KATA
PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT,
karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk
menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa saya ucapkan kepada dosen pembimbing bayak terimakasih atas
bimbingannya dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa sebagai manusia pasti adalah kesalahan dan
kekurangan dalam penulisan makalah ini, oleh sebab itu saya sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari Bpk dosen dan teman-teman agar dalam
pembuatan makalah selanjutnya bisa menjadi lebih baik semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca Amin……
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
BAB II :
PEMBAHASAN
A. Mahkum fih
dan Mahkum alaih
B. Sarat dan macam-macam
mahkum fih dan alaih
C. Dasar dan
sarat taklif (ahliyah taklifi)
D. Pengertian ahliyah
wujub dan Ada’
E. Hal-hal yang
dapat menggugurkan taklip
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR
PUSTAKA
PENDAHULUAN
Manusia
adalah sosok yang berperan penting dalam kehidupan dan segala apa yang
dilakukan selalu ada konsekuensinya. Sebagaimana fungsinya manusia ditugaskan
sebagai khalifah di bumi ini dan semua perbuatannya tak dapat lepas dari
pertanggung jawaban. Dalam kehidupan sehari-hari seperti, melakukan akad jual
beli, utang piutang, atau dalam menjalankan ibadah seperti haji, manusia dalam
hal ini sebagai Mahkum ‘alaih dapat dikatakan sah karena sudah memenuhi
persyaratan yang ada, atau mungkin status sahnya diurungkan untuk sementara
dikarenakan ketentuan-ketentuan yang ada juga. Hal itu karena ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi sehingga dapat menjadikan manusia
sebagai mukallaf atau seorang yang sudah dikatakan cakap hukum, sehingga
apa yang dilakukan dan diucapkan sudah sah, sempurna, layak (ahliyah) secara
hukum.
Allah SWT.
meletakkan peraturan terhadap makhluk-Nya tidaklah sembarangan tanpa melihat
latar belakang dan dasar-dasar makhluk-Nya. Setiap perintah dan larangan Allah
SWT pastilah didasari dengan sebuah filsafat atau hikmat yang sangat kuat.
Seperti contoh keharaman meminum khamr tidaklah terjadi dengan tanpa alasan,
melainkan karena khamr dapat membuat akal manusia terganggu atau malah hilang
dan rusak. Dengan efek seperti ini, manusia tidak dapat berfikir secara normal
sehingga dapat mengakibatkan kecelakaan terhadap dirinya sendiri maupun orang
lain tanpa disengaja dan jelas tidak diinginkan. Begitu juga dengan konsep
hukum Islam yang meletakkan predikat taklîf sebagai batasan dalam peletakkan
hukum. Seseorang yang belum mukallaf tidaklah terbebani oleh hukum-hukum yang
taklîfî. Tentu dasar hukum ini memiliki filsafat dibaliknya.
PEMBAHASAN
Unsur hukum didalam Agama Islam Ulamaq
Usul, menyebutkan ada Dua macam, mahkum fih dan
mahkum alaih.
A. MAHKUM FIH ( OBJEK HUKUM)
Yang dimaksud mahkum Fih adalah perbuatan mukallaf
yang berhubungan dengan hukum syar’i, seperti wajib, sunah, haram dan makruh.
Adapun menurut Syukur pada tahun 1990. Beliao
berpendapat bahwa Yang dimaksud
dengan Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf yang menjadi obyek hukum syara’i.
Menuerut Sutrisno pada tahun 1999, mengatakan
bahwa Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang
dinilai hukumnya.
Sedangkan
menurut ulama ushul fiqh yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu
perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang
bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan,
dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal. (2007).
Jadi,
secara singkatnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih
adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.
Adapun syarat-sarat Mahkum fih adalah Sbb
Mukallaf
mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat
dilaksanakan.
Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakannya karena Allah semata.
Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.dengan catatan
Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakannya karena Allah semata.
Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.dengan catatan
B. Mahkkum Alaih (subjek hukum)
Yang dimaksud dengan mahkum alaih, orang
mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syar’i. atau dengan kata lain, mahkum alaih adalah
orang mukallaf yang perbuatannya
menjadi tempat berlakunya hukum allah.
Adapun menurut
syukur. Yang dimaksud
dengan Mahkum Alaih adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan hukum syara’.
Menurut
ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang
perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf.
Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa
Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan
segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu
(Sutrisno, 1999).
Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa
Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya tempat
berlakunya hukum Allah
Dinamakannya mukalaf sebagai mahkum
alaih adalah karena dialah yang dikenai (dibebani) hukum syara’. Ringkasnya yang dinamakan mahkum alaih
adalah orang atau simukallaf itu sendiri, sedangkan perbuatan atau pekerjaan
yang dilakukan itulah yang dinamkan dengan mahkum fih.
2. sarat-sarat Mahkum alaih
Ada dua
persaratan yang harus dipatuhi agar seorang, mukallaf sah ditaklifi.
a.
Orang tersebut memahami dalil-dalil taklipi
(pembebanan) itu dengan sendirinya, atau dengan perantaraan orang lain. Karena
orang yang tidak mampu memahami dalil-dalil itu tidak mungkin mematuhi apa yang
ditaklifkan kepadanya.
Kemampuan memahami dalil-dalil tkalif hanya
dapat terwujud dengan akal, karena akal adalah alat untuk mengetahui apa yang
ditaklifkan itu. Dan oleh karena akal adalah hal yang tersembunyidan sulit
diukur, maka menyangkutkan taklifitu ke hal-hal yang menjadi tempat anggapan
adanya akal, yaitu baligh. Barang siapa yang tidak baligh dan tidak keliatan
cacat akalnya berarti ia telah cukup kemampuan untuk ditaklifi.
Berdasarkan hal idtas anak-anak atau orang
gila tidak dikenai taklif tersebut. Begitu juga dengan orang yang lupa, tidur,
dan mabuk. Karena dalam keadaan demikian mereka tidak dapat memahami apa-apa
yang ditaklipkan kepada mereka.
b.
Orang tersebut “Ahli” disini berarti lanyak untuk
kepantasan yang yang terdapat pada seseorang dikatakan ahli untuk mengurus
wakap berarti ia pantas untuk diserahi tanggung jawab mengurus harta wakap.[1]
C. DASAR DAN
SARAT TAKLIF (AHLIYAH TAKLIF)
Dalam pembahasan tentang mahkum alaih telah
disebutkan bahwa salah satu sarat seorang mukallaf untuk ditaklifi adalah bahwa
ia ahlli atau cakap bagi apa yang ditaklipkan kepadanya. Kecakapan seperti ini
disebut juga ahliyah taklif.
Jadi,orang yang dikenai taklif
adalah mereka yang sudah di anggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum atau
dalam kata lain seseorang bisa di bebani hukum apabila ia berakal dan dapat
memahami secara baik taklif. Maka orang yang belum berakal di anggap
tidak bisa memahapi taklif dari syari’(Allah dan Rasulnya) sebagai sabda nabi:
ر فع القلم عن ثلا ث عن النا ئم حتى يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم و عن
المجنون حتى يفق(رواه البخا رى والتر مذى والنسا ئى وابن ما جه والدارقطنى عن عا
ئثه وابى طا لب)
Artinya:Di anggat
pembebanan hukum dari 3(jenis orang) orang tidur sampai ia bangun,anak kecil
sampai baligh,dan orang gila sampai sembuh.(HR.Bukhori.Tirmdzi,nasai.ibnu
majah dan darut Quthni dari Aisyah dan Aly ibnu Abi Thalib)
Syarat taklif ada 2 yaitu:
a.
orang itu telah mampu
memahami khitob syar’i(tuntutan syara’) yang terkandung dalam Al qur’an dan
sunnah baik langsung maupun melalui orang lain.
Kemampuan untuk
memahami taklif ini melalui akal manusia,akan tetapi akan adalah sesuatu yang
abstrak dan sulit di ukur ,indikasi yang kongkrit dalam menentukan seseorang
berakal atau belun.indikasi ini kongkrit itu adalah balighnya seseorang yaitu
dengan di tandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya
mani bagi pria melalui mimpi yang pertama kali atau sempurnanya umur lima belas
tahun.
b.
Seseorang harus mampu
dalam bertindak hukum,atau dalam ushul fiqh di sebut Ahliyyah.maka seseorang
yang belum mampu bertindak hukum atau belum balighnya seseorang tidak dikenakan
tuntutan syara’.begitu pula orang gila,karena kecakapan bertindak hukumnya
hilang.
C.
Pengertian ahliyah
Secara harfiyyah
ahliyyah adalah kecakapan menangani sesuatu urusan.
Adapun Ahliyyah secara
terminologi adalah suatu sifat yang di miliki seseorang yang dijadikan ukuran
oleh syari’untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Pembagian ahliyah
Ulamak usul fikh
membagi keahlian ini kepada dua bagia.
1.
AHLIYAH AL-WUJUB
Ahliya al-wujub yaitu
kelayakan seseorang untuk ada padanya hak dan kewajiban. Dasar dari hali ini
adalah sebab-sebab khusus yang dijadikan allah pada manusia, sebab khusus itu
oleh para pukohah disebut al-zimmahh,
yaitu sipat pitriyah insaniyah yang ada pada setiap manusia, baik itu laki-laki
atau pun perempuan,janian atua anak-anak, mumayyiz atau baligh pintar atua
bodoh, waras atau gila, atuapun dia sakit atau sebaliknya. Pokoknya selama dia
disebut manusia selama itu pulalah keahlian itu ada padanya. Dengan kata lain,
keahlian wujud ialah kemanusiannya itu sendiri.
Para usuulliyyin
membagi ahliyyah al wujub ada 2 bagian.
a.
Ahliyyah al wujub
an-naqishoh.
Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin) janin inilah sudah dianggap mempunyai
ahliyyah wujub akan tetapi belum sempurna.
b.
Ahliyyah al wujub al
kamilah
Yaitu kecakapan menerima hak bagi seseorang anak yang telah lahir ke
dunia sampai dinyatakan baligh dan berakal,sekalipun akalnya masih kurang
seperti orang gila.
2.
AHLIYAH AL-ADA.
Ahliyah al- ada ialah
kelayakan seorang mukallaf untuk dianggap sah segala ucapan dan tindakannya
mrnurut syarak’. Artinya, apa bila seorang mukalaf melakukan suatu tindakan,
tindakan itu dianggap sah menurut sarak dan mempunyai konsekwensi hukum.
Misalnnya, bila ia melakkan transaksi bisnis, tindakan nya itu dianggap sah dan
ada konsekwensi hukumnya. Bila ia melakukan solat, puasa atau melaksanakan
kewajiban-kewajiban lainnya, perbuatannya dianggap sah oleh syar’I – bila cukup
rukun dan saratnya- dan menggugurkan kewajiban mukallaf tersebut. Begitu juga
bila ia melakukan pelangganran terhadap prang lain, ia akan dikenai sangsi hukum
pidana, baik pidana badan ataupun harta. Pokoknya, ahliat al-ada’ adalah soal
pertanggung jawaban yang didasarkan oleh akal atau kecakapn pribadi.
Kemudian, dihubungkan
dengan ahliah (kemammpuan) yang dimilikinya, manusia dapat dibagi dalam dua
bentuk hubungan:
1.
Hubungan manusia dengan
ahliayah al-wujub ( kewajiban menerima hak dan kewajiban) yang ada padanya.
Diliat dari segi ini manusia terbgai menjadi dua:
a.
Mempunyai ahliyah
Al-wujud yang tidak pennuh, yaitu apabila pantas diberikan kepadanya hak-hak, tetapi
tifdak pantasdipikulkan kepadanya kewajiban-kewajiban atau sebaliknya. Misalnya, janian( embrio) dalam perut ibunya
ia mempunyai hak untuk menerima warisan atau wasiat, tetapi tidak mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan. Sebaliknya, orang mati yang
masih mempunyai hutang, hak orang yang berpiutang mmasih ada diatasnya.
sehingga ia –melalui ahli warissnya- punya kewajiban untuk membayar utangnya, tetapi
ia tidak mempunyai hak apa-apa lagi. Mempunyai ahliah al-wujud yang penuh,
yaitu pantas diberikan kepada hak-hak
dan pantas diberikan kkepadanya kewajiban-kewajiban ini adalah keahlian
(ahliah) yang dimil;iki seseorang
semenjak ia lahir dan tetap dimilikinya selama ia masih hidup, meskipun ia
kehialangan akal atau gila. Yang dimaksud disisni adalah kewajiban-kewajiban
yang berkaitan dengan harta benda, seperti kewajiban zakat bila yang dikenai
kewajiban itu belum sempurna akalnya, walinya lah yang mewakilinya menunaikan
kewajiban tersebut.
2.
Hubungan manusia dengan
ahliyyah al-ada’ (kemmampuan berbuat) yang ada padnya. Diliat dari segi ini manusia dibagi
menjadi tiga bagian.
a.
Tidak punya atau hilang ahliyyahnya sama
sekali. Misalnya, anak-anak pada massa
anaknya dan orang gila pada masa gilanya,karena mereka tidak mempunyai akal.
Oleh sebab itu perbuatan dan ucapannyatidak mempunyai konsekwensi hokum dan
semua akad atau perikatan ayang dilakukannyaitdak sah atau tidak batal. Bila
mereka melakukan suatu tindakna pidana atas jiwa dan hartanya, yang dikenakan
padanya hanya hukum denda, yaitu diyat yang dibunuhnyadan mengganti harta yang
rusak atau diambilnya, bukan hukum badan, bukan juga hukum kisas.
b.
Mempunyai ahliyah
al-ada yang tidak sempurna, misalnya mumaiiyaz dan orang yang kurang akal. Akal
mereka tidak cact dan juga tidak hila.
c.
Mempunyai ahliyyah yang
penuh , yaitu orang dewasa dan sehat akalnya. Maka ahliyat yang sempurna dapat
trealisasikan dengan kedewasaan dan berakal.[2]
D. HAL-HAL YANG MENGGUGURKAN TAKLIF.
Sesuai dengan keterangan diatas
bahwa ahliyah al-wujud itu tetap bagi manusia selama ia disebut manusia.
Manusia, sekalipun masih berupa janin dalm perut ibunya,punya keahlian wujub
yang tidak sempurna. Setelah lahir, ia mempunyai keahlian secara sempurna dalam
maa kanak-kanak, masa remaja, dan dewasa baik dalam keadaan sadar atau tidak,
bodoh atau pintar. Sselama hidupnya tidak ada hal-hal yang menghilangkan atau
mengurangi kemampuan menerima hak dan kewajiban
ini. Sederet yang menggugurkan taklif sebagai berikut.
Dengan adanya gila, keahlian menjadi hilang. Segala kerjanya,
baik berupa kata-kata maupun perbuatan
tidak ada pengaruhnya. Karena orang gila telah hilang akalnya sehingga
kesadaran berbuat tidak ada. Kedududkkannya sama dengan anak-anak yang belum
mumayyiz.
Gila, adakalanya terus menerus dan adakalnya tidak. Dalam
keadaann yang tersebut terakhir, perbuatan yang dilakukannya pada waktu sehat
dipandang sah sebagaimmana perbuatan orang yang sehat akalnya. Dalam soal
ibadah, hokum yang berlaku kepadanya tidak sama, mengingat pada macam-macam
ibadah. Dalam hal ini, ibadah solat, misalnya, ia tidak wajib mengqadha kalau
gilanya berlansung sepanjang waktu solat atau lebih. Begitu juga dengan puasa.
Kemudian, dari sudut harta benda, orang gila dapat dikenakan hukuman seperti
mengganti kerugian terhadap millik orang yang diambill atau dirusaknya.
Dalam soal mu’amalat, tidur menghilangkan keahlian berbuat
selama tidur, karena akal orang tidur tidak dapat bekerja. Segala aktivitas
yang dilakukannya selama ia tidur dianggap tidak sah. Namun, dalam soal ibadah
tidur tidak dapat menghapuskan kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukannya,
hanya saja taklifnya ditunda sampai waktu terbangun.
Mabuk dapat menghilangkan akal sementara. Perbuatan-perbuatan
orang mabuk tidak dapat dipikirkan atau dikehendakinya. Karena itu, mabuk dapat
menghilangkan keahlian atau kemampuan berbuat. Perbuatan orang mabuk, oleh
sebagian ulama’ dianggap tidak sah dengan tidak memandang sebab-sebab mabuknya
itu. Kalau mabukknya arena maksiat, seperti minum arak, maka ahliyat al-ada’
tidak hilang, sebagai hukuman kepadanya. Oleh sebab itu, talak orang mabuk
dianggap sah. Namun, kalau bukan karena maksiat, segala perbuatannya dianggap
tidak sah.
Haid dan nifas tidak menghilangkan ahlyat al-ada’ dalam soal
ibadah dan muamalah. Hanya dalam soal ibadah karena tidak terdapat sarat sahnya
yaitu suci, maka perbuatanya itu dilaksanakan diwaktu lain seperti puasa.
Adapun shalat tidak diwajibkan mengkadaknya karena hal itu memberatkan bagi
perempuan.
Dalam keadaan sakit dan berprgian, orang boleh sholat dengan
kasar, boleh shalt dengan duduk dan lain sebagainya. Disamping itu dalm keadaan
sakit berat, menjadi sebab dibatasinya kekeuasaan si sakit dalam membelanjakan
hartanya bila lebih dari seper tiga.[3]
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. alaidin koto
MA (Ilmu Fiqh dan usul fiqh ) PT RAJAGRAPINDO PERSEDA. 2004
Drs. M. Rizal Qosim,
M.Si. (pengalaman Fiqih 3)
www.gogle.com
0 comments:
Post a Comment