Sunday, June 3, 2012

,

Kajian Al-Qur’an Tentang Riba Dalam Aktivitas Ekonomi Dan Bisnis


PEMBAHASAN
Kajian Al-Qur’an Tentang Riba Dalam Aktivitas Ekonomi Dan Bisnis
A.    Teks Ayat QS. al-Baqarah (3): 275-279

الّذين يأكلون الّربوا لا يقومون الاّ كما يقوم يتخبّطه الشّيطن من المسّ ذلك بأنّهم قالوا انّما البيع مثل الربوا واحلّ الله البيع وحرّم الرّبوا فمن جاءه موعظة من ربّه فانتهي فله ما سلف وامره الي الله ومن عاد فأولئك اصحب النّار هم فيها خالدون * يمحق الله الرّبوا ويربي الصدقت والله لا يحبّ كلّ كفّار اثيم * انّ الّذين أمنوا وعملوا الصّلحت وأقاموا الصّلوة واتواالزّكوة لهم أجرهم عند ربّهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون* يايها الّذين امنوا اتقوا الله وذرا ما بقي من الرّبواان كنتم مؤمنين * فان لم تفعلوا فاْذنوا بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لا تظلمون ولا تظلمون *

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhanya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang talah diambilnya dahulu (sebelum dating larangan); dan urusanya terserah kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapa pahala di sisi Tuhanya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya (dirugikan) .”
B.     Pola Pentahapan dan Asbabun Nuzul
Larangan riba yang terdapat dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan dalam empat tahap.
1.Ar- Rum, 30: 39

وما اْتيتم من ربا ليربوا في اموال النّاس فلا يربوا عند اللهوما اْتيتم من زكوة تريدون وجه الله فاْولئك هم *المضعفون

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
Dalam tahap ini, pinjaman riba yang zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan, sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarub kepada Allah SWT, ditolak dan tidak tidak diterima. Dan riba yang dimaksud untuk menambah harta itu, sebenarnya tidaklah menambah di sisi Allah. Ayat ini turun sebelum hijrah (Makiyah), belum menyatakan haramnya riba, tetapi sekedar menyatakan bahwa Allah tidak menyukainya.

2.An-Nisa’, 4 : 160 – 161

فبظلم مّن الّذين هادوا حرّمنا عليهم طيبت أحلّت لهم وبصدّهم عن سبيل الله كثيراَ واحذهم الرّبوا وقد نهوا عنه واكلهم اموال النّاس بالباطل واعتدنا للكافرين منهم عذابا اّليماَ*

“Maka, disebabkan kezalaiman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dilalakan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.
Ayat ini turun dalam konteks waktu itu, orang-orang Yahudi biasa melakukan perbuatan dosa besar. Mereka selalu menyalahi aturan yang telah ditentukan oleh allah SWT. Barang-barang yang telah dihalakan oleh Allah mereka haramkan, dan apa yang diharamkan oleh Allah mereka lakukan. Sebagian dari barang yang diharamkan oleh Allah yang mereka banyak budayakan adalah riba. Hanya orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah secara jujur dari kalangan meraka – diantaranya Abdullah bin Salam, Tsa’labah bin Sa’yah, Asad bin Sa’yah dan Asad bin Usaid – saja yang tidak mau melakukan kezaliman. Sehubungan dengan itu, Allah SWT menurunkan ayat 161 sebagai khabar tentang perbuatan mereka dan sebagai kabar gembira bagi mereka yang beriman untuk mendapatkan pahala yang besar dari sisi Allah SWT. (HR. Ibn Abi Hatim dari Muhammad b. Abdillah b. Yazid al-Muqri dari Yahya b. Uyainah dari Amr b. Ash).
Dalam tahap ini, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Dalam ayat ini diceritakan bahwa orang-orang yahudi dilarang melakukan riba, tetapi larangan itu dilanggar mereka sehingga mereka dimurkai Allah SWT dan diharamkan kepada mereka sesuatu yang telah pernah dihalalkan kepada mereka sebagai akibat pelanggaran yang mereka lakukan. Ayat ini turun sesudah Hijrah (Madaniyah). Dan ayat ini belum secara jelas ditujukan kepada kaum muslimin, tetapi secara sindiran telah menunjukan bahwa, kaum muslimin pun jika berbuat demikian akan mendapat kutuk sebagaimana yang didapat orang-orang yahudi.

