Sunday, June 17, 2012

PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARI’AH MELALUI BASYARNAS


KATA PENGANTAR
                                                        
            Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan Taufiq, Hidayah, Rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga Makalah ini dapat selesai pada waktu yang telah ditentukan sebagai tugas kami selaku mahsiswa/ mahasiswi.
            Pada kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang ikut serta dalam memberi masukan kepada penyusun, baik secara langsung atau tidak langsung. Baik berupa dukungan moril ataupun materil, sehingga penyusun bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik.
            Pada kesempatan ini juga penyusun ingin mengucapkan kata maaf kepada para pembaca. Karena tentunya sangat banyak kelemahan dan kesalahan dalam makalah ini, namun itu semua semata-mata kesalahan dan kekurangan dari penulis pribadi. Dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah selanjutnya bisa di selesaikan dengan lebih baik. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penyusun dan pembaca.


                                                                                                          Mataram, 16 Mei 2012

                                                                                                                        Penyusun




DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………….
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………………………
BAB II. PEMBAHASAN………………………………………………………………….
A.    Pengertian, Prinsip dan Tujuan Penyelesaian Sengketa…………………….....
B.      Mekanisme Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa ( Alternatif Dispute Resolution)…………………………………….
C.     Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah……………………………………
BAB III. PENUTUP DAN KESIMPULAN………………………………………………



BAB I
PENDAHULUAN
Lahirnya UU No. 7 Tahun 1992, UU No. 10 Tahun 1998 dan UU No. 23 Tahun 1990 sebenarnya sudah menjadi dasar hukum yang kuat bagi terselenggaranya Perbankan Syariah di Indonesia, walaupun masih ada beberapa hal yang masih perlu disempurnakan, diantaranya perlunya penyusunan dan penyempurnaan ketentuan perundang-undangan mengenai operasionalisasi bank syariah secara tersendiri agar apabila terjadi suatu persengketaan dalam hal ini hubungannya dengan perbankan syariah dapat teratasi dengan merujuk pada UU yang berlaku.
Pada awalnya yang menjadi kendala hukum bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah hendak dibawa kemana penyelesaiannya, karena Pengadilan Negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara, sedangkan wewenang Pengadilan saat itu menurut UU No. 7 Tahun 1989 hanya terbatas mengadili perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqoh. Sehingga kemudian untuk mengantisipasi kondisi darurat maka didirikan Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung RI dan MUI.









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian, Prinsip dan Tujuan Penyelesaian Sengketa
1.      Pengertian
Penyelesaian sengketa atau lebih dikenal dengan nama Ash-Shulhu berarti memutus pertengkaran atau perselihan atau dalam pengertian syariatnya adalah suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa) antara 2 orang yang bersengketa.
2.      Prinsip
Penyelesaian sengketa memiliki prinsip tersendiri agar masalah-masalah yang ada dapat terselesaikan dengan benar. Diantara prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
Ø  Adil dalam memutuskan perkara sengketa, tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam pengambilan keputusan.
Ø  Kekeluargaan
Ø   Win win solution, menjamin kerahasian sengketa para pihak
Ø   Menyelesaiakan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan
3.      Tujuan
Tujuan diadakannya penyelesaian sengketa ini agar setiap permasalahan-permasalahan yang ada dalam perbankan dapat terselesaikan dengan sebagaimana mestinya. Sehingga tidak menimbulkan bersengketaan yang berujung pada ketidakadilan, dalam Islam juga tidak diperbolehkan berselisih yang berkepanjangan karena dapat menimbulkan persengketaan.


