ASBAB
AN-NUZUL
Al-Qur
‘an bukanlah merupakaahn sebuah” buku “dalam pengertian umum, karena ia tidak
pernah diformulasikan, tetapi diwahyukan secara berangsur-angsur kepada Nabi
Muhammad SAW. Sejauh situasi menuntutnya. Al-Qur’an pun sangat menyadari
kenyataan ini sebagai suatu yang akan menimbulkan keusilan dikalangan
pembantahnya (Q.S. al-Furqan [25];32). Seperti yang diyakini sampai sekarang,
pewahyuan Al-Quran secara total dalam sekali waktu secara sekaligus adalah
suatu yang tidak mungkin, karena pada kenyataannya Al-Quran diturunkan sebagai
petunjuk bagi kaum muslimin secara berangsur-angsur sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan yang timbul.
Sebagian
tugas untuk memahami pesan dari al-quran sebagai suatu kesatuan adalah
mempelajarinya dalam konteks latar belakangnya. Latar belakanag yang paling
tepat adalah kegiatan dan perjuangan Nabi yang berlansung selama 23 tahun
dibawah bimbingan Al-Quran. Terhadap perjuangan Nabi yang secara keseluruhan
sudah terpapar dalam sunahnya, kita perlu memahaminya dalam konteks perspektif
melieu Arab pada masa awal penyebaran Islam, karena aktivitas Nabi berada
didalamnya. Oleh karenaitu, adat istiadat, lembaga-lembaga serta pandangan
hidup bangsa Arab pada umumnya menjadi esensial diketahui dalam rangka memahami
konteks aktivitas Nabi. Secara khusus, situasi Mekah pra Islam perlu dipahami
terlebih dahulu secara mendalam tanpa memahami masalah ini, pesan A;-Quran
sebagai pemberitahuan tidak akan dapat dipahami. Orang akan salah menangkap
pesan-peasn Al-Quran secara utuh, jika hanya memahami bahasanya saja, tanpa
memahami konteks historisnya. Agar dipahami secara utuh, Al-Quran harus dicerna
dalam konteks perjuangan Nabi dan latar belakang pejuangannya. Oleh sebab itu,
hamper semua teratur yang berkenan dengan Al-Quran menekankan pentingnya asbab
an-nuzul (alasan pewahyuan).
A.
Pengertian
Asbab An-Nuzul
Ungkapan asbab an-nuzul merupakan bentuk idhofah
dari kata asbab dan nuzul. Secara etimologi, Asbab an-nuzul adalah sebab-sebab
yang melatar belakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang
melatarbelakangai terjadinya sesuatu bias disebut asbab an-nuzul, namun dalam
pemakaiannya, ungkapan asbab an-nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan
sebab-sebab yang melatar belakangi turunya Al-Quran, seperti halnya asbab al-wurud
yang secara khusus digunakan sebagai sebab-sebab terjadinya hadits.
Banyak pengertian terminology yang dirumuskan oleh
para ulama’, diantaranya:
1.
Menurut
Az-Zarkani:
“
Asbab An-nuzul” adalah khusus atau sesuatu yang terjadi
serta ada hubungannya dengan turunnya ayat Al-Quran sebagai penjelas hokum saat
pristiwa itu terjadi.[1]
2.
Ash-shabuni:
Asbab an-nuzul adalah
pristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia
yang berhubungan dengan pristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang
diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.[2]
3.
Shubhi
Shalih:
Artinya:
“asbab
an-nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat
Al-Quran ayat-ayat (terkadang dieratkan pristiwa itu, sebagai respon atasnya.
Atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum disaat pristiwa itu terjadi.”[3]
4.
Mana’
Al-Qthathan:
Artinya:
“asbab an-nuzul adlah pristiwa-pristiwa yang menyebabkan turunnya
Al-Quran berkenaan dengannya waktu pristiwa itu terjadi, baik berupa satu
kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.”[4]
Kendatipun redaksi-redaksi pendefinisian diatas
sedikit berbeda, semuanya menyimpulkan bahwa asbab an-nuzul adalah kejadian
atau pristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat Al-Quran. Ayat tersebut
dalam rangka menjawab, menjelaskan, dan menyelesaikan masalah-masalah yang
timbul dari kejadian-kejdian tersebut. Abab an-nuzul merupakan bahan-bahan
sejarah yang dapat dipakai untuk memberikannya keterangan-keterangan terhadap
lembaran-lembaran dan memberinya konteks dalam memahami perintah-perintahnya.
Sudah tentu bahan-bahan sejarah ini hnya melingkupi pristiwa-pristiwa pada masa
Al-Qur’an masih turun (Ashr At-tanzil).
