Beberapa materi pengaturan PBI yang berubah, antara lain:
1. Penghilangan instrumen aktiva produktif dalam bentuk SWBI/SBIS pada BPRS karena SBIS hanya dapat dibeli oleh bank umum syariah atau bank umum konvensional atau Unit Usaha Syariah, dan tidak dapat diperjualbelikan di pasar sekunder.
2. Perubahan istilah Proyeksi Pendapatan (PP) menjadi Proyeksi Bagi Hasil (PBH) dan Realisasi Pendapatan (RP) menjadi Realisasi Bagi Hasil (RBH), yang menjadi dasar dalam penetapan penggolongan kualitas Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah.
3. Penghilangan pembatasan jumlah revisi PP/PBH untuk Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah.
4. Penghapusan kewajiban pembayaran angsuran pokok secara berkala untuk Pembiayaan Mudharabah di atas 1 (satu) tahun.
5. Penegasan bahwa AYDA hanya dapat dilakukan untuk penyelesaian Pembiayaan yang telah tergolong Macet.
6. Perubahan penetapan penggolongan kualitas AYDA dari 4 (empat) golongan yaitu Lancar, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet menjadi 2 (dua) golongan yaitu Lancar apabilia dimiliki kurang dari atau sama dengan 1 (satu) tahun dan Macet apabilia dimiliki lebih dari 1 (satu) tahun.
7. Pelarangan penempatan dana BPRS pada bank konvensional kecuali dalam bentuk giro dan/atau tabungan pada bank umum konvensional untuk kepentingan transfer dana bagi BPRS dan nasabah BPRS.
8. Penetapan jenis dan nilai agunan nasabah BPRS yang dapat digunakan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA).
Dalam PBI yang baru, BPRS tidak lagi diwajibkan untuk menetapkan adanya angsuran pokok Pembiayaan Mudharabah. Apakah BPRS masih dapat menetapkan adanya pembayaran angsuran pokok secara berkala dalam Pembiayaan Mudharabah?
BPRS masih dapat menetapkan adanya pembayaran angsuran pokok secara berkala untuk Pembiayaan Mudharabah. Apa yang menjadi pertimbangan perubahan golongan kualitas AYDA dalam PBI yang baru ini?
Berdasarkan Undang-Undang Perbankan Syariah, AYDA wajib dicairkan dalam kurun waktu 1 (satu) tahun. Oleh karena itu, untuk mendorong BPRS agar mencairkan AYDA dalam kurun waktu tersebut maka diatur bahwa AYDA yang dimiliki BPRS lebih dari 1 (satu) tahun akan digolongkan menjadi Macet dan BPRS wajib membuat cadangan Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) sebesar 100% dari nilai AYDA.
Bagaimana status penetapan penggolongan kualitas AYDA yang dimiliki BPRS sebelum berlakunya PBI ini? Penggolongan kualitas AYDA yang telah dimiliki BPRS sebelum berlakuny PBI ini tetap mengacu pada PBI yang lama yaitu Lancar apabila dimiliki kurang dari atau sama dengan 1 (satu) tahun), Kurang Lancar apabila dimiliki lebih dari 1 (satu) tahun namun belum melebihi 2 (dua) tahun, Diragukan apabila dimiliki lebih dari 2 (dua) tahun namun belum melebihi 3 (tiga) tahun, dan Macet apabila dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun.
Dalam PBI baru ini, BPRS hanya diperkenankan menempatkan dana dalam bentuk giro dan tabungan pada bank umum konvensional. Bagaimana dengan penempatan yang telah dilakukan BPRS pada Bank Perkreditan Rakyat sebelum berlakunya PBI ini?
Penempatan dana BPRS pada Bank Perkreditan Rakyat yang dilakukan sebelum berlakunya PBI ini, wajib dicairkan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak berlakunya PBI ini.
1.Pengertian mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal.
Menurut bahasa, kata mudharabah berasal dari adh-dharbu fil ardhi, yaitu melakukan perjalanan untuk berniaga. Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (QS Al-Muzzammil : 20).
Mudharabah disebut juga qiradh, berasal dari kata qardh yang berarti qath (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya.
Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati (Fiqhus Sunnah III: 212).