3.Ali Imron, 3: 130

يايها الّذين امنوا لا تاءكلوا الربوا اضعافا مضاعفة واتّقوا الله لعّلكم تفلحون

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntunga.”
Dalam tahap ini, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahawa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut. Ayat ini turun pada tahun ke tiga hijrah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa criteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari parktik pembungaan uang pada saat itu.
Pada waktu itu terdapat orang-orang yang melakukan akad jual beli dengan jangka waktu tertentu (kredit). Apabila waktupembayaran telah tiba, mereka ingkar, tidak mau membayar, sehingga dengan demikian bertambah besarlah bunganya. Dengan menambah bunga berarti mereka bertambah pula jangka waktu untuk membayar. Sehubungan dengan kebiasaan seperti ini Allah menurunkan ayat ini, yang pada intinya memberi peringatan dan larangan atas praktik jual beli yang demikian itu. (HR. Faryabi dari Mujahid).
 Dalam riwayat lain diceritakan bahwa, di zaman Jahiliyah Tsaqif berhutang kepada Bani Nadhir, pada waktu yang telah dijanjikan untuk membayar hutang itu, Tsaqif berkata: “Kami akan membayar bunganya dan kami meminta agar waktu pembayaranya ditangguhkan. Sehubungan dengan hal itu Allah SWT menurnkan ayat 130 sebagai peringatan, larangan dan ancaman bagi mereka yang membiasakan berbuat riba. (HR. Faryabi dari Atha’)

4.Al-Baqarah : 278 – 279.

يايها الّذين امنوا اتقوا الله وذرا ما بقي من الرّبواان كنتم مؤمنين * فان لم تفعلوا فاْذنوا بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لا تظلمون ولا تظلمون *

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakanya (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya (dirugikan).”
Pada tahap akhir ini, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ayat 278 dan 279 diturunkan sehubungan dengan pengaduan Bani Mughirah kepada gubernur Mekah Itab bin Usaid setelah terbunya Kota Mekah tentang utang-utang yang dilakukan dengan riba sebelum turunya ayat yang mengharamkan riba. Bani Mughirah menghutangkan harta kekayaan kepada Bani Amr bin Auf dari penduduk Tsaqif. Bani Mughirah berkata kepada Itab bin Usaid: “Kami adalah segolongan yang paling menderita lantaran dihapuskanya riba. Kami ditagih riba oleh orang lain, sedangkan kami tidak mau menerima riba lagi karena taat kepada peraturan Allah AWT yang menghapu riba”. Bani Amr bin Auf berkata: “Kami minta penyelesaian tagihan riba kami”. Oleh sebab itu Gubernur Mekah Itab bin Usaid mengirim surat kepada Rasulullah SAW yang isinya melaporkan kejadian tersebut. Surat ini dijawab oleh Rasulullah SAW setelah turunya ayat 278 dan 279 ini. Didalam ayat ini ditegaskan tentang perintah untuk meninggalkan riba.
C.    Munasabah Ayat
Dalam ayat-ayat yang terdahulu berbicara tentang nafkah atau sedekah dalam berbagai aspeknya. Dalam anjuran bernafkah, tersirat anjuran untuk bekerja dan meraih apa yang dapat dinafkahkan. Karena bagiamana mungkin dapat memberi, kalau anda tidak memiliki. Nah, ada cara perolehan harta yang dilarang oleh ayat ini, yaitu yang bertolak belakang dengan sedekah. Cara tersebut adalah riba. Sedekah adalah pemberian tulus dari yang mampu kepada yang butuh tanpa mengharapkan imbalan dari mereka. Riba adalah mengambil kelebihan di atas modal dari yang butuh dengan mengeksploitasi kebutuhannya. Para pemakan riba itulah yang dikecam oleh ayat ini, apalagi praktik ini dikenal luas di kalangan masyarakat arab.
Apabila dicermati satu persatu ayat-ayat di atas, riba dikaitkan dengan beberapa hal, seperti jual beli, shodaqah, hutang dan sebagainya. Dan kata-kata kunci tersebut mengkonstruk pemikiran pembaca terhadap kuatnya larangan perbuatan riba.


