang ia mampu dan sesuai dengan factor produksi yang
dimilikinya dengan tidak memperhatikan apakah pendistribusian tersebut merata
dirasakan oleh semua individu masyarakat atau hanya bagi sebagian saja.48
Teori yang diterapkan oleh system kapitalis ini adalah salah dan dalam
pandangan ekonomi Islam adalah dzalim sebab apabila teori tersebut
diterapkan maka berimplikasi pada penumpukan kekayaan pada sebagian pihak dan
ketidakmampuan di pihak yang lain.
Sistem ekonomi
yang berbasis Islam menghandaki bahwa dalam hal pendistribusian harus
berdasarkan dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan keadilan
kepemilikan.49 Kebebasan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang
di bingkai oleh nilai-nilai agama dan keadilan tidak seperti pemahaman kaum
kapitalis yang menyatakannya sebagai tindakan membebaskan manusia untuk berbuat
dan bertindak tanpa campur tangan pihak mana pun, tetapi sebagai keseimbangan
antara individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya,
keseimbangan antara individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat
dengan masyarakat lainnya. Keberadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari
larangan dalam al-Qur’an agar supaya harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi
barang dagangan yang hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, akan tetapi
diharapkan dapat memberi kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai
suatu keseluruhan.
Dalam system ekonomi kapitalis bahwa kemiskinan dapat diselesaikan
dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national
income) adalah teori yang tidak dapat dibenarkan dan bahkan kemiskinan
menjadi salah satu produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola
distribusi kekayaan secara tidak adil Fakta empirik menunjukkan, bahwa
bukan karena tidak ada makanan yang membuat rakyat menderita kelaparan
melainkan buruknya distribusi makanan. Mustafa E Nasution pun menjelaskan bahwa
berbagai krisis yang melanda perekonomian dunia yang menyangkut sistem ekonomi
kapitalis dewasa ini telah memperburuk tingkat kemiskinan serta pola pembagian
pendapatan di dalam perekonomian negara-negara yang ada, lebih-lebih lagi
keadaan perekonomian di negara-negara Islam.50
Ketidakadilan tersebut juga tergambar dalam pemanfaatan kemajuan teknik
yang dicapai oleh ilmu pengetahuan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang
relatif kaya, yang pendapatannya melebihi batas pendapatan untuk hidup
sehari-hari sedangkan mereka yang hidup sekedar cukup untuk makan sehari-hari
terpaksa harus tetap menderita kemiskinan abadi, karena hanya dengan mengurangi
konsumsi hari ini ia dapat menyediakan hasil yang kian bertambah bagi hari
esok, dan kita tidak bisa berbuat demikian kecuali bila pendapatan kita
sekarang ini bersisa sedikit di atas keperluan hidup sehari-hari.51
Sistem ekonomi Islam sangat melindungi kepentingan setiap warganya baik
yang kaya maupun yang miskin dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si
kaya untuk memperhatikan si miskin. Islam mengakui sistem hak milik pribadi
secara terbatas, setiap usaha apa saja yang mengarah ke penumpukan kekayaan
yang tidak layak dalam tangan segelintir orang dikutuk. al-Qur’an menyatakan
agar si kaya mengeluarkan sebagian dari rezekinya untuk kesejahteraan
masyarakat, baik dengan jalan zakat, sadaqah, hibah, wasiat dan sebagainya,
sebab kekayaan harus tersebar dengan baik.
3.
Penutup
Perbincangan mengenai ekonomi Islam adalah erat kaitannya dengan sistem
ekonomi yang telah dibangun sebelumnya. Adanya ungkapan bahwa sistem ekonomi
Islam adalah hasil adopsi dari rancang bangun sistem ekonomi sebelumnya. Sistem
ekonomi konvensional selanjutnya disebut dengan sistem ekonomi sosialis dan
kapitalis mungkin mempunyai andil besar dalam membagun sistem perekonomian di
dunia, tetapi dengan tidak mengenyampingkan peran ekonomi Islam.
Dalam sistem
ekonomi Islam, etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran
tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakanekonomi, bersumber
terutama dari ajaran agama. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme
dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat
sifat sekaligus yaitu: Kesatuan (Unity atau Tauhid), Keseimbangan
atau kesejajaran (Equilibrium atau Al-‘Adl wal Ihsan), Kebebasan
(Free will atau Ikhtiyar), Tanggungjawab (Responsibility atau
Fardh).