B.     Mekanisme Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternatif Dispute Resolution)
1.      Mediasi Perbankan
Mediasi menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian atau seluruh permasalahan yang disengketakan.
Pelaksanaan fungsi mediasi perbankan oleh Bank Indonesia ini dilakukan dengan mempertemukan nasabah dan bank untuk mengkaji kembali pokok permasalahan yang menjadi sengketa guna mencapai kesepakatan tanpa adanya rekomendasi maupun keputusan dari Bank Indonesia. Dalam rangka melaksanakan fungsi mediasi perbankan tersebut Bank Indonesia menunjuk Mediator. Mediator yang ditunjuk harus memenuhi syarat sebagai berikut:
Ø  Memiliki pengetahuan di bidang perbankan, keuangan dan hokum
Ø  Tidak memiliki hubungan sedarah dengan nasabah atau Perwakilan Nasabah Bank
Ø   Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain atas penyelesaian sengketa.
ü  Mekanisme Penyelesaian Sengketa Melaui Jalur Mediasi Perbankan
Pengajuan penyelesaian Sengketa dalam rangka Mediasi perbankan kepada Bank Indonesia dilakukan oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a)      Diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen pendukung yang memadai antara lain bukti transaksi keuangan yang dilakukan Nasabah
b)       Pernah diajukan upaya penyelesaian oleh Nasabah kepada Bank, dibuktikan dengan bukti penerimaan pengaduan atau surat hasil penyelesaian pengaduan yang dikeluarkan Bank
c)      Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan atau belum terdapat kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga Mediasi lainnya.
d)     Sengketa yang diajukan merupakan sengketa keperdataan
e)      Pengajuan penyelesaian sengketa tidak melebihi 60 hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang disampaikan Bank kepada Nasabah.
Setelah persyaratan tersebut diatas terpenuhi, maka mulai dilakukan proses pemecahan sengketa dengan cara sebagai berikut.
Apabila sengketa itu tidak dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan, maka diselesaikan melalui seorang mediator dengan kesepakatan tertulis para pihak sengketa. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lambat 14 hari dengan bantuan mediator tidak berhasil juga mempertemukan kedua belah pihak, maka pihak dapat menghubungi lembaga alternative penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator, setelah itu proses mediasi harus sudah dapat dimulai . dalam waktu 30 hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yang terkait. Kesepakatan penyelesaian sengketa adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan dalam waktu paling lama 30 hari sejak penandatanganan.
Tidak seperti arbiter atau hakim, seorang mediator tidak membuat keputusan mengenai sengketa yang terjadi tetapi hanya membantu para pihak untuk mencapai tujuan mereka dan menemukan pemecahan masalah dengan hasil win win solution . tidak ada pihak yang kalah atupun menang,
Kecenderungan memilih alternatif penyelesaian sengketa (Alternatif Dispute Resolution) oleh masyarakat didasarkan oleh:
Ø  Kurang percayanya pada sistem pengadilan
Ø  Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase mulai menurun dikarenakan banyak ketentuan arbitrase yang tidak berdiri sendiri, melainkan mengikuti dengan ketentuan kemungkinan pengajuan sengketa ke pengadilan jika putusan arbitrasenya tidak berhasil di selesaikan.
2.      Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Arbitrase atau Arbitrage (Belanda), Arbitrase (latin), Tahkim (Islam). Menurut R. Subekti, mengartikan Arbitrase adalah suatu penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh seorang atau beberapa arbiter berdasarkan persetujuan para pihak yang akan mentaati keputusan yang diberikan oleh arbiter yang mereka pilih.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa bahwasanya arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.
Ketentuan hukum yang mengatur penyelesaian sengketa
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Arbitrase di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang. Hal ini disebabkan arbitrase sudah dikenal dalam peraturan perundang-undangan sejak berlakunya hukum acara perdata Belanda yaitu dengan Reglement op de Burgerlijke Rechsvordering. Saat ini yang menjadi dasar hukum pemberlakuan arbitrase adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mulai diberlakukan pada tanggal 12 Agustus 1999.
Biasanya dalam kontrak bisnis sudah disepakati dalam kontrak yang dibuatnya untuk menyelesaiakan sengketa dapat diserahkan kepada forum-forum tertentu sesuai dengan kesepakatan. Ada yang langsung ke lembaga pengadilan atau ada juga melalui lembaga di luar pengadilan yaitu arbitrase (choice of forum/choice of jurisdiction). Disamping itu, dalam klausul yang dibuat oleh para pihak ditentukan pula hukum mana yang disepakati untuk dipergunakan apabila dikemudian hari terjadi sengketa di antra mereka (choice of law).
Alternatif Penyelesaian Sengketa (alternative dispute resolution) diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa : “alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.”Maka terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga selain pengadilan (non litigasi), seperti arbitrase atau perdamaian (islah).