Bentuk-bentuk pristiwa yang melatar belakangi
turunnya Al-Qran itu sangat beragam diantaranya berupa : konflik social seperti
ketegangan yang terjadi antara suku Aush dan Suku Khasraj; kesalahan besar, seperti kasus salah seorang
sahabat yang mengimami shalat dalam keadaan mabuk; dan pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan oleh seorang sahabat kepada Nabi, baik berkaitan dengan suatu
yang telah lewat, sedang atau yang akan terjadi.
Persoalan apakah seluruh ayat Al-Quran memiliki
asbab an-nuzul atau tidak, ternyata telah jadi bahan kontropersi diantara para
ulama’. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa tidak semua ayat Al-Quran memiliki
asbab an-nuzul. Sehimgga, diturunkan tanpa ada yang melatar belakanginya
(ibtida’), dan adapula ayat Al-Quran yang diturnkan dengan dilatarbelakngi
suatu pristiwa (ghair ibtida’)[5].
Pendapat tersebut hamper merupakan consensus para
ulama’. Akan tetapi, ada yang mengatakan bahwa kesejarahan Arabia pra-Quran
pada masa turunnya Al-Quran merupakan latar belakang makro Al-Quran; sementara
riwayat-riwayat asbab an-nuzul merupakan latar belakang mikronya. Pendapat ini
berarti menganggap bahwa semua ayat Al-Quran memiliki sebab-sebab yang melatar
belakanginya.
B.
Urgensi
Dan Kegunaan Asbab An-Nuzul
Az-Zarqani dan As-Sayyuthi mensinyalir adanya
kalangan yang berpendapat bahwa mengetahui asbab an-uzul merupakan hal yang
sia-sia dalam memahami Al-Quran. Mereka beranggapan bahwa mencoba memahami
Al-Quran denagn meletakkan kedalam konteks historis adalah sama dengan
membatasi pesan-pesannya pada ruang dan waktu tertentu. Namun, keberatan
seperti ini tidaklah berdasar, karena tidak mungkin menguniversalkan pesan
Al-Quran diluar masa dan pewahyuan, kecuali melalui pemahaman yang semestinya
terhadap makna Al-Quran dalam konteks kesejarahannya.
Sementara itu, mayoritas ulama’ sepakat bahwa
konteks kesejarahan yang terakumulasi dalam riwayat-riwayat asbab an-nuzul
merupakan satu hal yang segnifikan untuk memahami pesan pesan Al-Quran. Dalam satu statmennya, Ibnu
Taimiyah menyatakan:
Artinya :
asbab an-nuzul sangat menolong
dalam menginterpretasikan Al-Quran[6].
Ungkapan senada dikemukakan oleh Ibn
Daqiq Al-‘led dalam pernyataannya
Penjelasan
terhadap asbab An-Nuzul merupakan metode yang kondusif untuk menginterpretasikan
makna-makna Al-Quran”.[7]
Bahkan, Alwahidi menyatakan ketidak
mungkinan untuk menginterpretasikan Al-Quran tanpa mempertimbangkan aspek kisah
dan asba an-nuzul.
Urgensi pengetahuan akan sebab an-nuzuldalam
memahami Al-Quran yang diperlihatkan oleh para ulama’ salaf ternyata mendapat
dukungan dari para ulama’ khalaf. Menarik untuk dikaji adalah pendapat Fazlur
Rahman yang menggambarkan Al-Quran sebagai puncak dari sebuah gunung es.
Sembilan seper sepuluh dari bagianya terendam dibawah perairan sejarah, dan
hanya sper sepuluhnya dapat dilihat. Rahman lebih lanjut menegaskan bahwa
sebagian besar ayat Al-Quran sebenarnya mensyaratkan perlunya pemahaman
terhadap situasi-situasi historis yang khusus, yang memperoleh solusi, komentar
dan tanggapan dari Al-Quran.[8]
Uraian Rahman tersebut secara ekspelisit mengisyaratkan asbab an-nuzul dalam
memahami Al-Quran.
Dalam uraian yang lebih rinci, Az-zarqani
mengemukakan urgensi asbab an-nuzul dalm memahami Al-Quran sebagai berikut :
1. Membantu
dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan
ayat-ayat Al-Qur’an. Diantara dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 115 dinyatakan
bahwa timur dan barat merupakan kepunyaan Allah. Dalam kasus Shalat, dengan
melihat zahir ayat diatas, seseorang boleh menghadap arah mana saja sesuai
kehendak hatinya. Ia seakan-akan tidak berkewajiban untuk menghadap kiblat
ketika shalat. Akan tetapi setelah melihat asbab an-nuzulnya tahapan bahwa
interpretasi tersbut keliru sebab, ayat diata berkaitan dengan seorang byang
sedang berada dalam perjalan dan melakukan shalat diatas kendaraaan atau
berkaitan dengan orang yang berjihadd dalam menentukan arah kiblat.[9]
Contoh kedua,
diriwayatkan dalam shahih Bukhari bahwa Marwan menumui kesulitan ketika
memahami ayat :
w ¨ûtù|¡øtrB tûïÏ%©!$# tbqãmtøÿt !$yJÎ/ (#qs?r& tbq6Ïtä¨r br& (#rßyJøtä $oÿÏ3 öNs9 (#qè=yèøÿt xsù Nåk¨]u;|¡øtrB ;oy$xÿyJÎ/ z`ÏiB É>#xyèø9$# ( öNßgs9ur ë>#xtã ÒOÏ9r& .
Artinya:
Janganlah
sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang
telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang
belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari
siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih. (Q.S. Ali ‘imran :188)
Marwan memahami ayat di
atas sebagai berikut : jika setiap orang bergembira dengan usaha yang telah di perbuatnya, dan
suka di puji atas usahanya yang belum di kerjakan, akan siksa, ayat tersebut di
pahaminya demikian sampai ibn abbas menjelaskan bahwa ayat tersbut di turunkan
berkenaan dengan ahli kitab. Ketika di Tanya oleh nabi tentang sesuatu, mereka
menyembunyikanya bahwa tindakanya di luar permintean nabi. Mereka beranggapan
bahwa tindakannya itu berhak mendapat pujian dari nabi. Maka turunlah ayat
tersebut di atas.
2. Mengatasi
keraguan ayat yang di duga mengandung pengertian umum. Umpamanya dalam surat al-anam
[6] ayat 145 dikatakan :
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜt HwÎ) br& cqä3t ºptGøtB ÷rr& $YBy %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9Í\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_Í ÷rr& $¸)ó¡Ïù ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ 4
Artinya:
’katakanlah,
tidak kudapati di dalam apa yang di wahyukan kepadaku sesuatu yang di haramkan
bagi orang yang ingin memakainya, kecuali kalau makanan itu (berupa)
bankai,darah yang mengalir,daging babi,karna semua itu kotor,atau binatang yang
di sembelih bukan atas nama allah ‘(QS.Al-an’am:145)
Menurut asy-syafi’i, pesan
ayat ini tidak bersifat umum (hasr). Untuk mengatasi kemungkinan adanya
kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat di atas, asy-syafi’i menggukan
alat bantu asbab an-nuzul. Menurutnya, ayat ini di turunkan sehubungan dengan
orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesutu, kecuali apa yang telah mereka halalkan
sendiri. Karena telah di halalkan allah dan menghalalkan apa yang di haramkan
allah merupakan kebiasan orang-orang kapir, terutama orang yahudi, turunlah
ayat di atas.
3. Menghususkan
hukum yang terkandung dalam ayat al-Quran, bagi ulama yang berpendapat bahwa yang
manjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus (khusus asbab) dan bukan lafazh
yang bersifat umum (umum al-lafazh). dengan demikian, ayat ‘zihar’ dalam
permulaan surat Al-Mujadalah [58], yang turun berkenaan dengan Aus Ibn samit
yang menzihar istrinya (Khaulah Binti Hakim Ibn samit Tsa’labah), hanya berlaku
bagi kedua orang tersebut. Hukum zihar yang berlaku bagi sselain kedua orang
itu, di tentukan dengan jalan analogi (qias).
4. Mengidentifikasikan
pelaku yang menyebabkan ayat Al-Quran turun. Umpamanya, Aisyah pernah menjernihkan
kekeliruan marwan yang menunjuk Abd Ar-Rahman Ibn Abu Bakar sebagai orang yang
menyebabkan turunnya ayat: ‘Dan orang yang mengatakan kepada orang tanya “cis
kamu berdua …” (Q.S .Al-Ahkaf: 17). Untuk meluruskan persoalan, ‘Aisyah berkata
kepada Marwan; “Demi Allah bukan dia yang menyebabkan ayat ini turun. Dan aku
sanggup untuk menyebutkan siapa orang yang sebenarnya.”
5. Memudahkan
untuk menghapal dan memahami ayat, serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati
orang yang mendengarnya. Sebab, hubungan sebab-akibat (mussabab), hukum,
peristiwa, dan pelaku, masa, dan tempat merupakan satu jalinan yang bias
mengikat hati.
Taufik
Adnan Amal dan Syamsul Rizal Panggabean menyatakan bahwa pemahaman terhadap
konteks kesejarahan pra-Quran dan pada massa Al-Quran menjanjikan beberapa
manfaat praktis. Pertama, pemahaman itu memudahkan kita mengidenttifikasi gejala-gejala
moral dan social pada masyarakat Arab ketika itu, sikap Al-Quran terhadapnya, dan
cara Al-Quran memodifikasi atau mentrasformasi gejala itu hingga sejelan dengan
pandangan dunia Al-Quran; kedua , pemahaman tentang konteks kesejarahan
pra-Quran dan pada masa Al-Quran dapat menghindarkan kita dari praktik-praktik
pemeksaan prakonsep dalam penapsiran.[10]
C.
Cara Mengetahui Riwayat Asbab
An-Nuzul
Asbab An-Nuzul adalah pristiwa yang terjadi pada
zaman Rasulullah SAW. Oleh karena itu, tidak boleh ada jalan lain untuk
mengetahuinya, selain berdasarkan periwayatan (pentransmisian) uang benar (naql
as-shalih) dari orang-orang yang melihat dan mendebgar lansung tentang turunnya
ayat Al-Quran.[11]
Dengan demikian, seperti halnya periwayatan pada umumnya, diperlukan
kehati-hatian dalam menerima riwayat yang brkaitan dengan asbab An-Nuzul. Untuk
itu, dalam kitab Asbab An-Nuzul-nya, Al-Wahidy menyatakan:
Artinya:
“pembicaraan asbab An-nuzul, tidak
dibenarkan, kecuali dengan berdasarkan riwayat dan mendengar dari mereka yang
secara lansung menyaksikan pristiwa nuzul dan bersungguh-sungguh dalam
mencarinya.”[12]
Para
ulama’ Salaf sangatlah keras dan ketat dalam menerima berbagai riwayat yang
berkaitan dengan asbab An-Nuzul. Kekekatan mereka itu dititikberatkan pada
seleksi pribadi si pembawa riwayat (para rawi), sumber riwat (isnad) dan
redaksi berita (matan). Bukti keketatan itu diperlihatkan oleh Ibn Sirin ketika
menceritakan pengalamannya sendiri:
Artinya:
“aku pernah bertanya pada Ubadah tentang
sebuah ayat Al-Quran, tetapi ia menjawab, hendaklah engkau bertqwa kepada Allah
SWT dan berbicaralah yang benar. Orang-orang yang mengetahui apa ayat Al-Quran
diturunkan sudah tidak ada lagi.”[13]
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa
sikap kekeritisan mereka tidak Nabi. Mereka berasumsi bahwa apa yang dikatakan
sahabat Nabi, yang tidak masuk dalam lapangan penukilan dan pendengaran, dapat
dipastikan ia mendengar ijtihadnya sendiri. Karena itu pula, Ibnu Shalah, Al-Hakim,
dan para ulama’ hadits lainnya menetapkan, “seorang sahabat Nabi yang mengalami
masa turun wahyu, jika ia meriwayatkan suatu berita tentang asbab An-Nuzul,
riwayatnya itu berstatus marfu’.”[14]
Berkaitan dengan asbab An-Nuzul,
ucapan seorang tabi’ tidak dipandang sebagai hadits marfu’, kecuali bila
diperkuat oleh hadits mursal lainnya, yang diriwayatkan oleh salah seorang imam
tafsir yang dipastikan mendengar hadits itu dari Nabi. Para imam tafsiritu
diantaranya: Ikramah, Mujahid, Sa’ad Ibn jubair, ‘Atha, Hasan Bishri, Sa’id Ibn
Musayyab dan Adh-Dhahhak.[15]
D.
Macam-Macam Asbab An-Nuzul
1.
Dilihat
Dari Sudut Pandang Redaksi-Redaksi Yang Dipergunakan Dalam Riwayat Asbab
An-Nuzul
Ada dua jenis redaksi yang digunakan oleh perawi
dalm mengungkapkan riwayat asbab An-Nuzul, yaitu sharih (visionable/jelas) dan
muhtamilah (impossible/kemungkinan). Redaksi sharih artinya riwayat yang sudah
jelas menunjukkan asbab An-Nuzul, dan tidak mungkin pula menunjukkan yang
lainnya. Redaksi yang digunakan termasuk sharih bila perawi mengatakan:
Artinya:
“sebab turun ayat ini adalah….
Atau ia menggunakan kata “maka” (fa
taqibiyah) setelah ia mengatakan peristiwa tertentu. Misalnya ia mengatakan:
Artinya:
“Telah terjadi…, maka maka turunlah
ayat…..
Artinya:
“Rasulullah pernah ditanyatentang…., maka
turunlah ayat…..
Contoh riwayat asbab An-Nuzul yang
menggunakan redaksi sharih adalah sebuah riwayat yang dibawakan oleh Jabir
bahwa orang-orang yahudi berkata, “apabila seorang suami mendatangi “qubul”
istrinya dari belakang, anak yang akan lahir akan juling.” Maka turunlah ayat:
öNä.ät!$|¡ÎS Ó^öym öNä3©9 (#qè?ù'sù öNä3rOöym 4¯Tr& ÷Läê÷¥Ï©
Artinya:
“Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (Q.S. Al-Baqarah: 223)
Adapun redaksi yang digunakan termasuk muhtamilah
bila perawi mengatakan:
Atinya:
“Ayat ini berkenaan dengan….”
Misalnya, riwayat ibnu Umar yang
mengatakan:
Artinya:
”ayat,istri-istri kalian adalah (ibarat) tanah
tempat bercocok tanam, turun berkenaan dengan mendatangi (menyetubuhi)istri
dari belakang.”(HR. Bukhari).
Atau
perawi mengatakan:
Artinya:
“saya kira ayat ini turun berkenaan dengan…”
Atau
Mengenai
riwayat asbab An-Nuzul yang menggunakan redaksi “muhtamilah”, Az-Zarkasy
menuturkan dalam kitabnya Al-burhan fi ‘Ulum Al-Quran:
Artinya:
“sebagaimana diketahui, telah terjadi
kebiasaan para sahabat Nabi dan tabi’in, jika diantara mereka berkata,”Ayat ini
diturunkan berkenaan dengan…”. Maka yang dimaksud adalah ayat itu mencakup ketentuan hukum tentang ini
atau itu, dan bukan bermaksud menguraikan sebab turunnya ayat.”[16]
Skema
1
Redaksi
Periwayatan Asbab An-Nuzul
Redaksi
riwayat
asbab An-Nuzul
|
Pasti
(sharih)
|
Tidak Pasti
(muhtamil)
|
Asbab
An-Nuzul hadzihi al ayat kadz…….
Hadatsa
kadza… fanazalat al-ayat….
Su’ila
rasulullah ‘an kadza… fanazalat al ayat….
|
Nazalat hadzihi al-ayat fi kadza….
Ahsabu hadzihi al-ayat nazalat fi
kadza…..
Ma ahsabu hadzihi al-ayat nazalat
illa fi kadza…..
|
|
2.
Dilihat
Dari Sudut Pandang Berbilangnya Asbab An-Nuzul Untuk Satu Ayat Atau
Berbilangnya Ayat Untuk Asbab An-Nuzul
a.
Berbilangnya
Asbab An-Nuzul untuk Satu Ayat (Ta’addud As-Sabab wa Nazil Al-Wahid)
Pada
kenyataannya, tidak setiap ayat memiliki riwayat asbab An-Nuzul dalam satu
persi. Adakalanya satu ayat memiliki beberapa persi riwayat asbab An-Nuzul
tentu saja, hal itu tidak menjadi persoalan bila riwayat-riwayat itu tidak
mengandunng kontradiksi. Bentuk pariasi itu terkadang dalam redaksinya dan
terkadang pula dalam kualitasnya. Untuk mengatasi variasi riwayat asbab
An-Nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi, para ulama’ mengemukakan cara-cara
berikut.
1.
Tidak
mempermasalahkannya
Cara
ini ditempuh apabila variasi riwayat-riwayat asbab An-Nuzul ini menggunakan
redaksi muhtamilah (tiadak pasti). Missal satu versi menggunakan redaksi:”ayat
ini diturunkan berkenaan dengan….”dan versi menggunakan redaksi lain:” saya
kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan….”.
Variasi
riwayat Asbab An-Nuzul diatas tidak perlu dipermasalahkan, karena yang dimaksud
oleh setiap variasi itu hanyalah sebagai tafsir biasa dan bukan sebagai asbab
An-nuzul. Ini berbeda bila ada indikasi jelas yang menunjukkan bahwa salah
satunya memaksudkan asbab An-Nuzul.
2.
Mengambil versi
riwayat asbab An-Nuzul yang menggunakan redaksi sharih
Cara
ini digunakan bila salah satu versi riwayat asbab An-Nuzul tidak menggunakan
versi sharih (pasti). Misalnya riwayat-riwayat asbab An-Nuzul yang menceritakan
kasus seorang lelaki yang mengauli istrinya dari bagian belakang. Mengenai
kasus itu, Nafi berkata, satu hari, aku membaca ayat ‘nisa’ukum hartsullakum.
Ibn kemudian berkata “tahukah engkau mengenai apa ayat ini diturunkan?” tidak”.jawabku.
ia melanjutkan “Ayat ini di turunkan berkenan dengan menyetubuhi wanita dari
belakang”.
Sementara
Ibn Umar menggunakan redaksi yang tidaak sharih(pasti), dalam salah satu
riwayat jabir, dikatakan, “Seorang yahudi mengatakan bahwa apabila Seseorang
menyetubuhi istrinya dari belakang, anak
yang lahir akan juling. Maka di turunkanlah ayat: “Nisa’ukum hartsun lakum”.
Dalam
kasus semacam di atas , riwayat jabir-lah yang harus di pakai karena ia
menggunakan redaksi sharih (pasti).
3.Mengambil
versi riwayat yang sahih (valid).
Cariini di
gunakan apabila seluruh riwayat itu menggunakan redaksi “sharih” (pasti),
tetapi kualitas salah satunnya tidak shalih. Demi malam Misalnya dua riwayat
asbab an-nuzul kontradiktif yang berkaitan dengan diturunkannya ayat:
4ÓyÕÒ9$#ur . È@ø©9$#ur
#sÎ)
4ÓyÖy.
$tB y7tã¨ur y7/u $tBur 4n?s% .
Artinya:
“Demi
waktu matahari sepenggalah naik,dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhan-mu
tidak meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu (Q.S. Adh-Adh-Dhuha:1-3)
Versi
pertama yang di riwayatkan oleh Al-bukhari-Muslim dari Jundab mengatakan:
1.
Mengambil versi riwayat
yang shaih.
Cara ini megambil bila terdapat versi
asbab An-Nuzul satu ayat, satu versi berkualitas sahih, sedangkan yang lainya
tidak. Misalnya dua versi riwayat An-Nuzul kontradiktif untuk surat Adh-dhuha
[93] 1-3.
1.
Melakukan studi selektif
(tarjih)
Langkah
ini di ambil bila kedua versi asbab An-Nuzul yang berkaitan dengan turunnya
ayat tentang roh. Versi asbab An-Nuzul yang di keluarkan oleh Al-Bukhari dari
ibn Mas’ud.
2.
Melakukan studi
kompromi (jama’)
Langkah
ini diambil bila kedua riwayat yang kontradiktif itu sama-sama memiliki status
kesahihan hadis yang sederajat dan tidak mungkin di lakukan tarjih. Misanya,
dua versi riwayat asbab An-Nuzul yang melatar belakangi turunnya ayat mu’amalah
surat An-Nur [24] ayat 6. Dalam versi riwayat Al-Bukhari dan muslim melalui
jalur shahal Ibn sa’ad di katakan bahwa ayat itu turun di karnakan salah
seorang sahabat yang bernama uwaimir yang bertanya kepada rasulullah tentang
apa yang harus di lakukan oleh seorang suami yang mendapatkan istrinnya berzina
dengan orang lain. Akan tetapi, dalam versi Bukhari melalui jalur Ibn Abbas di
katakan bahwa ayat tersebut turun dengan dilatarbelakangi oleh kasus hilal Ibn
Umyyah yang menuduh istriya di depan rasulullah berzina dengan sarikh ibn Sahma’.
Kedua riwayat itu benar-benar berkualitas sahih dan tidak mungkin di lakukan
study tarjih antara keduanya. Oleh karna itu, perlu di lakukan studi kompromi (jama’).
Dua kejadian itu berdekatan masanya. Oleh karna itu kita mudah mengompromikan
keduanya. Dalam jangka waktu yang tidak begitu berselang lama, maka turunlah
ayat Mu’amalah untuk menjawab kedua orang itu. Dalam kasus ini Al-Khatib berkata:”kedua
penanya itu kebetulan bbertanya pada satu waktu.[17]
Kalau
kedua versi riwayat asbab An-Nuzul itu sahih atau tidak sahih atau tidak bias
di lakukan study tarjih dan jama’, maka hendaklah kita anggap ayat itu di
turunkan beruleng kali. Dalam istilah
ilmu-ilmu Al-Quran hal itu bias di sebut “berulangnya turun ayat” (ta’addut
an-nuzul).Sebagai contoh adalah dua versi asbab An-Nuzul yang melatar belakangi
turunya surat Al-Iklas [112]. Satu riwayat mengatakan bahwa surat itu turun
untuk menjawab pertanyaan kelompok musyrikin Mekah . Riwayat lain mengatakan bahwa
surat itu turun untuk menjawab kelompok ahli kitab di madinah. Karna kedua
riwayat sama-sama sahih dan tidak mungkin untuk di lakukan studi tarjih dan
jama; maka kita angap bahwa ayat tersebut turun dua kali.
E. Kaidah
“Al-‘ibrah”
Ada
sebuah persoalan yang penting dalam pembahasan asbab An-Nuzul, misalkan telah
terjadi suatu peristiwa atau ada suatu pertanyaan, kemudian satu ayat turun
untuk memberikan penjelasan atau jawbannya, tetapi ungkapan ayat tersebut menggunakan
redaksi ‘amm (umum) hingga boleh jadi mempunyai cakupan yang lebih luas dan
tidak terbatas pada kasus pertanyaan itu, maka persoalan nya adalah apakah ayat
itu harus dipahami dari keumuman lafazh ataukah dari sebab khusus (spesifik)
itu. Denganm kata lain, apakah ayat itu berlaku secara khusus ataukah umum ? dalam hal ini para ulama
berbeda pendapat.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang
harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafazh dan bukannya kekhususan sebab
(al-‘brah bi ‘umum al-lafazhi la bi khusus as-sabab). As-Syuthi, memberikan
alas an bahwa itulah yang dilakukan oleh para sahabat dan golongan lain. Ini
bias dibuktikan, antara lain, ketika turun ayat zihar dalam kasus Salman ibn
Shakhar, ayat li’an dalam perkara Hilal Ibn Umayyah, dan ayat qadzaf dalam
kasus tuduhan terhadap ‘A’isyah, penyelesaian terhadap kasus-kasus tersebut
ternyata juga di terapkan terhadap peristiwa lain yang serupa.[18]
Zamakhsyari
dalam penapsiran surat Al-Humazah [104] mengatakan bahwa boleh jadi surat ini
di turunkan karena sebab khusus, namun ancaman hukuman yang tercakup di
dalamnya jelas berlaku umum, mencakup semua orang yang berbut kejahatan yang di
sebutkan.[19]
Ibn Abbas pun mengatakan bahwa ayat [5];
8 tentang kejahatan pencurian berlakum umum, tidak hanya bagi pelaku pencurian anseseorang
wanita dalam asbab An-Nuzul itu.[20]
Ibn Tamiyyah berpendapat, bahwa bahwa
banyak ayat yang di turunkan berkenan dengan kasus tertentu bahkan, kadang-kadang
menunjung pribadi seseorang. tentang printah kepadua Nabi untuk mengadili
secara adil, ayat ini sebenarnya diturunkan bagi bani Quraidzah dan bani Nadhir.Namun
menurut Ibn Taimyyah tidak benar jika di katakan bahwa perintah kepada Nabi itu
hanya berlaku adil terhadap kedua qabilah itu.[21]
Di sisi lain,ada juga ulama yang
berpendapat bahwa ungkapan satu lafazh Al-Quran harus di pandang dari segi
kekhususan sebab bukan dari segi keumuman lafazh (al-‘ibrah bi khusus as-sabab
la bi bu’umum al-lafazh). Jadi, cakupan ayat tersebut terbatas pada kasus yang
meyebabkan sebuah ayat di turunkan. Adapun kasus lainnya yang serupa, kalaupun
akan mendapat penyelesaian yang sama, hal itu bukan di ambil dari pemahan
terhadap ayat itu, melainkan d ri dalil lain,yaitu dengan qiyas, apabila memang
memenuhi syarat-syarat qiyas, ayat qadzaf, misalnya diturunkan khusus
sehubungan dengan kasus Hilal dengan istrinya. Adapun kasus lain yang serupa
dengan kasus tersebut, hukumnya di tetapkan melalui jalan qiyas.[22]
Perlu di berikan
catatan bahwa perbedaan pendapat di atas hanya terjadi pada kasus ayat yang
bersifat umum dan tidak terdapat petunjuk bahwa ayat tersebut berlaku khusus,
jika ternyata ada petunjuk demikian, seluruh ulama Misalnya, riwayat Ibn Abbas
tentang penapsiran surat Ali ‘Imran [3]: 188. Ayat ini Khusus berbicara tentang
prilaku tertentu dari Ahli Kitab, walaupun lafazhnya lebih umum dari sebab
turunya. Jadi, ayat ini tidak tidak bisa di pergunakan untuk kasus lain dengan berpegang
kepada keumuman lafazh.
RINGKASAN
1.
Pengertian Asbab
An-Nuzul
a.
Menurut Az-zarqani:”Asbab
An-Nuzul” adalah Khusus atau sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan
turunnya Al-Quran sebagai penjelas hokum pada saat peristiwa itu terjadi”.
b.
Menurut
Ash-Shabuni: “Asbab An-Nuzul” adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan
turunnya satu atau bebepa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan
kejadian tersebut, baik berupa pertanyyan yang diajukan kepada nabi atau
kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.
c.
Menurut Shubhi
Shalih: “Asbab An-Nuzuladlah suatu yang menjadi sebab satu atau beberapa ayat Al-Quran
(ayat-ayat) terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai respon atasnya. Atau sebagai
penjelas terhadap hokum-hukum di saat peristiwa itu terjadi.
d.
Menurut Mana’
As-Qthathan: ‘Asbab An-Nuzul” adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan
turunnya Al-Quran berkeaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa
satu kejadian atau berupa pertannyan yang diajukan kepada nabi.
2.
Urgensi dan
Kegunaan Asbab An-Nuzul
a.
Membatu dalam
memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam manangkap pesan ayat-ayat
Al-Quran.
b.
Megatasi
keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
c.
Mengkhususkan
hukum yang terkandung dalam ayat Al-Quran, bagi ulama yang berpandapat bahwa
yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat Khusus (Khusus al-sabab) dan bukan lafazh yang bersifat umum (umum
al-lafaz).
d.
Mengidentifikasikan
pelaku yang menyebabkan ayat Al-Quran turun.
e.
Memudahkan untuk
menghafal dan memahami ayat, serta untuk menetapkan wahyu kedalam hati orang
yang mendengarnya.
3.
Cara Mengetahui
Riwayat Asbab An-Nuzul
Asbab An-nuzul adalah peristiwa yang
terjadi pada zaman Rasulullah SAW.oleh karena itu, tidah boleh ada jalan lain
untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatan (pentransmisian) yang benar
(naql Ash-shalih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung tentang
turunnya ayat Al-Quran.
4.
Macam-Macam
asbab An-Nuzul
a.
Dilihat dari Sudut
Pandang Redaksi-Redaksi yang dipergunakan dalam riwayat Asbab an-Nuzul
b.
Kaidah “Al-ibrah”
Mayoritas ulama berpendapat bahwa
pertimbangan untuk satu lafazh Al-Quran adalah keumuman lafazh dan bukanya
kekhususan sebab (al-ibrah bi ‘umum al-lafazhi la bi Khusus asbab). Di sisi
lain, ada juuga ulama yang berpendapat bahwa ungkapan satu lafazh Al-Quran
harus di pandang dari segi kekhususan sebab bukan dari segi keumuman lafazh (al-ibrah
bi Khusus as-sabab la bi’umum al-lafazh).
DAFTAR PUSTAKA
Ibn Katsir, Tafsir
Al-Quran Al-Azhim, t,t.
Jalaluddin As-Syuthi,
Al-itqan fi ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr,Beirut, t,t.
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits
fi ulum Al-Quran, Mansyurat al-Ashr al-Hadis, ttp, 1973.
Muhammad ‘Abd Ash-Azhim
Az-Zarqani, Manahil Al- Irfan, Dar
Al-fikr, Bairut, t.t.
Muhammad Ali
Ash-Shabuni, At-Tibyan fi’ Ulum Al-Quran, Dar Al-Qalam li Al-Malayyin, Bairut,
1988
Taufik Adnan Amal dan
Syamsul Rizal panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Quran,Mizan, Bandung, 1989.
TM Hasbi Ash-Shiddieqy,
Ilmu-Ilmu Al-Quran, Bulan-Bintang, Jakarta, 1988.
Taufikurrohman Drs.M.Ag.Studi
Ulumul Quran Telah Atas Mushaf Utami, Pustaka, Pustaka Setia, Bandung 2003.
Rosihan Anwar, M.Ag
Ulumul Quran, Pustaka Setia, Bandung 2001.
[1] .Muuhammad
‘Abd Az-Azmi Azhim Az-Zarqani, Manhil Al-irfan, Dar Al-Fikr , Bairut t,t jilid l, hlm 106.
[2]
.Muhammad Ali Ash-Shabudin, Al-Tibyan fi ulum Al-Quran, Maktabah Al-Ghazali,
Damaskus, 1390 , hlm, 22.
[3]
.Subhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum
Al-Quran, Dar Al-Qalam li al-Malayyin, Bairut, 1988, hlm.132.
[4] .Mana’
Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum Al-Quran, Mansyuarat Al-Ashr Al-Hadis, ttp, 1972,
hlm, 78.
[5]
.lbid.
[6] .Jalaludin
as-Syutuhi, Al-ltkan fi ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Beirut, Jilid l, hlm 29.
[7]
.Ibd , hlm, 29.
[8]
.Jurnal ‘’kiblat’’, 1987: hlm. 46.
[9]
.Az-Zarqany, op. cit, hlm. 109.
[10]. Amal, op,cit, hlm, 51.
[11] .
Az-Zarkany, op, cit, hlm, 113-114; Ash-Shabuny, op, cit, hlm, 23; Shalih, op,
cit, hlm, 135.
[12] .
Az-Zarqani, op, cit, hlm, 114.
[13]
. As-Syuthi, op, cit, hlm, 52
[14] . Ibid , hlm, 52 dan 229.
[15] . Ibid, hlm, 557.
[16] . Ibid, hlm, 32.
[17]
. Lihat Ibn Katsir Al-Quran al-‘Azhim ,
Jilid II, hlm 65, al-Suyuthi, op, cit, hlm, 56.
[18]
. Al-Suythi, op, cit, hlm, 110.
[19]
. Ibid.
[20] . Ibid.
[21]
. Ibid.
[22]
. Al-Zarqani, op, cit, hlm, 126.
0 comments:
Post a Comment