Konsep etika
religious ini menunjukkan suatu keadaan keseimbangan dan kesejajaran sosial
yang tinggi. Ini adalah sebuah alasan mengapa prinsip-prinsip etik merupakan
nilai fundamental, yang merangkum sebagian besar ajaran etik Islam -yakni
diinginkannya pemerataan kekayaan dan pendapatan, keharusan membantu
penyesuaian-penyesuaian dalam spektrum hubungan-hubungan distribusi, produksi,
konsumsi dan sebagainya. Inilah mungkin yang perlu dicatat bahwa sistem ekonomi
Islam akan lebih disukai orang-orang Islam dari pada sosialisme dan
kapitalisme, tidak berarti dalam dunia nyata, preferensi demikian itu akan
benar-benar terlaksana, untuk bisa terjadi, sistem ekonomi Islam yang real,
manakala itu diterapkan, akan berhadapan dengan tantangan dari sistem-sistem
ekonomi yang ada (kapitalisme dan sosialisme).
Untuk memastikan
bahwa orang-orang Islam benar-benar melaksanakan preferensi tersebut, sistem
ekonomi Islam harus bertindak lebih baik daripada sistem-sistem lain dalam
menjamin pertumbuhan ekonomi dengan keadilan distributif, dengan mengakui
secara eksplisit kebutuhan kalangan yang kurang beruntung dalam masyarakat. Ini
tidak akan terjadi hanya dengan menunjukkan sifat ilahiyah sistem ekonomi Islam
tetapi dengan keberhasilannya mencapai tujuan yang bersifat ilahiyah di dunia
modern. Tetapi untuk melakukan ini, tujuan-tujuan dan target-target ekonomi
Islam perlu dijabarkan dengan jelas, dan instrumen-instrumen kebijakan yang
dirancang untuk mencapainya harus dipilih secara hati-hati, dengan membuka
ruang yang luas bagi munculnya inovasi dan fleksibilitas dalam memilih baik
tujuan maupun sarana.
Sistem yang
berkeadilan dalam pendistribusian dalam sistem ekonomi kapitalis mendorong
ketidakadilan dan ketimpangan pendapatan dalam masyarakat menimbulkan konflik
dan menciptakan kemiskinan yang permanen bagi warga masyarakat. Dengan
kebobrokan tersebut maka sudah seharusnya untuk ditinggalkan dan diganti dengan
system ekonomi Islam yang mengedepankan nilai kebebasan dalam bertindak dan
berbuat dengan dilandasi oleh ajaran agama serta nilai keadilan dalam
kepemilikan.
4.
Pustaka
Sonny Keraf. 1998. Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius
K. Bertens. 2000. Pengantar Etika
Bisnis. Yogyakarta: Kanisius
Fazlurrahman. 1984. Islam.
Bandung: Penerbit Pustaka
Muhammad Husain Abdullah. 2003. Mafahim
Islamiyah. (Terj. M. Romli). Jawa Timur: Al-Izzah.
Arief Budiman. 1996. Teori Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Carl Joachim Friedrich 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis.
Bandung: Nuansa dan Nusamedia
Ahmad Zaenal Fanani. Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat
Hukum dan Islam. Makalah
Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo. 2006. Teori Keadilan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Amri Amir. Sistem Ekonomi Syariah. Makalah disampaikan pada
September 2008.
M. Umar Chafra. 2001. The Future of Economic an Islamic
Perspectif. Jakarta: SEBI.
M.B. Hendrie Anto. 2003. Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta:
Ekonisia.
M. Abdul Karim. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam.
Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Ibnu Khaldun. 2000. Muqaddimah.
Cet.2. (Terj. Ahmadie Thoha). Jakarta: Pustaka Firdaus
Sonny Keraf. 1996. Pasar Bebas,
Keadilan dan Peran Pemerintah. Yogyakarta: Kanisius.
Mubyarto. Etika, Agama dan Sistem
Ekonomi. Makalah disampaikan pada Pertemuan III Seminar Pendalaman Ekonomi
Rakyat, YAE-Bina Swadaya, di Financial Club, Jakarta, 19 Februari 2002.
Adiwarman Azwar Karim. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:
Rajawali Pers
___________________. 2004. Bangunan
Ekonomi Yang Berkeadilan (Teori,
0 comments:
Post a Comment