Berikut ini dijelaskan tentang kata-kata kunci tersebut yang dihubungkan dengan riba.
1.Riba dan jual beli       
Kaum musyrik mempersamakan riba dengan jual beli. Bukankah keduanya menghasilkan keuntungan? Demikian, lebih kurang, logika mereka. Ayat ini menyampaikan ucapan mereka yang menyatakan, jual beli tidak lain kecualli sama dengan riba. Mereka berkata seperti itu, padahal Allah telah manghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Ini karena substansi keduanya sungguh berbeda. Jual beli adalah transaksi yang menguntungkan kedua belah pihak, sedangkan riba merugikan salah satu pihak. Keuntungan yang pertama diperoleh melalui kerja manusia; sedangkan yang kedua, yang menghasilkan adalah uang bukan kerja manusia. Jual beli mengandung unsur menuntut aktivitas manusia, sedangkan riba tanpa aktivitas mereka. Jual beli mengandung kemungkinan untung dan rugi, tergantung kepada kepandaian mengelola, kondisi dan situasi pasar pun ikut menentukan; sedangkan riba menjamin keuntungan bagi yang meminjamkan, dan tidak mengandung kerugian. Riba tidak membutuhkan kepandaian, dan kondisi pasar pun tidak terlalu menentukan. Itu sedikit yang membedakannya.
2.Riba dan shadaqah
Penganiayaan yang timbul karena praktek riba menimbulkan kedengkian di kalangan masyarakat, khususnya kaum lemah. Kedengkian tersebut sedikit demi sedikit semakin meluas, sehingga pada akhirnya menimbulkan bencana yang membinasakan. Jangan dikira bahwa kebinasaan dan keburukan riba hanya tercermin pada praktek-praktek amoralyang dilakukan oleh para lintah darat, tatapi kebinasaan itu juga menimpa bidang ekonomi, pada tingkat individu dan masyarakat. Banyak pengalaman dalam kedua tingkat itu yang dapat dijadikan contoh. Banyak peristiwa yang membuktikan, betapa mereka yang melakukan transaksi riba pada akhirnya terjerumus dalam kemiskinan.
Lawan riba adalah sedekah. Tidak heran jika Allah menyuburkan sedekah. Jangan dikira bahwa penyuburan, penambahan dan pengembangan itu hanya dari sisi spiritual, atau kejiwaan yang dilahirkan oleh bantuan pemberi sedekah. Jangan diduga hanya ketenangan batin dan ketentraman hidup yang diraih oleh pemberi dan penerima. Akan tetapi dari segi material pun sedekah mengembangkan dan menambah harta. Karena, seseorang yang bersedekah tulus akan merasakan kelezatan dan kenikmatan membantu, dan ini gilirannya melahirkan ketenangan dan ketenteraman jiwa yang dapat mendorongnya untuk lebih berkosentrasi dalam usahannya. Di sisi lain, penerima sedekah dan infak, dengan bantuan yang diterimanya akan mampu mendorong terciptanya daya beli dan penambahan produksi. Itu sedikit dari fungsi sedekah dan infak dalam pengembangan harta.
3.Hutang dan Kesulitan hidup
Apabila ada seseorang yang berada dalam situasi sulit, atau akan terjerumus dalam kesulitan bila membayar hutangnya, maka tangguhkan penagihan sampai dia lapang. Jangan menagihnya jika kamu mengetahui dia sempit, apalagi memaksanya membayar dengan sesuatu yang amat dia butuhkan.
Dan orang yang menangguhkan itu, pinjamannya dinilai sebagai qardh hasan, yakni pinjaman yang baik. Setiap detik ia menangguhkan dan menahan diri untuk tidak menagih, setiap saat itu pula Allah memberinya ganjaran, sehingga berlipat ganda ganjaran itu.
Yang lebih baik dari meminjamkan adalah mensedekahkan sebagian atau semua utang itu. Kalau demikian, jika kamu mengetahui bahwa hal tersebut labih baik, maka bergegaslah meringankan yang berhutang atau membebaskannya dari hutang.
D.    Sejarah Riba
Ayat-ayat al-Qur’an, di atas membicarakan riba sesuai dengan periode larangan, sampai akhirnya datang larangan tegas pada akhir periode penetapan hukum riba. Riba pada agama-agama samawi telah dinyatakan haram. Tersebut dalam Perjanjian Lama Kitab keluaran ayat 25 pasal 22: “Bila kamu menghutangi seseorang dianatar warga bangsamu uang muka maka janganlah kamu berlaku laksana seorang pemberi hutang, jangan kamu meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang”.
Namun orang Yahudi beranggapan bahwa riba itu hanyalah terlarang kalau dilakukan di kalangan sesama Yahudi. Tetapi tidak terlarang dilakukan terhadap non Yahudi. Hal ini tersebut dalam kitab Ulangan ayat 20 pasal 23.
Reputasi bangsa Yahudi dalam bisnis pembungaan uang memang sangat terkenal. Pada masa kini pun di AS, praktek pembungaan uang oleh kelompok etnis Yahudi, di luar lembaga perbankan, koperasi atau credit union, masih menjadi fenomena umum. Di negeri kita, kegiatan ini dikenal sebagai tukang kredit.
Tetapi Islam mengangap bahwa ketetapan-ketetapan yang mengharamkan riba yang hanya berlaku pada golomgam tertentu, sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Lama merupakan ketetapan yang telah dipalsukan. Sebab riba diharamkan bagi siapa saja dan terhadap siapa saja, karena hal itu merupakan suatu yang zalim dan kezaliman, sehingga diharamkan kepada semua tanpa pandang bulu. Islam tidak membedakan manusia karena bangsanya atau warna kulitnya atau keturunanya. Karena manusia adalah hamba Allah. Tetapi umat Yahudi menganggap ada perbedaan besar antara umat yahudi dengan umat yang lain, sebagaimana mereka katakana dalam al-Qur’an; “Kami adalah putra-putra Allah dan kekasih-Nya”.
Berbeda dengan umat Yahudi, umat Nasrani dalam hal riba, secara tegas mengharamkan riba bagi semua orang, tanpa membedakan kalangan Nasrani maupun non-Nasrani. Tokoh-tokoh gereja sepakat berpegang pada ketetapan-ketetapan agama yang ada pada mereka. “Jika kamu menghutangi kepada orang yang engkau harapkan imbalanya, maka dimana sebenarnya kehormatan kamu. Tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembalinya. Karena pahala kamu akan sangat banyak.”
Ketetapan semacam ini menuntunkan pengharaman riba dengan tegas dalam agama nasrani. Namun kaum periba berusaha untuk menghalalkan beberapa keuntungan yang tidak dibenarkan oleh pihak geraja karena pengaruh ekonomi yahudi. Akhirnya muncul anggapan dan pendapat, bahwa keuntungan yang diberikan sebagai imbalan administrative dan organisasi dibenarkan. Akhirnya banyak orang mengambil fatwa ini sehingga berani menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah.

E.     Riba Dan Bunga Bank
Pertanyaan seputar persolan bunga bank apakah sama dengan riba, masih sering kali mencuat dan menyisakan banyak persoalan yang belum tuntas terjawab. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh rumusan riba nasi’ah[30] oleh para fuqaha yang disimpulkan oleh Wahbah Zuhali dengan, “mengakhirkan pembayaran hutang dengan tambahan dari hutang pokok”.
Dalam sejarah peradaban manusia, tidak selamanya tambahan atas jumlah pinjaman itu mendatangkan kesengsaraan. Ada juga yang mendatangkan keuntungan baik kepada penerima maupun pemberi pinjaman. Tetapi Karena rumusan di atas sudah demikian mapan dalam ilmu Fiqh, maka semua kegiatan ekonomi yang mengandung formula “tambahan atas jumlah pinjaman”, baik berakibat menyengsarakan atau menguntungkan, tetap dimasukan dalam riba yang diharamkan itu. Begitu jelas mapanya rumusan riba nasi’ah, sehingga para fuqaha tidak lagi menganggap ada persoalan, “apa sebab riba mendatangkan kesengsaraan” atau bagaimana kondisi pihak peminjam dan pemberi pinjaman ketika terjadi perjanjian yang menuju riba?. Perhatian mereka tertuju pada pencarian illat, barang-banarng apa yang boleh atau tidak boleh dijualbelikan dengan tenggang waktu.
Pada masa sekarang, adanya upaya peninjauan ulang tentang riba dalam al-Qur’an disebabkan oleh kontak orang Islam dengan kegiatan perbankan. Bank adalah bagian dari peradaban Barat. Maka, yang dimaksud dengan kontak itu adalah sesudah diterimanya peradaban Barat oleh para tokoh pembaharu dalam Islam, yaitu sesudah abad ke-18.Karenanya, kontroversi tentang hokum bunga bank muncul sesudah kurun waktu tersebut, tidak sebelumnya. Dalam catatan sejarah, berdirinya lembaga perbankan di berbagai negara Islam adalah sesudah abad ke- 20.
Sebagai finacial intermediary, bank dapat dikatakan membeli uang dari masyarakat pemilik dana ketika ia menerima simpanan, dan menjual uang kepada masyarakat yang memerlukan danaketika ia memberi pinjaman. Dalam kegiatan ini, muncul apa yang disebut bunga. Menurut Sri Edi Swasono, bahwa bunga adalah harga uang dalam transaksi jual beli tersebut. Dengan demikian, bunga yang ditarik oleh bank dari pemakai jasa, merupakan ongkos adminstrasi dan ongkos sewa.
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang ihwal hokum bunga bank, di sini akan dipaparkan analisis yang berpijak dari kerangka penalaran bayani dan ta’lili untuk menelusuri karakteristik riba dalam al-Qur’an.
1.Penalaran bayani
Dalam surah Ali Imran: 30, riba diberi sifat “lipat ganda”. Tidak demikian yang tersurat di dalam surah al-Baqarah: 278. dalam ayat ini disebutkan bahwa setiap pengembalian melebihi jumlah pokok modal disebut riba. Ada kesan paradoks antar dua ayat dari dua surat di atas. Sehingga ada ulama yang mengatakan, riba yang terlarang adalah yang mempunyai unsur lipat ganda. Ada pula yang tidak membatasi riba berlipat ganda, seperti pendapat fuqaha pada umumnya.
Akhir surat al-Baqarah : 278, ditegaskan “….. kamu tidak berbuat zalim, tidak pula menjadi korbanya”. Jika ini yang dijadikan tolak ukur riba, maka jalan tengah dapat ditemukan. Yaitu betapa pun kecilnya tambahan itu, apabila menimbulkan kesengsaraan (zulm) termasuk riba. Hanya saja, karena di masa Rasul riba selalu mengambil ad’af mudha’afah, tidak dalam bentuk lain, maka sifat ini disebut dalam al-Qur’an. Dengan demikian , ad’af mudh’afah relevan dengan ketidakadilan.