B. Mudharabah Menurut Literatur Fiqh
Definisi Mudharabah
B. Mudharabah Menurut Literatur Fiqh
Definisi Mudharabah
1. Dalam fikih mu’amalah Mudharabah dinamakan juga dengan Qiradh, yaitu bentuk kerja sama antara pemilik modal (shohibul mal/rabbul mal) dengan pengelola (mudharib) untuk melakukan usaha dimana keuntungan dari usaha tersebut dibagi diantara kedua pihak tersebut, dengan rukun dan syarat tertentu.
2. Mudharabah menurut bahasa diambil dari bahasa arab yaitu dharb, maksudnya Adharbu fil ardhi yaitu bepergian untuk berurusan dagang, sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al Mujammil ayat 20:“ Dan yang lainnya bepergian dimuka bumi mencari karunia dari Allah”. ( QS. 73: 20 )
3. Menurut pandangan ulama ahli fiqih (fuqaha) Mudharabah adalah akad antara kedua belah pihak untuk salah seorangnya mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan dan laba dibagi sesuai dengan kesepakatan.
4. Ulama madzhab Syafi’i Mudharabah adalah sebagai berikut :“ Mudharabah adalah akad ( transaksi ) antara dua orang atau lebih, diantara yang satu menyerahkan harta atau modal kepada pihak kedua untuk dijalankan usaha, dan masing-masing mendapatkan keuntungan dengan syarat-syarat tertentu “.
5. Menurut Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa mudharabah adalah akad perwalian, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (emas dan perak).
6. Menurut M. Syafi’i Antonio, mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain (mudharib) menjadi pengelola, dimana keuntungan usaha dibagi dalam bentuk prosentase (nisbah) sesuai kesepakatan, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola, apabila kerugian itu diakibatkan oleh kelalaian si pengelola maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
C. Hukum Mudharabah dan Dasar Hukumnya.
Secara eksplisit dalam al-Qur‟an tidak dijelaskan langsung mengenai hokum mudharabah, meskipun ia menggunakan akar kata dl-r-b yang darinya kata mudharabah diambil sebanyak lima puluh delapan kali, namun ayat-ayat Qur’an tersebut memiliki kaitan dengan mudharabah, meski diakui sebagai kaitan yang jauh, menunjukkan arti “perjalanan” atau “perjalanan untuk tujuan dagang”5.
Dalam Islam akad mudharabah dibolehkan, karena bertujuan untuk saling membantu antara rab al-mal (investor) dengan pengelola dagang (mudharib). Demikian dikatakan oleh Ibn Rusyd (w.595/1198) dari madzhab Maliki bahwa kebolehan akad mudharabah merupakan suatu kelonggaran yang khusus. Meskipun mudharabah tidak secara langsung disebutkan oleh al-Qur‟an atau Sunnah, ia adalah sebuah kebiasaan yang diakui dan dipraktikkan oleh umat Islam, dan bentuk dagang semacam ini tampaknya terus hidup sepanjang periode awal era Islam sebagai tulang punggung perdagangan karavan dan perdagangan jarak jauh.
a. Al-Qur’an
Dasar hukum yang biasa digunakan oleh para Fuqaha tentang kebolehan bentuk kerjasama ini adalah firman Allah dalam Surah al- Muzzammil ayat 20 : ...وَآَخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّه
Artinya :
“....dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah....”.
(Al-muzammil : 20)
Artinya :
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu....”.
(al-Baqarah : 198).
Kedua ayat tersebut di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah SWT di muka bumi.
b. As-sunnah
Di antara hadis yang di berkaitan dengan mudharabah adalah hadis yang di riwayatkan olehIbn majah dari Shuhaib bahwa nabi SAW. Bersabda, yang artinya:
“ tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual beli yang di tangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain), dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjualbelikan.”
(HR.Ibn Majah dari Shuhaib)
c. Ijma
Di antara ijma’ dalam mudharabah, adanya riwayat menyatakan bahwa jamaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut tidak di tentang oleh yang lainnya.
d. Qiyas
Mudharabah di qiyaskan kepada al-musyaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun). Selain di antara manusia, ada yang miskin dan ada pula yang kaya. Di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hatanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang yang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian dengan adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golonngan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.
D. Rukun dan Syarat Mudharabah
Menurut Jumhur Ulama berpendapat bah wa rukun mudharabah, sebagaimana juga jenis pengelolaan usaha lainnya, memiliki tiga rukun,yaitu:
1. Adanya dua pelaku atau lebih, yaitu shahibul maal (pemilik modal) dan mudharib (pengelola).
2. Objek transaksi kerjasama, yaitu modal, usaha dan keuntungan.
3. Pelafalan perjanjian (shighat). Shighat adalah, ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighat ini terdiri dari ijab qabul.
SYARAT MUDHARABAH
a) ADANYA DUA PELAKU ATAU LEBIH.
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Pada rukun pertama ini, keduanya disyaratkan memiliki kompetensi (jaiz al-tasharruf), dalam pengertian, mereka berdua baligh, berakal, rasyid (normal) dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. Sebagian ulama mensyaratkan, keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim. Sebab, seorang muslim tidak dikhawatirkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram. Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya, dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap pengelolaan modal dari pihak muslim, sehingga terbebas dari praktek riba dan haram.
b) MODAL
Ada empat syarat modal yang harus dipenuhi.
a) Modal harus berupa alat tukar atau satuan mata uang (al-naqd).
b) Modal yang diserahkan harus jelas diketahui Modal diserahkan harus tertentu
c) Modal diserahkan kepada pihak pengelola, dan pengelola menerimanya langsung, dan dapat beraktivitas dengannya.
Jadi dalam mudharabah, modal yang diserahkan, disyaratkan harus diketahui. Dan penyerahan jumlah modal kepada mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar, seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang, kecuali bila nilai tersebut dihitung berdasarkan nilai mata uang ketika terjadi akan (transaksi), sehingga nilai barang tersebut menjadi modal mudharabah.
Contohnya, seorang memiliki sebuah mobil yang akan diserhak kepada mudharib (pengelola modal). Ketika akad kerja sama tersebut disepakati, maka mobil tersebut wajib ditentukan nilai mata uang saat itu, misalnya disepakati Rp.80.000.000, maka modal mudharabah tersebut adalah Rp.80.000.000.
c) Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat, karena untuk menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bias jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya, seiring berjalannya waktu, sehingga dapat menimbulkan ketidak jelasan dalam pembagian keuntungan.
4.JENIS USAHA
Jenis usaha disini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
1. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang
2. menyulitkannya. Misalnya, harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya.
Asal dari usaha dalam mudharabah adalah di bidang perniagaan dan yang terkait dengannya, serta tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram, seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.
4. KEUNTUNGAN
4. KEUNTUNGAN
Setiap usaha yang dilakukan adalah untuk mendapatkan keuntungan. Demikian juga dengan mudharabah. Namun dalam mudharabah pendapatan keuntungan itu disyaratkan dengan empat syarat.
a) Keuntungan, khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama, yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal.
b) Pembagian keuntungan untuk berdua, tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan : “Saya bekerja sama mudharabah denganmu, dengan keuntungan sepenuhnya untukmu”, maka yang demikian ini menurut madzhab Syafi’i tidak sah.
c) Keuntungan harus diketahui secara jelas.
d) Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi sebagaimana telah ditentukan prosentasenya, seperti : setengah, sepertiga atau seperempat. Apabila ditentukan nilainya, contohnya jika dikatakan, “Kita bekerja sama mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta, dan sisanya untukku”, maka akad mudharabah demikian ini tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas prosentasenya, seperti “Sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku”.
Adapun Dalam Pembagian Keuntungan Perlu Sekali Melihat Hal-Hal Berikut.
1. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung pemilik modal. Ibnu Qudamah di dalam Syrahul Kabir menyatakan, keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua. Lalu dijelaskan dengan pernyataan, maksudnya, dalam seluruh jenis sayrikah. Hal itu tidak terdapat perselisihan dalam mudharabah murni. Ibnu Mundzir menyatakan, para ulama bersepakat, bahwa pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½, atau sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam bentuk prosentase.
2. Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungannya. Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut, maka pengelola mendapatkan gaji yang umum, dan seluruh keuntungan merupakan milik pemilik modal (investor).
3. Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan kembali modal secara sempurna. Berarti, tidak seorangpun berhak mengambil bagian keuntungan sampai modal diserahkan kepada pemilik modal. Apabila ada kerugian dan keuntungan, maka kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik kerugian dan keuntungan dalam satu kali, atau kerugian dalam satu perniagaan dan keuntungan dari perniagaan yang lainnya. Atau yang satu dalam satu perjalnan niaga, dan yang lainnya dari perjalanan lain. Karena makna keuntungan adalah, kelebihan dari modal. Dan yang tidak ada kelebihannya, maka bukan keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini.
0 comments:
Post a Comment