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”
Pada dasarnya para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri cara dan proses pemeriksaan sengeketa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan oleh arbiter yang telah ditunjuk atau diangkat tersebut. Penentuan tersebut harus dilakukan secara jelas dan tidak boleh bertentangan dengan apa yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.
Arbitrase menurut Undang-undang No. 30 Tahun 1999 diartikan sebagai cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak bersengketa. Dari defenisi tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam hal arbitrase ini terdapat tiga faktor penting, yakni:
a.       Arbitrase itu merupakan salah satu bentuk perjanjian.
b.      Perjanjian arbitrase harus tertulis.
c.       Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan diluar peradilan.
Di Indonesia terdapat beberapa lembaga arbitrase untuk menyelesaikan berbagai sengketa bisnis yang terjadi dalam lalu lintas perdagangan, antara lain BASYARNAS (Badan Arbitrase Syari`ah Nasional) yang khusus menangani masalah persengketaan dalam bisnis Islam dan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang khusus meneyelesaikan sengketa bisnis non Islam.
Badan Arbitrase Syari`ah Nasional (BASYARNAS) saat didirikan bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI didirikan pada tanggal 21 Oktober 1993, berbadan hukum Yayasan. Perubahan nama dari BAMUI menjadi BASYARNAS diputuskan dalam Rakernas MUI tahun 2002. Perubahan nama,
Pasal 1 Angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, badan Arbitrase syari`ah Nasional (Basyarnas) berdiri secara otonom dan independen sebagai salah satu instrument hukum yang menyelesaikan perselisihan antara pihak, baik yang datang dari dalam lingkungan bank syari`ah, asuransi syari`ah, maupun pihak lain yang memerlukannya. Bahkan, dari kalangan non muslim pun dapat memanfaatkan Badan Arbitrase Syari`ah Nasional (Basyarnas) sepanjang yang bersangkutan mempercayai kredibilitasnya dalam menyelesaikan sengketa.
Keberadaan BAMUI yang saat ini menjadi BASYARNAS didukung oleh fatwa-fatwa Dewan Syari`ah Nasional (DSN) sebagai bagian perangkat MUI yang menghendaki adanya klausula penyelesaian sengketa oleh Badan Arbitrase Syari`ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Penyelesaian melalui arbitrase (Basyarnas) dapat dilakukan apabila terjadi kesepakatan dan dicantumkan dalam akta/akad sejak awal sebelum terjadi sengketa disebut “pactum compromittendo” Atau dibuat ketika terjadi sengeta akta kompromis. “Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase seperti pada ayat (1) dimuat dalam satu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak”. Basyarnas mempunyai kewenangan menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah (perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain, sesuai dengan peraturan prosedur Basyarnas.
Sebagai salah satu bentuk sosialisasi, sebelum disahkannya Undang-undang Peradilan Agama, Dewan Syari`ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengeluarkan fatwa yang menyatakan, “Jika mengalami sengketa di bidang ekonomi syari`ah, masyarakat dapat memilih jalur non litigasi melalui Basyarnas atau jalur litigasi melalui Peradilan Agama.”
Keputusan yang dibuat oleh Basyarnas mempunyai kekuatan mengikat. Sebelum disahkan Undang-undang Peradilan Agama setiap salinan putusan dikirim ke Pengadilan Negeri sekarang berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2008 dikirim ke Pengadilan Agama dan eksekusi dilakukan oleh Pengadilan Agama. Hakim Pengadilan Agama apalagi Hakim Pengadilan Negeri tidak lagi
Memeriksa perkara yang sudah diputus Basyarnas. Putusan arbitrase bersifat final and binding. Final mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat, tidak ada banding, kasasi maupun peninjauan kembali (PK). Berbeda jika diajukan ke Pengadilan karena masih dapat diajukan banding, kasasi bahkan peninjauan kembali.
Paling lama dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan Badan Arbitrase Syari`ah diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Agama yang darah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon dalam penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Syari`ah.
Untuk dapat menyelesaikan perselisihan di Basyarnas, salah satu pihak harus mengajukan permohonan. “berdasarkan isi surat perjanjian (akad). Perselisihan diperiksa oleh hakim tunggal atau majelis, bergantung pada tingkat kesulitan perkara. Para arbiter (hakim) adalah pakar dibidangnya, setiap panel terdiri dari pakar hukum dan syari`at serta praktisi bisnis atau keuangan syari`ah. Lebih dua puluh pakar bergabung dalam arbitrase. Mereka akan datang sesuai penunjukan dan bidang masalah.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang- undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Lembaga arbitrase (hakam) telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada masa itu, meskipun belum terdapat sistem peradilan yang terorganisir, setiap ada perselisihan mengenai hak waris, hak milik seringkali diselesaikan melalui bantuan juru damai yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang berselisih.