Perlu dijadikan pertimbangan, bahwa di masa Rasul tidak ada inflasi, karena mata uang yang berlaku adalah uang mas dan perak (dinar dan dirham). Karenaya, pengembalian hutang sebesar jumlah pinjaman menggambarkan keadilan. Dalam suatu kurun waktu di mana inflasi melanda mata uang tertentu, maka pengembalian hutang sebesar jumlah pinjaman tidak menggambarkan keadilan, sebaliknya, menimbulkan kerugian sepihak. Kalau statemen la tazlamun wa la tuzlamun (al-Baqarah: 278) dijadikan kunci dalam memahami riba dalam al-qur’an, maka pengembalian hutang sebesar pinjaman berikut bunga yang proporsional dengan besarnya inflasi akan menjamin keadilan dari pada tambahan. Kalau demikian, maka pemahaman lebih adil tentang pokok modal masa sekarang untuk kasus Indonesia, adalah modal dihitung berdasarkan kurs, bukan berdasarkan nilai nominal. Dengan cara demikian maka pihak pemberi pinjaman maupun yang meminjamn tidak dirugikan.
1.Penalaran ta’lili
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, bahwa riba didefinisikan sebagai “tambahan yang diperjanjikan atas besarnya pinjaman ketika pelunasan hutang..” Jadi tekananya pada “tambahan” sebagai ciri pokok riba.
Riba juga dapat didefinisikan dengan tambahan atas besarnya pinjaman ketika pelunasan hutang yang mendatangkan kesengsaraan pihak peminjam”. Di sini tekanannya ada pada “kesengsaraan/zulm” bukan ‘tambahan’. Tambahan sebagai ‘an-nau’/ ‘species’, sedangkan kesengsaran sebagai al-jins/ genus/ ‘illat. Sama halnya dengan ungkapan “khamar” adalah minuman yang memabukan”, maka khamr adalah sesuatu yang didefinisikan, minuman sebagai an-nau’/ sepecies, dan memabukan sebagai al-jins/ genus/ ‘illat.
Dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa esensi riba adalah “tambahan”, dan ada pula yang mengatakan esensinya adalah “zulm’. Namun, jika kembali kepada pangkal persoalan larangan riba, maka “tambahan” tidak mempunyai makna apa-apa. Sebaliknya, ketidakadilan adalah hal yang bertentangan dengan tujuan penetapan prinsip ekonomi Islam. Karenanya, ‘illat larangan riba seharusnya ‘zulm’ bukan “tambahan”.
F.     Berbagai Fatwa Tentang Riba
Hampir semua Majelis Fatwa ormas Islam berpengearuh di Indonesia, seperti Muhammadiya dan Nahdlatul Ulama, telah membahas masalah riba. Pembahasan itu sebagai bagian dari kepedulian ormas-ormas Islam tersebut terhadap berbagai masalah yang berkembang di tengah umatnya. Untuk itu, kedua oraganisasi tersebut memiliki lembaga ijtihad, yaitu Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama.
Berikut ini adalah cuplikan dari keputusan-keputasan kedua lembaga ijtihad tersebut yang berkaitan dengan riba dan pembungaan uang.
1.Majelis Tarjih Muhammadiyah
Majelis Tarjih telah mengambil keputusan mengenai hokum ekonomi/ keuangan di luar zakat, meliputi masalah perbankan (1968 dan 1972), keuangan secara umum (1976), dan koperasi simpan pinjam (1989).
Majelis tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan:
a)      riba hukumnya haram dengan nash sharih al-qur’an dan as-Sunnah;
b)       bank dengan system bunga hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal;
c)      bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat;
d)     menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah islam.

Penjelasan keputusan ini menyebutkan bahwa bank negara, secara kepemilikan dan misi yang diemban, sangat berbeda dengan bank swasta. Tingkat suku bunga bank swasta waktu itu relatif rendah dari suku bunga bank swasta nasional. Meskipun demikian, kebolehan bunga bank negara ini masih tergolong musytabihat (dianggap meragukan).
Majelis Tarjih Wiradesa, Pekalongan (1972) memutuskan:
a)      mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk segera dapat memenuhi keputusan Majelis Tarjih Sidoarjo tahun 1968 tentang terwujudnya tentang konsepsi system perekonomian, khususnya lembaga perbankan sesuai dengan kaidah Islam;
b)      mendesak Majelis Tarjih PP Muhammadiyah untuk dapat mengajukan konsepsi tersebut dalam muktamar yang akan datang.

Masalah keuangan secara umum ditetapkan berdasarkan keputusan muktamar Majelis Tarjih Garut (1976). Keputusan tersebut menyangkut bahasan pengertian keuangan atau harta, hak milik, dan kewajiban pemilik uang menurut Islam. Adapun masalah koperasi simpan pinjam dibahas dalam Muktamar Majelis Tarjih Malang 91989). Keputusanya; koperasi simpan pinjam bukan termasuk riba.
Berdasarkan keputusan Malang di atas, Majelis Tarjih PP Muhammadiyah mengeluarkan satu tambahan keterangan, yakni bahwa tambahan pembayaran atau jasa yang diberikan peminjam kepada koperasi simpan pinjam bukanlah riba. Akan tetapi, dalam pelaksanaanya, perlu mengingat beberapa hal. Diantaranya, hendaknya tambahan pembayaran (jasa) tidak melampaui laju inflasi.

1.Lajnah Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama
Mengenai bank dan pembungaan uang, Lajnah memutuskan masalah tersebut melalui beberapa kali sidang. Menurut Lajnah, hokum bank dan hokum bunganya sepertai gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan dengan masalah tersebut, yaitu;
a)      Haram, sebab termasuk utang yang dipungut rente;
b)      Halal, sebab tidak ada syart pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak begitu saja dijadikan syarat;
c)      Syubhat (tidak tahu halal-haramnya), sebab para ahli hokum berselisih pendapat tentangnya.[44] Meskipun ada perbedaan pandangan, lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih hati-hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank adalah haram.

Keputusan lajnah bahsul Masail yang lebih lengkap tentang masalah bank ditetapkan pada sidang di Bandar lampung (1982). Kesimpulan sidang yang membahas tema masalah bank Islam tersebut antara lain sebagai berikut:
1.Para musyawirin masih berbeda pendapat tentang hokum bunga bank konvensional.
a)      Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dan riba secara mutlak, sehinga hukumnya haram;
b)      Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya boleh;
c)      Ada pendapat yang menyatakan hukumnya subhat (tidak identik denga haram).
2.Menyadari bahwa warga NU merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan Nasional dan dalam kehidupan social ekonomi, diperlukan adanya suatu lembaga keuangan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan keyakinan warga NU. Karenanya lajnah memandang perlu mencari jalan keluar menentukan system perbankan yang sesuai dengan hokum Islam, yakni bank tanpa bunga dengan langkah-langka sebagai berikut;
a)      Sebelum tercapai cita-cita di atas, hendaknya system perbankan yang dijalankan sekarang ini segera diperbaiki;
b)      Perlu diatur hal-hal berikut; pertama, penghimpunan dana masyarakat dengan prinsip Al-Wadi’ah (simpanan) dan al-Mudharabah; kedua, penanaman dana dan kegiatan usaha.
c)      Munas mengamanatkan kepada PBNU agar membentuk suatu tim pengawas dalam bidang syari’ah, sehingga dapat menjamin keseluruhan operasional bank NU tersebut dengan kaidah-kaidah muamalah Islam; 
d)     Para musyawirin mendukung dan menyetujui berdirinya bank Islam NU dengan system tanpa bunga.


















Kesimpulan

Dari kajian dan pembahasan makalah di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut bahwa wacana tentang riba masih belum selesai dan akan tetap terus diperdebatkanstatusnya dan aplikasinya dalam setiap konteks zaman. Dan sudah menjadi kebulatan pendapat kaum muslimin bahwa hokum riba adalah haram. Dengan demikian ayat tersebut dalam kandungan normatifnya bestatus muhkam. Sementara dalam aplikasinya para ahli hokum Islam mempunyai beragam pendapat dengan beragam argumen. Dengan demikian dalam konteks aplikasi persoalan riba adalah musytabihat. Sehingga ketika sesorang mengambil hokum riba untuk sesuatu perbuatan tentunya tergantung dari metode apa yang dipakai.



















Daftar Pustaka

Ahmad Sukardja, “Riba, Bunga bank, dan Keridit perumahan”, dalam Chuzaimah T. Yanggo & HA. Hafiz Anshary AZ (Ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku ke-3, Jakarat: Pustaka Firdaus & LSIK, 1995.
A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an , Jakarta: Rajawali Pers, 1989.
Abu Sura’I Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib, Surabaya: al-Ikhlash, 1993.
Departemen Agama RI Proyek Pengadaan kitan Suci Al-Qur’an, Al-Qur’an dan terjemahnya, Jakarta: CV Indah Press, 1992/1993.
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis tarjih Muhammadiyah, Jakarta; Logos Publishing House, 1995.
Fuad Zein, “Aplikasi Ushul Fiqh dalam kajian keuangan Kontemporer”, dalam Aunurafiq (ed), Mazhab Jogja: Menggagas Pradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Fak. Syariah IAIN & ar-Ruzz Press, 2002.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Imam Syafi’ie, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam al-Qur’an (pendekatan Tafsir Tematik); Proposal Penelitian Untuk Penyusunan Desertasi, Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1993.
M. Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 1, Jakarta: Lentera Hati, 2000.
Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2002.
M. Dawam Raharjo, “Ensiklopedi Al-Qur’an: Riba”, dalam Jurnal ilmu dan Kebudayaan: ulumul Quran, No. 9, vol. I, th. 1991/1411H.

0 comments: