PEMBAHASAN
Kajian Al-Qur’an Tentang Riba Dalam Aktivitas
Ekonomi Dan Bisnis
A. Teks
Ayat QS. al-Baqarah (3): 275-279
الّذين يأكلون الّربوا لا يقومون الاّ كما يقوم يتخبّطه
الشّيطن من المسّ ذلك بأنّهم قالوا انّما البيع مثل الربوا واحلّ الله البيع وحرّم
الرّبوا فمن جاءه موعظة من ربّه فانتهي فله ما سلف وامره الي الله ومن عاد فأولئك
اصحب النّار هم فيها خالدون * يمحق الله الرّبوا ويربي الصدقت والله لا يحبّ كلّ
كفّار اثيم * انّ الّذين أمنوا وعملوا الصّلحت وأقاموا الصّلوة واتواالزّكوة لهم
أجرهم عند ربّهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون* يايها الّذين امنوا اتقوا الله وذرا
ما بقي من الرّبواان كنتم مؤمنين * فان لم تفعلوا فاْذنوا بحرب من الله ورسوله وان
تبتم فلكم رءوس اموالكم لا تظلمون ولا تظلمون *
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhanya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang talah diambilnya dahulu (sebelum dating
larangan); dan urusanya terserah kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap
orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, mereka mendapa pahala di sisi Tuhanya. Tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya (dirugikan) .”
B.
Pola Pentahapan dan Asbabun Nuzul
Larangan riba yang terdapat dalam
al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan dalam empat tahap.
1.Ar- Rum, 30: 39
وما اْتيتم من ربا ليربوا في اموال النّاس فلا يربوا عند
اللهوما اْتيتم من زكوة تريدون وجه الله فاْولئك هم *المضعفون
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah pada sisi Allah.
Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya).”
Dalam tahap ini, pinjaman riba yang
zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan, sebagai suatu perbuatan
mendekati atau taqarub kepada Allah SWT, ditolak dan tidak tidak diterima. Dan
riba yang dimaksud untuk menambah harta itu, sebenarnya tidaklah menambah di
sisi Allah. Ayat ini turun sebelum hijrah (Makiyah), belum menyatakan haramnya
riba, tetapi sekedar menyatakan bahwa Allah tidak menyukainya.
2.An-Nisa’, 4 : 160 – 161
فبظلم مّن الّذين هادوا حرّمنا عليهم طيبت أحلّت لهم وبصدّهم
عن سبيل الله كثيراَ واحذهم الرّبوا وقد نهوا عنه واكلهم اموال النّاس بالباطل
واعتدنا للكافرين منهم عذابا اّليماَ*
“Maka, disebabkan kezalaiman orang-orang Yahudi, kami
haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)
dilalakan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari
jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka
telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan
yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka itu
siksa yang pedih”.
Ayat ini turun dalam konteks waktu
itu, orang-orang Yahudi biasa melakukan perbuatan dosa besar. Mereka selalu
menyalahi aturan yang telah ditentukan oleh allah SWT. Barang-barang yang telah
dihalakan oleh Allah mereka haramkan, dan apa yang diharamkan oleh Allah mereka
lakukan. Sebagian dari barang yang diharamkan oleh Allah yang mereka banyak
budayakan adalah riba. Hanya orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah
secara jujur dari kalangan meraka – diantaranya Abdullah bin Salam, Tsa’labah
bin Sa’yah, Asad bin Sa’yah dan Asad bin Usaid – saja yang tidak mau melakukan
kezaliman. Sehubungan dengan itu, Allah SWT menurunkan ayat 161 sebagai khabar
tentang perbuatan mereka dan sebagai kabar gembira bagi mereka yang beriman
untuk mendapatkan pahala yang besar dari sisi Allah SWT. (HR. Ibn Abi Hatim
dari Muhammad b. Abdillah b. Yazid al-Muqri dari Yahya b. Uyainah dari Amr b.
Ash).
Dalam tahap ini, riba digambarkan
sebagai sesuatu yang buruk. Dalam ayat ini diceritakan bahwa orang-orang yahudi
dilarang melakukan riba, tetapi larangan itu dilanggar mereka sehingga mereka
dimurkai Allah SWT dan diharamkan kepada mereka sesuatu yang telah pernah
dihalalkan kepada mereka sebagai akibat pelanggaran yang mereka lakukan. Ayat
ini turun sesudah Hijrah (Madaniyah). Dan ayat ini belum secara jelas ditujukan
kepada kaum muslimin, tetapi secara sindiran telah menunjukan bahwa, kaum
muslimin pun jika berbuat demikian akan mendapat kutuk sebagaimana yang didapat
orang-orang yahudi.
3.Ali Imron, 3: 130
يايها الّذين امنوا لا تاءكلوا الربوا اضعافا مضاعفة واتّقوا
الله لعّلكم تفلحون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan
keberuntunga.”
Dalam tahap ini, riba diharamkan
dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir
berpendapat bahawa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan
fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut. Ayat ini turun pada tahun
ke tiga hijrah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa criteria berlipat
ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat
ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat
umum dari parktik pembungaan uang pada saat itu.
Pada waktu itu terdapat orang-orang
yang melakukan akad jual beli dengan jangka waktu tertentu (kredit). Apabila
waktupembayaran telah tiba, mereka ingkar, tidak mau membayar, sehingga dengan
demikian bertambah besarlah bunganya. Dengan menambah bunga berarti mereka
bertambah pula jangka waktu untuk membayar. Sehubungan dengan kebiasaan seperti
ini Allah menurunkan ayat ini, yang pada intinya memberi peringatan dan
larangan atas praktik jual beli yang demikian itu. (HR. Faryabi dari Mujahid).
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa, di zaman
Jahiliyah Tsaqif berhutang kepada Bani Nadhir, pada waktu yang telah dijanjikan
untuk membayar hutang itu, Tsaqif berkata: “Kami akan membayar bunganya dan
kami meminta agar waktu pembayaranya ditangguhkan. Sehubungan dengan hal itu
Allah SWT menurnkan ayat 130 sebagai peringatan, larangan dan ancaman bagi
mereka yang membiasakan berbuat riba. (HR. Faryabi dari Atha’)
4.Al-Baqarah : 278 – 279.
يايها الّذين امنوا اتقوا الله وذرا ما بقي من الرّبواان كنتم
مؤمنين * فان لم تفعلوا فاْذنوا بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم
لا تظلمون ولا تظلمون *
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa-sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu
tidak mengerjakanya (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya
(dirugikan).”
Pada tahap akhir ini, Allah SWT
dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari
pinjaman. Ayat 278 dan 279 diturunkan sehubungan dengan pengaduan Bani Mughirah
kepada gubernur Mekah Itab bin Usaid setelah terbunya Kota Mekah tentang
utang-utang yang dilakukan dengan riba sebelum turunya ayat yang mengharamkan
riba. Bani Mughirah menghutangkan harta kekayaan kepada Bani Amr bin Auf dari
penduduk Tsaqif. Bani Mughirah berkata kepada Itab bin Usaid: “Kami adalah
segolongan yang paling menderita lantaran dihapuskanya riba. Kami ditagih riba
oleh orang lain, sedangkan kami tidak mau menerima riba lagi karena taat kepada
peraturan Allah AWT yang menghapu riba”. Bani Amr bin Auf berkata: “Kami minta
penyelesaian tagihan riba kami”. Oleh sebab itu Gubernur Mekah Itab bin Usaid
mengirim surat kepada Rasulullah SAW yang isinya melaporkan kejadian tersebut.
Surat ini dijawab oleh Rasulullah SAW setelah turunya ayat 278 dan 279 ini.
Didalam ayat ini ditegaskan tentang perintah untuk meninggalkan riba.
C.
Munasabah Ayat
Dalam ayat-ayat yang terdahulu
berbicara tentang nafkah atau sedekah dalam berbagai aspeknya. Dalam anjuran
bernafkah, tersirat anjuran untuk bekerja dan meraih apa yang dapat
dinafkahkan. Karena bagiamana mungkin dapat memberi, kalau anda tidak memiliki.
Nah, ada cara perolehan harta yang dilarang oleh ayat ini, yaitu yang bertolak
belakang dengan sedekah. Cara tersebut adalah riba. Sedekah adalah pemberian
tulus dari yang mampu kepada yang butuh tanpa mengharapkan imbalan dari mereka.
Riba adalah mengambil kelebihan di atas modal dari yang butuh dengan
mengeksploitasi kebutuhannya. Para pemakan riba itulah yang dikecam oleh ayat
ini, apalagi praktik ini dikenal luas di kalangan masyarakat arab.
Apabila dicermati satu persatu ayat-ayat
di atas, riba dikaitkan dengan beberapa hal, seperti jual beli, shodaqah,
hutang dan sebagainya. Dan kata-kata kunci tersebut mengkonstruk pemikiran
pembaca terhadap kuatnya larangan perbuatan riba.
Berikut ini dijelaskan tentang
kata-kata kunci tersebut yang dihubungkan dengan riba.
1.Riba dan jual beli
Kaum musyrik mempersamakan riba
dengan jual beli. Bukankah keduanya menghasilkan keuntungan? Demikian, lebih
kurang, logika mereka. Ayat ini menyampaikan ucapan mereka yang menyatakan,
jual beli tidak lain kecualli sama dengan riba. Mereka berkata seperti itu,
padahal Allah telah manghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Ini karena
substansi keduanya sungguh berbeda. Jual beli adalah transaksi yang
menguntungkan kedua belah pihak, sedangkan riba merugikan salah satu pihak.
Keuntungan yang pertama diperoleh melalui kerja manusia; sedangkan yang kedua,
yang menghasilkan adalah uang bukan kerja manusia. Jual beli mengandung unsur
menuntut aktivitas manusia, sedangkan riba tanpa aktivitas mereka. Jual beli
mengandung kemungkinan untung dan rugi, tergantung kepada kepandaian mengelola,
kondisi dan situasi pasar pun ikut menentukan; sedangkan riba menjamin
keuntungan bagi yang meminjamkan, dan tidak mengandung kerugian. Riba tidak
membutuhkan kepandaian, dan kondisi pasar pun tidak terlalu menentukan. Itu
sedikit yang membedakannya.
2.Riba dan shadaqah
Penganiayaan yang timbul karena
praktek riba menimbulkan kedengkian di kalangan masyarakat, khususnya kaum
lemah. Kedengkian tersebut sedikit demi sedikit semakin meluas, sehingga pada
akhirnya menimbulkan bencana yang membinasakan. Jangan dikira bahwa kebinasaan
dan keburukan riba hanya tercermin pada praktek-praktek amoralyang dilakukan
oleh para lintah darat, tatapi kebinasaan itu juga menimpa bidang ekonomi, pada
tingkat individu dan masyarakat. Banyak pengalaman dalam kedua tingkat itu yang
dapat dijadikan contoh. Banyak peristiwa yang membuktikan, betapa mereka yang
melakukan transaksi riba pada akhirnya terjerumus dalam kemiskinan.
Lawan riba adalah sedekah. Tidak
heran jika Allah menyuburkan sedekah. Jangan dikira bahwa penyuburan,
penambahan dan pengembangan itu hanya dari sisi spiritual, atau kejiwaan yang
dilahirkan oleh bantuan pemberi sedekah. Jangan diduga hanya ketenangan batin
dan ketentraman hidup yang diraih oleh pemberi dan penerima. Akan tetapi dari
segi material pun sedekah mengembangkan dan menambah harta. Karena, seseorang
yang bersedekah tulus akan merasakan kelezatan dan kenikmatan membantu, dan ini
gilirannya melahirkan ketenangan dan ketenteraman jiwa yang dapat mendorongnya
untuk lebih berkosentrasi dalam usahannya. Di sisi lain, penerima sedekah dan
infak, dengan bantuan yang diterimanya akan mampu mendorong terciptanya daya
beli dan penambahan produksi. Itu sedikit dari fungsi sedekah dan infak dalam
pengembangan harta.
3.Hutang dan Kesulitan hidup
Apabila ada seseorang yang berada
dalam situasi sulit, atau akan terjerumus dalam kesulitan bila membayar
hutangnya, maka tangguhkan penagihan sampai dia lapang. Jangan menagihnya jika kamu
mengetahui dia sempit, apalagi memaksanya membayar dengan sesuatu yang amat dia
butuhkan.
Dan orang yang menangguhkan itu,
pinjamannya dinilai sebagai qardh hasan, yakni pinjaman yang baik. Setiap detik
ia menangguhkan dan menahan diri untuk tidak menagih, setiap saat itu pula
Allah memberinya ganjaran, sehingga berlipat ganda ganjaran itu.
Yang lebih baik dari meminjamkan
adalah mensedekahkan sebagian atau semua utang itu. Kalau demikian, jika kamu
mengetahui bahwa hal tersebut labih baik, maka bergegaslah meringankan yang
berhutang atau membebaskannya dari hutang.
D.
Sejarah Riba
Ayat-ayat al-Qur’an, di atas
membicarakan riba sesuai dengan periode larangan, sampai akhirnya datang
larangan tegas pada akhir periode penetapan hukum riba. Riba pada agama-agama
samawi telah dinyatakan haram. Tersebut dalam Perjanjian Lama Kitab keluaran
ayat 25 pasal 22: “Bila kamu menghutangi seseorang dianatar warga bangsamu uang
muka maka janganlah kamu berlaku laksana seorang pemberi hutang, jangan kamu
meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang”.
Namun orang Yahudi beranggapan bahwa
riba itu hanyalah terlarang kalau dilakukan di kalangan sesama Yahudi. Tetapi
tidak terlarang dilakukan terhadap non Yahudi. Hal ini tersebut dalam kitab
Ulangan ayat 20 pasal 23.
Reputasi bangsa Yahudi dalam bisnis
pembungaan uang memang sangat terkenal. Pada masa kini pun di AS, praktek
pembungaan uang oleh kelompok etnis Yahudi, di luar lembaga perbankan, koperasi
atau credit union, masih menjadi fenomena umum. Di negeri kita, kegiatan ini dikenal
sebagai tukang kredit.
Tetapi Islam mengangap bahwa
ketetapan-ketetapan yang mengharamkan riba yang hanya berlaku pada golomgam
tertentu, sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Lama merupakan ketetapan yang
telah dipalsukan. Sebab riba diharamkan bagi siapa saja dan terhadap siapa
saja, karena hal itu merupakan suatu yang zalim dan kezaliman, sehingga
diharamkan kepada semua tanpa pandang bulu. Islam tidak membedakan manusia
karena bangsanya atau warna kulitnya atau keturunanya. Karena manusia adalah
hamba Allah. Tetapi umat Yahudi menganggap ada perbedaan besar antara umat
yahudi dengan umat yang lain, sebagaimana mereka katakana dalam al-Qur’an;
“Kami adalah putra-putra Allah dan kekasih-Nya”.
Berbeda dengan umat Yahudi, umat
Nasrani dalam hal riba, secara tegas mengharamkan riba bagi semua orang, tanpa
membedakan kalangan Nasrani maupun non-Nasrani. Tokoh-tokoh gereja sepakat
berpegang pada ketetapan-ketetapan agama yang ada pada mereka. “Jika kamu
menghutangi kepada orang yang engkau harapkan imbalanya, maka dimana sebenarnya
kehormatan kamu. Tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan
tidak mengharapkan kembalinya. Karena pahala kamu akan sangat banyak.”
Ketetapan semacam ini menuntunkan
pengharaman riba dengan tegas dalam agama nasrani. Namun kaum periba berusaha
untuk menghalalkan beberapa keuntungan yang tidak dibenarkan oleh pihak geraja
karena pengaruh ekonomi yahudi. Akhirnya muncul anggapan dan pendapat, bahwa
keuntungan yang diberikan sebagai imbalan administrative dan organisasi
dibenarkan. Akhirnya banyak orang mengambil fatwa ini sehingga berani
menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah.
E.
Riba Dan Bunga Bank
Pertanyaan seputar persolan bunga bank
apakah sama dengan riba, masih sering kali mencuat dan menyisakan banyak
persoalan yang belum tuntas terjawab. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh
rumusan riba nasi’ah[30] oleh para fuqaha yang disimpulkan oleh Wahbah Zuhali
dengan, “mengakhirkan pembayaran hutang dengan tambahan dari hutang pokok”.
Dalam sejarah peradaban manusia,
tidak selamanya tambahan atas jumlah pinjaman itu mendatangkan kesengsaraan.
Ada juga yang mendatangkan keuntungan baik kepada penerima maupun pemberi
pinjaman. Tetapi Karena rumusan di atas sudah demikian mapan dalam ilmu Fiqh,
maka semua kegiatan ekonomi yang mengandung formula “tambahan atas jumlah
pinjaman”, baik berakibat menyengsarakan atau menguntungkan, tetap dimasukan
dalam riba yang diharamkan itu. Begitu jelas mapanya rumusan riba nasi’ah,
sehingga para fuqaha tidak lagi menganggap ada persoalan, “apa sebab riba
mendatangkan kesengsaraan” atau bagaimana kondisi pihak peminjam dan pemberi
pinjaman ketika terjadi perjanjian yang menuju riba?. Perhatian mereka tertuju
pada pencarian illat, barang-banarng apa yang boleh atau tidak boleh
dijualbelikan dengan tenggang waktu.
Pada masa sekarang, adanya upaya
peninjauan ulang tentang riba dalam al-Qur’an disebabkan oleh kontak orang
Islam dengan kegiatan perbankan. Bank adalah bagian dari peradaban Barat. Maka,
yang dimaksud dengan kontak itu adalah sesudah diterimanya peradaban Barat oleh
para tokoh pembaharu dalam Islam, yaitu sesudah abad ke-18.Karenanya,
kontroversi tentang hokum bunga bank muncul sesudah kurun waktu tersebut, tidak
sebelumnya. Dalam catatan sejarah, berdirinya lembaga perbankan di berbagai
negara Islam adalah sesudah abad ke- 20.
Sebagai finacial intermediary, bank
dapat dikatakan membeli uang dari masyarakat pemilik dana ketika ia menerima
simpanan, dan menjual uang kepada masyarakat yang memerlukan danaketika ia
memberi pinjaman. Dalam kegiatan ini, muncul apa yang disebut bunga. Menurut
Sri Edi Swasono, bahwa bunga adalah harga uang dalam transaksi jual beli
tersebut. Dengan demikian, bunga yang ditarik oleh bank dari pemakai jasa,
merupakan ongkos adminstrasi dan ongkos sewa.
Untuk mengetahui lebih mendalam
tentang ihwal hokum bunga bank, di sini akan dipaparkan analisis yang berpijak
dari kerangka penalaran bayani dan ta’lili untuk menelusuri karakteristik riba
dalam al-Qur’an.
1.Penalaran bayani
Dalam surah Ali Imran: 30, riba
diberi sifat “lipat ganda”. Tidak demikian yang tersurat di dalam surah
al-Baqarah: 278. dalam ayat ini disebutkan bahwa setiap pengembalian melebihi
jumlah pokok modal disebut riba. Ada kesan paradoks antar dua ayat dari dua
surat di atas. Sehingga ada ulama yang mengatakan, riba yang terlarang adalah
yang mempunyai unsur lipat ganda. Ada pula yang tidak membatasi riba berlipat
ganda, seperti pendapat fuqaha pada umumnya.
Akhir surat al-Baqarah : 278,
ditegaskan “….. kamu tidak berbuat zalim, tidak pula menjadi korbanya”. Jika
ini yang dijadikan tolak ukur riba, maka jalan tengah dapat ditemukan. Yaitu
betapa pun kecilnya tambahan itu, apabila menimbulkan kesengsaraan (zulm)
termasuk riba. Hanya saja, karena di masa Rasul riba selalu mengambil ad’af
mudha’afah, tidak dalam bentuk lain, maka sifat ini disebut dalam al-Qur’an.
Dengan demikian , ad’af mudh’afah relevan dengan ketidakadilan.
Perlu dijadikan pertimbangan, bahwa
di masa Rasul tidak ada inflasi, karena mata uang yang berlaku adalah uang mas
dan perak (dinar dan dirham). Karenaya, pengembalian hutang sebesar jumlah
pinjaman menggambarkan keadilan. Dalam suatu kurun waktu di mana inflasi
melanda mata uang tertentu, maka pengembalian hutang sebesar jumlah pinjaman
tidak menggambarkan keadilan, sebaliknya, menimbulkan kerugian sepihak. Kalau
statemen la tazlamun wa la tuzlamun (al-Baqarah: 278) dijadikan kunci dalam
memahami riba dalam al-qur’an, maka pengembalian hutang sebesar pinjaman
berikut bunga yang proporsional dengan besarnya inflasi akan menjamin keadilan
dari pada tambahan. Kalau demikian, maka pemahaman lebih adil tentang pokok
modal masa sekarang untuk kasus Indonesia, adalah modal dihitung berdasarkan
kurs, bukan berdasarkan nilai nominal. Dengan cara demikian maka pihak pemberi
pinjaman maupun yang meminjamn tidak dirugikan.
1.Penalaran ta’lili
Berdasarkan pembahasan sebelumnya,
bahwa riba didefinisikan sebagai “tambahan yang diperjanjikan atas besarnya
pinjaman ketika pelunasan hutang..” Jadi tekananya pada “tambahan” sebagai ciri
pokok riba.
Riba juga dapat didefinisikan dengan tambahan atas besarnya
pinjaman ketika pelunasan hutang yang mendatangkan kesengsaraan pihak
peminjam”. Di sini tekanannya ada pada “kesengsaraan/zulm” bukan ‘tambahan’.
Tambahan sebagai ‘an-nau’/ ‘species’, sedangkan kesengsaran sebagai al-jins/
genus/ ‘illat. Sama halnya dengan ungkapan “khamar” adalah minuman yang
memabukan”, maka khamr adalah sesuatu yang didefinisikan, minuman sebagai
an-nau’/ sepecies, dan memabukan sebagai al-jins/ genus/ ‘illat.
Dari paparan di atas, dapat
diketahui bahwa esensi riba adalah “tambahan”, dan ada pula yang mengatakan
esensinya adalah “zulm’. Namun, jika kembali kepada pangkal persoalan larangan
riba, maka “tambahan” tidak mempunyai makna apa-apa. Sebaliknya, ketidakadilan
adalah hal yang bertentangan dengan tujuan penetapan prinsip ekonomi Islam.
Karenanya, ‘illat larangan riba seharusnya ‘zulm’ bukan “tambahan”.
F.
Berbagai Fatwa Tentang Riba
Hampir semua Majelis Fatwa ormas
Islam berpengearuh di Indonesia, seperti Muhammadiya dan Nahdlatul Ulama, telah
membahas masalah riba. Pembahasan itu sebagai bagian dari kepedulian
ormas-ormas Islam tersebut terhadap berbagai masalah yang berkembang di tengah
umatnya. Untuk itu, kedua oraganisasi tersebut memiliki lembaga ijtihad, yaitu
Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama.
Berikut ini adalah cuplikan dari
keputusan-keputasan kedua lembaga ijtihad tersebut yang berkaitan dengan riba
dan pembungaan uang.
1.Majelis Tarjih Muhammadiyah
Majelis Tarjih telah mengambil
keputusan mengenai hokum ekonomi/ keuangan di luar zakat, meliputi masalah
perbankan (1968 dan 1972), keuangan secara umum (1976), dan koperasi simpan
pinjam (1989).
Majelis tarjih Sidoarjo (1968)
memutuskan:
a) riba hukumnya haram dengan nash
sharih al-qur’an dan as-Sunnah;
b) bank dengan system bunga hukumnya haram dan
bank tanpa riba hukumnya halal;
c) bunga yang diberikan oleh bank-bank
milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku,
termasuk perkara musytabihat;
d) menyarankan kepada PP Muhammadiyah
untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system perekonomian, khususnya lembaga
perbankan yang sesuai dengan kaidah islam.
Penjelasan keputusan ini menyebutkan
bahwa bank negara, secara kepemilikan dan misi yang diemban, sangat berbeda
dengan bank swasta. Tingkat suku bunga bank swasta waktu itu relatif rendah
dari suku bunga bank swasta nasional. Meskipun demikian, kebolehan bunga bank
negara ini masih tergolong musytabihat (dianggap meragukan).
Majelis Tarjih Wiradesa, Pekalongan
(1972) memutuskan:
a) mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah
untuk segera dapat memenuhi keputusan Majelis Tarjih Sidoarjo tahun 1968
tentang terwujudnya tentang konsepsi system perekonomian, khususnya lembaga
perbankan sesuai dengan kaidah Islam;
b) mendesak Majelis Tarjih PP Muhammadiyah
untuk dapat mengajukan konsepsi tersebut dalam muktamar yang akan datang.
Masalah keuangan secara umum
ditetapkan berdasarkan keputusan muktamar Majelis Tarjih Garut (1976).
Keputusan tersebut menyangkut bahasan pengertian keuangan atau harta, hak
milik, dan kewajiban pemilik uang menurut Islam. Adapun masalah koperasi simpan
pinjam dibahas dalam Muktamar Majelis Tarjih Malang 91989). Keputusanya;
koperasi simpan pinjam bukan termasuk riba.
Berdasarkan keputusan Malang di
atas, Majelis Tarjih PP Muhammadiyah mengeluarkan satu tambahan keterangan,
yakni bahwa tambahan pembayaran atau jasa yang diberikan peminjam kepada
koperasi simpan pinjam bukanlah riba. Akan tetapi, dalam pelaksanaanya, perlu
mengingat beberapa hal. Diantaranya, hendaknya tambahan pembayaran (jasa) tidak
melampaui laju inflasi.
1.Lajnah Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama
Mengenai bank dan pembungaan uang,
Lajnah memutuskan masalah tersebut melalui beberapa kali sidang. Menurut
Lajnah, hokum bank dan hokum bunganya sepertai gadai. Terdapat tiga pendapat
ulama sehubungan dengan masalah tersebut, yaitu;
a) Haram, sebab termasuk utang yang
dipungut rente;
b) Halal, sebab tidak ada syart pada
waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak begitu saja dijadikan syarat;
c) Syubhat (tidak tahu halal-haramnya),
sebab para ahli hokum berselisih pendapat tentangnya.[44] Meskipun ada
perbedaan pandangan, lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih hati-hati
ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank adalah haram.
Keputusan lajnah bahsul Masail yang
lebih lengkap tentang masalah bank ditetapkan pada sidang di Bandar lampung
(1982). Kesimpulan sidang yang membahas tema masalah bank Islam tersebut antara
lain sebagai berikut:
1.Para musyawirin masih berbeda pendapat tentang hokum bunga
bank konvensional.
a) Ada pendapat yang mempersamakan
antara bunga bank dan riba secara mutlak, sehinga hukumnya haram;
b) Ada pendapat yang tidak
mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya boleh;
c) Ada pendapat yang menyatakan
hukumnya subhat (tidak identik denga haram).
2.Menyadari bahwa warga NU merupakan potensi yang sangat
besar dalam pembangunan Nasional dan dalam kehidupan social ekonomi, diperlukan
adanya suatu lembaga keuangan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan keyakinan
warga NU. Karenanya lajnah memandang perlu mencari jalan keluar menentukan
system perbankan yang sesuai dengan hokum Islam, yakni bank tanpa bunga dengan
langkah-langka sebagai berikut;
a) Sebelum tercapai cita-cita di atas,
hendaknya system perbankan yang dijalankan sekarang ini segera diperbaiki;
b) Perlu diatur hal-hal berikut;
pertama, penghimpunan dana masyarakat dengan prinsip Al-Wadi’ah (simpanan) dan
al-Mudharabah; kedua, penanaman dana dan kegiatan usaha.
c) Munas mengamanatkan kepada PBNU agar
membentuk suatu tim pengawas dalam bidang syari’ah, sehingga dapat menjamin
keseluruhan operasional bank NU tersebut dengan kaidah-kaidah muamalah Islam;
d) Para musyawirin mendukung dan
menyetujui berdirinya bank Islam NU dengan system tanpa bunga.
Kesimpulan
Dari kajian dan pembahasan makalah
di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut bahwa wacana tentang riba masih
belum selesai dan akan tetap terus diperdebatkanstatusnya dan aplikasinya dalam
setiap konteks zaman. Dan sudah menjadi kebulatan pendapat kaum muslimin bahwa
hokum riba adalah haram. Dengan demikian ayat tersebut dalam kandungan
normatifnya bestatus muhkam. Sementara dalam aplikasinya para ahli hokum Islam
mempunyai beragam pendapat dengan beragam argumen. Dengan demikian dalam
konteks aplikasi persoalan riba adalah musytabihat. Sehingga ketika sesorang
mengambil hokum riba untuk sesuatu perbuatan tentunya tergantung dari metode
apa yang dipakai.
Daftar Pustaka
Ahmad Sukardja, “Riba, Bunga bank,
dan Keridit perumahan”, dalam Chuzaimah T. Yanggo & HA. Hafiz Anshary AZ
(Ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku ke-3, Jakarat: Pustaka Firdaus
& LSIK, 1995.
A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul:
Studi Pendalaman Al-Qur’an , Jakarta: Rajawali Pers, 1989.
Abu Sura’I Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam
Islam, alih bahasa M. Thalib, Surabaya: al-Ikhlash, 1993.
Departemen Agama RI Proyek Pengadaan
kitan Suci Al-Qur’an, Al-Qur’an dan terjemahnya, Jakarta: CV Indah Press,
1992/1993.
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad
Majelis tarjih Muhammadiyah, Jakarta; Logos Publishing House, 1995.
Fuad Zein, “Aplikasi Ushul Fiqh
dalam kajian keuangan Kontemporer”, dalam Aunurafiq (ed), Mazhab Jogja:
Menggagas Pradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Fak. Syariah IAIN &
ar-Ruzz Press, 2002.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Imam Syafi’ie, Konsep Ilmu
Pengetahuan dalam al-Qur’an (pendekatan Tafsir Tematik); Proposal Penelitian
Untuk Penyusunan Desertasi, Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 1993.
M. Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah:
Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 1, Jakarta: Lentera Hati, 2000.
Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan
Umat Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Muhammad, Kebijakan Fiskal dan
Moneter dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2002.
M. Dawam Raharjo, “Ensiklopedi
Al-Qur’an: Riba”, dalam Jurnal ilmu dan Kebudayaan: ulumul Quran, No. 9, vol.
I, th. 1991/1411H.
0 comments:
Post a Comment