Gagasan berdirinya lembaga arbitrase Islam di Indonesia, diawali dengan bertemunya para pakar cendikiawan muslim, praktisi hukum, para ulama untuk bertukar pikiran tentang perlunya lembaga arbitrase Islam di Indonesia. Pertemuan ini dimotori oleh Dewan Pimpinan MUI pada tanggal 22 April 1992. setelah mengadakan rapat beberapa kali penyempurnaan terhadap rancangan struktur organisasi dan prosedur beracara akhirnya pada tanggal 23 Oktober 1993 telah diresmikan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), sekarang telah berganti nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
ü  Mekanisme Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur BASYARNAS
BASYARNAS sebagai lembaga permanent yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan , jasa. Pendirian lembaga ini awalnya dikaitkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Lembaga arbitrase Syariah merupakan penyelesaian sengketa secara syariah antara kedua pihak di jalur pengadilan untuk mencapai kesepakatan maslahah ketika upaya mufakat tidak tercapai.
Disamping itu badan ini dapat memberikan suatu rekomendasi atau pendapat hukum, yaitu pendapat yang mengikat adanya suatu persoalan tertentu yang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian atas permintaan para pihak yang mengadakan perjanjian untuk diselesaikan.
Apabila jalur arbitrase tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka lembaga peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara tersebut. Hakim harus memperhatikan rujukan yang berasal dari arbiter yang sebelumnya telah menangani kasus tersebut sebagai bahan pertimbangan untuk menghindari lamanya proses penyelesaian
ü  Kewenangan BASYARNAS
a)      Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain yang menurut hokum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada BASYARNAS sesuai dengan peraturan prosedur yang berlaku.
b)      Memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan berkenaan dengan suatu perjanjian.
ü  Putusan BASYARNAS
a)      Dalam waktu selambat-lambatnya 180 hari sejak ditunjuk sebagai Arbiter, seluruh pemeriksaan hingga putusan harus selesai
b)      Salinan resmi putusan arbitrase didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat
ü  Keunggulan dan kekurangan BASYARNAS

1.       BASYARNAS memiliki keunggulan-keunggulan, diantaranya:

a)      Memberikan kepercayaan kepada para pihak, karena penyelesaiannya sevara terhormat dan bertanggung jawab
b)      Para pihak menaruh kepercayaan yang besar pada arbiter, karena ditangani oleh orang-orang yang ahli dibidangnya
c)        Proses pengambilan keputusan cepat
d)      Para pihak menyerahkan persengketaannya secara sukarela kepada orang-orang (badan) yang dipercaya
e)      Didalam proses arbitrase pada hakekatnya terkandung perdamaian dan musyawarah
f)       BASYARNAS akan memberikan peluang bagi berlakunya hukum Islam sebagai pedoman penyelesaian perkara.
2.      BASYARNAS memiliki kekurangan-kekurangan, diantaranya:
a)      Kurangnya manajemen SDM yang ada sehingga masih harus berbenah diri agar dapat mengimbangi pesetnya perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia
b)       Belum sepenuhnya menjadi lembaga yang dipercaya masyarakat
c)       Keterbatasan jaringan kantor BASYARNAS di daerah
d)     Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat dalam rangka penyebarluasan informasi dan meningkatkan pemahaman mengenai arbitrase syariah.
C.    Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah
Langkah-langkah yg bisa ditempuh oleh para pihak dalam rangka dispute resolution.

1.      Penyelesaian Internal melalui jalur musyawarah
2.      Penyelesaian melalui perantara pihak ketiga (non litigasi)
a)      Lembaga Pengaduan Nasabah
b)       Mediasi

3.      Penyelesaian sengketa melalui litigasi:
a)      Arbitrase (UU No. 30/1999)
b)      Peradilan Agama (UU No. 3/2006)

Penyelesaian Sengketa (Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah)
1.      Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
2.       Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.
3.      Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.
Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:
a)      Musyawarah
b)      Mediasi perbankan
c)      Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau
d)     Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
            Contoh Klausula Penyelesaian Sengketa
Ø  Penyelesaian Perselisihan
1.      Apabila di kemudian hari terjadi perbedaan pendapat atau penafsiran atas hal-hal yang tercantum di dalam Akad ini atau terjadi perselisihan atau sengketa dalam pelaksanaan Akad ini, para pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara musyawarah untuk mufakat.
2.      Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud ayat 1 Pasal ini tidak tercapai, maka Para Pihak bersepakat, dan dengan ini berjanji serta mengikatkan diri satu terhadap yang lain, untuk menyelesaikannya melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) menurut Peraturan dan Prosedur Arbitrase yang berlaku di dalam Badan Arbitrase tersebut.
3.      Para pihak sepakat, dan dengan ini mengikatkan diri satu terhadap yang lain, bahwa pendapat hukum (legal opinion) dan/atau putusan yang ditetapkan oleh BASYARNAS tersebut sebagai keputusan tingkat pertama dan terakhir.
4.      Tanpa mengurangi tempat pokok BASYARNAS di Jakarta yang ditentukan di dalam Peraturan dan Prosedur Arbitrase BASYARNAS, Para Pihak bersepakat memilih tempat pelaksanaan arbitrase di kota tempat cabang BANK berada. Namun penunjukan dan pembentukan Arbiter atau Majelis Arbitrase dilakukan oleh Ketua BASYARNAS.
5.      Mengenai pelaksanaan (eksekusi) putusan BASYARNAS, sesuai dengan ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Para Pihak sepakat bahwa Para Pihak dapat meminta pelaksanaan (eksekusi) putusan BASYARNAS tersebut pada setiap Pengadilan Negeri di wilayah hukum Republik Indonesia.
Ø  Penyebab terjadinya sengketa
1.      Wanprestasi: tidak dipenuhinya prestasi oleh salah satu pihak berupa tidak berprestasi sama sekali, berprestasi tetapi tidak tepat, terlambat dalam berprestasi, atau melakukan sesuatu yang dilarang dalam perjanjian.
2.      Perbuatan melawan hukum (onrechtsmatigdaad): intinya adalah perbuatan yang dilakukan dengan kesalahan dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain sehingga pihak dimaksud wajib mengganti kerugian.
3.      Force Majeur: keadaan dimana seorang debitur tidak dapat berprestasi karena adanya keadaan yang tidak dikehendaku dan diluar batas kemampuannya.
            Contoh wanprestasi pada Akad Syariah
1.      Nasabah tidak melaksanakan kewajiban pembayaran/pelunasan (harga sewa, harga beli, bagi hasil) tepat pada waktu yang diperjanjikan sesuai dengan tanggal jatuh tempo atau jadwal angsuran yang telah diserahkan NASABAH kepada BANK;
2.      Dokumen atau keterangan yang dimasukkan/disuruh masukkan ke dalam dokumen yang diserahkan NASABAH kepada BANK, sebagaimana dimaksud palsu, tidak sah, atau tidak benar;
3.      Pihak yang bertindak untuk dan atas nama serta mewakili NASABAH dalam Akad ini menjadi pemboros, pemabuk, atau dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti (in kracht van gewijsde) karena tindak pidana.
Ø  Akibat Cidera Janji (Wanprestasi):
1)      Akad Ijarah
·         Dengan mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata, Bank berhak untuk:
a)      Menghentikan jangka waktu sewa yang ditentukan dalam Akad ini dan BANK berhak meminta NASABAH untuk membayar sisa Harga Sewa serta mengembalikan atau menyerahkan kembali Obyek Sewa kepada BANK dalam kondisi baik dan layak serta mengosongkan Obyek Sewa tersebut; atau
b)      Menyewakan Obyek Sewa tersebut kepada pihak ketiga lainnya yang ditunjuk oleh BANK tanpa memerlukan persetujuan NASABAH dan NASABAH bersedia untuk mengembalikan atau menyerahkan kembali Obyek Sewa kepada BANK dalam kondisi baik dan layak serta mengosongkan Obyek Sewa tanpa berhak atas ganti rugi apapun dari BANK.
Dengan demikian akibat cidera janji (wanprestasi) adalah dapat menghentikan seluruh atau sebagian dari isi Akad ini, menagih seketika dan sekaligus jumlah kewajiban NASABAH kepada BANK sebelum jangka waktu Akad berakhir.
a)      Perbuatan Melawan Hukum
Pasal 1365 KUH Perdata:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Pasal 1366 KUH Perdata.
Bentuk-bentuk perbuatan melawan hukum
·         Perbuatan yang bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan.
·         Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.
·         Perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban umum.
·         Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.
Dasar Hukum
1.      PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
2.      PBI No. 10/10/PBI/2008 tentang Perubahan Atas PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
Ketentuan dalam Lembaga Pengaduan Nasabah.
1.      Bank wajib menyelesaikan setiap Pengaduan yang diajukan Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah terkait dengan permasalahan yang muncul akibat kelalaian bank dalam transaksi keuangan.
2.      Transaksi Keuangan adalah pemanfaatan produk dan atau jasa perbankan maupun produk dan atau jasa lembaga keuangan lain dan atau pihak ketiga lainnya yang ditawarkan melalui Bank.
3.       Kewajiban Bank untuk menyelesaikan Pengaduan mencakup kewajiban menyelesaikan Pengaduan yang diajukan secara lisan dan atau tertulis oleh Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah, termasuk yang diajukan oleh suatu lembaga, badan hukum, dan atau bank lain yang menjadi Nasabah Bank tersebut
4.      Pada prinsipnya, Bank tidak diperkenankan menolak setiap pengaduan yang diajukan secara lisan maupun tertulis.
5.      Untuk pengaduan lisan, bank wajib menyelesaikannya dalam waktu 2 hari kerja.
6.      Untuk pengaduan tertulis wajib diselesaikan dalam waktu 20 hari kerja dan dapat diperpanjang hingga 20 hari kerja berikutnya apabila terdapat kondisi-kondisi tertentu.
Tujuan Lembaga Pengaduan Nasabah
Dari perspektif regulator, penerbitan PBI Penyelesaian Pengaduan Nasabah ini memiliki dua tujuan utama, yaitu:
1.      untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan.
2.       untuk menurunkan publikasi negatif terhadap bank yang dapat mempengaruhi reputasi bank tersebut.
            Manfaat bagi Bank
1.      Mengidentifikasi permasalahan yang terdapat pada produk-produk yang ditawarkannya kepada masyarakat;
2.      Mengidentifikasi penyimpangan kegiatan operasional pada kantor-kantor bank tertentu yang mengakibatkan kerugian pada nasabah;
3.      Memperoleh masukan secara langsung dari nasabah mengenai aspek-aspek yang harus dibenahi untuk mengurangi risiko operasional; dan
4.       Memperbaiki karakteristik produk untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan nasabah.
            Penyelesaian Melalui Proses Mediasi Perbankan
Mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat (Dept. P&K, 1997:640).
Mediasi (Perbankan) adalah proses penyelesaian Sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan.
            Dasar Hukum Mediasi Perbankan
1.      UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
2.      PBI dimaksud telah diubah dengan PBI No. 10/1/PBI/2008
            Elemen Mediasi
Ø  Penyelesaian sengketa sukarela
Ø  Berbentuk intervensi/bantuan
Ø   Pihak ketiga yang tidak berpihak
Ø  Putusan diambil oleh para pihak yang bersengketa itu sendiri berdasarkan consensus
Ø  Dibutuhkan adanya partisipasi aktif dari pihak yang bersengketa
                     Pengaturan Mediasi Perbankan oleh Bank Indonesia.
            Penyelenggara Mediasi Perbankan
Lembaga Mediasi perbankan independen yang dibentuk asosiasi perbankan . Lembaga ini saat ini belum terbentuk, (akan dibentuk selambat-lambatnya 31 Des 2007), sehingga fungsi Mediasi Perbankan utk sementara dilaksanaan oleh Bank Indonesia.
Fungsi Mediasi Perbankan yang dilaksankan oleh Bank Indonesia tersebut hanya terbatas pada upaya membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang sengketa secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan.














BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dilihat dari penjelasan diatas bahwa dengan adanya Lembaga Keuangan Syariah, khususnya Bank Syariah yang mendasari prinsip operasionalnya berdasarkan syariah Islam, maka pemberlakuan hukum Syariah melekat pada lembaga tersebut. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa dalam Perbankan Syariah juga berbeda dengan penyelesaian sengketa dalam Perbankan Konvensional. Sehingga pemerintah mengeluarkan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang menetapkan kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara di bidang ekonomi Syariah.
Namun demikian, penyelesaian sengketa ekonomi syariah di luar pengadilan tetap dan masih dibutuhkan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini melalui lembaga arbitrase syariah, Basyarnas (Badan Arbitrase Syariah Nasional).
 

0 comments: